MOJOK.CO – Ikhwanul Muslimin mengambil aneka istilah di tiap negara. Di Tunisa dalam wujud An-Nahdhah, di Turki ada AKP, di Aljazair ada FIS, dan di Indonesia ada PKS.
Simbah Charles Darwin, dalam bukunya The Descent of Man and Selection in Relation to Sex, menyebut manusia berevolusi dari kera. Orang-orang pinter kemudian menyebut ada celah dalam teori ini. Sebab belum ditemukan fosil makhluk “setengah kera-setengah manusia” sebagai bukti dari teori tersebut.
Kan nggak mungkin pakai legenda kera sakti Sun Go Kong ye kan?
Artinya belum ada transisi gradual dari kera ke manusia. Mata rantai yang tak ketemu ini kemudian dikenal dengan istilah missing link atau bagian yang hilang.
Sampai kemudian datanglah simbah Eugene Dubois yang menemukan fosil Phitecantropus Ereksiterus Erectus. Dia percaya, yang selanjutnya diajarkan ke kita-kita, bahwa Phitecantropus adalah bagian yang hilang itu. Berada di tengah-tengah antara manusia dan kera.
Di kemudian hari, pendapat ini mendapat banyak sanggahan. Paling ekstrem tentu saja para penolak teori evolusi. Mereka tidak mau bersaudara dengan primata. Mending dengan sesama tanah. Kendil atau cobek misalnya.
Meski begitu, pendapat arus utama tetap mengikuti teori dan temuan Dubois. Bahkan sampai masuk ke buku-buku sejarah kita.
Sebentar-sebentar, kok serius banget ya? Jan-jane mau bahas apa ini?
Begini, Lur.
Yang mau saya bahas semata soal missing link. Mata rantai yang hilang itu nampaknya tidak hanya dalam teori evolusi makhluk hidup. Ajaran-ajaran trans-nasional yang masuk ke Indonesia juga berevolusi dan belakangan saya cermati ada mata rantai terputus pula. Khususnya ideologi-ideologi impor.
Saya sendiri masih mencari apa yang hilang dari mata rantai itu. Oleh karena itu, tujuan tulisan ini dibuat agar pembaca Mojok yang budiman sudi turut bersama saya mencarinya. Mumpung weekend masih agak lama.
Menemukan missing link itu penting. Namun menyadarinya ada missing link jauh lebih penting. Bagaimana kita bisa menemukan yang hilang, jika tak pernah sadar pernah kehilangan? Haisyhah.
Saya mau spesifik soal ideologi Ikhwanul Muslimin. Kita ambil contoh soal penyebutan kafir bagi non-Muslim dalam konteks kewarganegaraan. Hasil rekomendasi Bahtsul Masail NU yang belakangan ramai dibahas.
Untuk diketahui pembaca Mojok, Ikhwanul Muslimin mengambil aneka nama dan istilah di tiap negara yang ia hinggapi. Di Tunisa dalam wujud An-Nahdhah, di Turki ada AKP, di Aljazair ada FIS, dan di Indonesia ada PKS. Kemudian beranak lagi jadi Garbi. Kita doakan mudah-mudahan beranak pinak lebih banyak. Tolak KB!
Soal yang belakangan ramai itu, Yusuf Qardhawi (sosok panutan sahabat-sahabat Ikhwanul Muslimin paling fenomenal) mengusulkan dua hal.
Pertama penggantian istilah kafir menjadi non-muslim. Kedua, penggantian istilah ahli dzimmah menjadi warga negara. Ahlu dzimmah sejatinya masih salah satu jenis penggolongan kafir. Sebab itu, perlu diganti dengan warga negara.
Qardhawi mendengar ketidaksukaan kelompok minoritas Kristen Koptik Mesir. Kedua usulan tersebut ada di bukunya, Khitabuna Al Islamy Fi ‘Asr al-‘Aulamah. Menurut Qardhawi, usulan ini sebagai bagian dari dakwah dengan hikmah wal mauidzoh hasanah.
Lalu ada mantan Ikhwanul Muslimin bernama Fahmi Huwaidi yang mengusulkan hal yang sama. Bukunya saja sudah langsung diberi judul Muwathinun La Dzmmiyyun (Warga Negara, Bukan Ahli Dzimmah). Saya katakan mantan Ikhwanul Muslimin, sebab saat nulis itu dia masih simpatisannya.
Sekarang orang-orang masih sering kaitkan Fahmi Huwaidi dengan Ikhwanul Muslimin. Meski kata seorang kawan, tak ada istilah mantan dalam organisasi tersebut. Ada satu lagi sebetulnya yang agak nyerempet namanya Rasyid Ghanausyi di Tunisia. Beliau punya buku Huquq al Muwathanah (Hak Warga Negara). Pendapatnya kurang lebih sama dengan dua ulama sebelumnya.
Jika dua penulis terakhir dianggap murtad dari Ikhwanul Muslimin sebab pemikirannya, masih ada Qardhawi. Rasa-rasanya belum ada yang berani anggap beliau berpikiran liberal dari kalangan Ikhwanul Muslimin.
Mengenai argumen panjang ketiganya, pembaca sekalian bisa googling sendiri. Singkatnya, mereka bukan hanya menerima penggantian penyebutan kafir, tapi bahkan pelopor ide itu. Yang usul mikul. Mereka juga memperjuangkannya sejauh yang mereka bisa.
Oh ya, belum termasuk AKP yang secara kelembagaan (bukan hanya perorangan) menerima sekulerisme di Turki. Sudah barang tentu, nampak lahiriah, berada di kolam berbeda dengan para pejuang khilafah.
Pertanyannya: kok kader-kader Ikhwan di tanah air berbeda nyaris 180 derajat dengan panutannya? Ada apa ini?
Bahkan jika ditarik lebih jauh, selisih paham antara Ikhwanul Muslimin-luar dan Ikhwanul Muslimin-dalam tidak hanya terjadi pada istilah kafir saja. Coba lihat saat Qardhawi terlihat sangat lentur dalam bukunya Fiqh al Lahwi wa at Tarwih (diterjemahkan menjadi Fikih Hiburan), atau buku halal-haram dalam Islam. Sementara akhi-akhi di bumi pertiwi ini terkesan sebaliknya. Dalam kedua urusan itu: hiburan dan halal-haram.
Apa mungkin mereka hanya mengidolakan Qardhawi tanpa membaca bukunya? Ah, nggak mungkin, lha wong bukunya sudah banyak diterjemahkan.
Yang terlihat justru penampakan yang mirip dengan Salafi-nya Saudi. Dalam menyikapi sejumlah kasus keagamaan, kedua kader sering beririsan. Sering sama plek bahkan. Padahal di level internasional, Ikhwanul Muslimin dan Salafi tidak begitu akur.
Sebab itu saya berkesimpulan ada missing link antara Ikhwanul Muslimin dengan PKS di Indonesia. Titik transisi bertahap, yang sudah mulai terang dalam teori evolusi, nyatanya masih misteri soal ini. Dalam hal transfer pemikiran Ikhwanul Muslimin ke PKS. (Si)apakah sosok tengah-tengah antara manusia dan kera? Nggak mungkin kader militan yang sudah dipecat itu ya kan?
Fenomena apa sebenarnya yang membuat ide dari dunia internasional itu tak terserap dengan baik di level nasional? Seakan-akan Ikwanul Muslimin di luar sana berada di satu lembah, sedang Ikhwanul Muslimin di sini berada di lembah yang lain.
Atau jangan-jangan inilah ciri khas Ikwanul Muslimin versi Nusantara? Di mana ia bukan mazhab baru, hanya corak ke-ikhwan-an dengan bunga-bunga Nusantara yang membuatnya berbeda dengan corak organisasi internasionalnya.
Corak yang akhirnya melahirkan tampilan-tampilan khusus dan berbeda. Ikhwanul Muslimin-nya tetap satu tapi pengamalannya bisa beragam.
Eh, tapi mana bisa gitu? Kan jadi agak-agak mirip sama Islam Nusantara dong?