[MOJOK.CO] “Laki-laki Indonesia dimanjakan dengan berbagai kemudahan.”
Perbincangan mengenai gender memang tidak ada habisnya. Mulai dari konstruksi sosial yang mengakar hingga berbagai gerakan feminis yang dinilai tidak sesuai dengan budaya bangsa adalah dua contoh isu yang cukup memancing perdebatan. Terlepas dari berbagai keistimewaan yang diperoleh laki-laki dari masyarakat patriarkis, adalah sewajarnya, semaklum-maklumnya ketika perempuan di negeri ini terkadang merasa iri dengan lawan jenisnya.
Kita mulai dari stereotipe. Jika laki-laki adalah pihak yang salah maka perempuan adalah pihak yang jauh lebih salah
Salah satu mitos humor paling bias gender adalah “pasal satu perempuan tidak pernah salah”. Kenyataan, berbagai fenomena yang ada justru menunjukkan hal sebaliknya. Masyarakat sering kali menempatkan laki-laki sebagai korban, bukan pelaku. Terutama ketika menyangkut berbagai hal yang melibatkan interaksi personal antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki lebih terlindungi dari sanksi sosial.
Ketika terjadi kasus pemerkosaan perempuan oleh laki-laki, sering kali perempuan dianggap sebagai pihak yang “memancing” terjadinya kekerasan tersebut. Entah karena bajunya yang dinilai terlalu seksi atau kecerobohannya berjalan sendirian di tempat sepi. Perempuan menjadi pelaku (yang memancing) dan laki-laki sebagai korban (yang terpancing).
Demikian juga dalam kasus pelakor. Komentar klasik yang muncul kemudian adalah, “Kucing mana yang tidak mau dikasih daging.” Atau berbagai komentar kontemporer dukungan netizen kepada Shafa Aliya (putri Faisal Haris) ketika melabrak Jennifer Dunn di depan umum.
“wadaaaw. Gue jadi anaknya sih, gue injek palanya.”
“i’m with you, she totally deserve it.”
Jennifer Dunn adalah pusat kesalahan. Faisal hanyalah laki-laki (yang direbut). Laki-laki yang diposisikan sebagai pihak pasif, tidak memiliki kuasa menolak, dan tidak punya pilihan selain mengikuti perempuan (yang merebut).
Mitos lainnya adalah, jika terlahir sebagai laki-laki dia bebas melakukan apapun.
Untuk kamu yang perempuan, sekali dalam rentan usiamu pasti kamu pernah ditegur (atau minimal mendengar kawan perempuanmu ditegur) karena kamar yang berantakan. Katanya, “Kamar cewek kok berantakan kayak kamar cowok!”
Sadar atau tidak, didikan orang tua dan masyarakat sejak dini, menuntut perempuan untuk lebih mahir dalam mengerjakan pekerjaan rumah (termasuk merapikan kamar) dibandingkan laki-laki. Hal ini menjadikan laki-laki bersikap “terima beres” terkait tugas-tugas domestik. Demikian juga dengan industri iklan yang sering kali mengkomuditaskan perempuan. Menjadikan kesempurnaan tampilan fisik menjadi kewajiban perempuan.Perempuan harus tampil cantik, mulus, dan wangi sedangkan laki-laki tidak.
Pernahkah kamu menemukan orang-orang di sekitarmu protes dengan laki-laki yang ke luar rumah tanpa menggunakan bedak atau tabir surya? Bahkan berangkat kuliah/kerja tanpa mandi? Coba bandingkan jika perempuan yang melakukan hal itu. Entah bagaimana awal mula korelasi antara kerapian kamar maupun tampilan fisik tersebut mulai terikat pada jenis kelamin tertentu.
oles, perempuan tidak.
Selain bebas berantakan, para cowok juga bisa melakukan hal-hal istimewa yang tidak mungkin dilakukan perempuan. Salah satunya adalah kencing di dalam bus umum tanpa toilet. Bagi pengguna moda transportasi publik antarkota yang jaraknya relatif dekat, tentu kamu paham betapa tidak enaknya menahan tumpukan urine yang sudah minta dikeluarkan. Duduk tidak tenang, suhu badan mendadak meningkat, dan pemandangan indah pun seolah tak berarti.
Bingung dan panik karena bus berjalan terus dan sangat jarang berhenti bahkan untuk sekadar mengisi bensin. Belum lagi kalau kernet dan sopirnya tak murah senyum, rasanya ragu untuk meminta berhenti dan menunaikan panggilan alam itu. Dalam kondisi seperti ini, perempuan hanya bisa bersabar menahan sekuat tenaga hingga keringat bermunculan di dahi. Bagaimana dengan laki-laki? Laki-laki cenderung lebih woles, cukup mengeluarkan botol kemasan yang kosong dan izin samping kanan-kiri maka beres sudah perkara.
Perempuan mau mencoba hal yang sama? Hm, pikir dulu deh kalau enggak mau mendadak kamu diberhentikan di depan RSJ terdekat.
Mitos lain yang kurang lebih paling mudah ditemui adalah setaranya partisipasi dan pembagian kerja rumah tangga.
Fenomena suami dan istri sama-sama bekerja adalah hal yang wajar dan sah-sah saja. Tuntutan ekonomi yang semakin tinggi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi alasan utama bagi banyak perempuan memilih bekerja di luar rumah. Bahkan keluarnya perempuan dari batas ranah domestik sering kali sudah dianggap sebagai kebutuhan. Banyak perempuan menyambut terbuka kebebasan ini meskipun sejatinya justru menambah beban kerja baginya.
Menurutmu, apa yang akan dilakukan para istri/perempuan selepas bekerja? Kalau dibuat kronologis umumnya, kira-kira akan seperti ini: mengucapkan salam – (jika sudah memiliki anak) anak berlari memeluk – merangkul dan mengajak anak berbincang sembari meletakan bawaan – bersih-bersih diri – memenuhi keinginan anak untuk mengajarkan pekerjaan sekolahnya – mengajak anak merapikan buku dan memasukkannya ke tas sekolah – mengantarkan anak tidur – membuatkan teh/kopi untuk suami yang sedang bersantai – mengobrol dengan suami hingga suami pamit tidur – memasukkan cucian di mesin cuci – beberes rumah – memastikan pagar, pintu, dan cendela terkunci – masuk kamar dan tidur untuk bangun 1-1,5 jam lebih awal dari anggota keluarga lainnya untuk menyiapakan sarapan dan menjemur pakaian cucian semalam.
Bagaimana dengan para suami dan bapak? Apa yang dilakukan selepas bekerja di luar rumah? Bersantai, beristirahat, atau berkumpul dengan teman? Untuk laki-laki yang hidup di Indonesia, berbahagialah dan untuk perempuan Indonesia, banggalah karena kalian adalah makhluk yang super istimewa.