[MOJOK.CO] Nasib terbaik itu dibikinin Indomie, yang paling celaka di bungkus Indomie tak ada bumbunya.
Seperti kekasih yang tak dianggap, kita tidak pernah memperlakukan mi instan produksi dalam negeri dengan layak. Kampanye hitam selalu berembus di sekitarnya, mulai dari bumbunya yang katanya bisa bikin sakit kepala sampai kanker, atau air rebusan pertamanya yang mesti dibuang dan diganti karena diyakini sebagai sumber segala macam penyakit.
Orang-orang tua malah memperingatkan anak-anak mereka supaya tidak terlalu banyak mengonsumsinya. “Biar nggak keriting,” katanya. Padahal penyebab rambut keriting kan cuma dua: genetika dan celana dalam.
Seperti nabi yang dihina di negerinya sendiri tapi dipuja di tempat lain, mi instan kita juga mengalami nasib yang serupa. Di situs belanja online (ya, mi instan juga dijual online, Sodara– sodara) Indomie, salah satu mi instan produksi dalam negeri itu, dipuji setinggi langit oleh netizen luar.
Sampai-sampai ada yang menyebut bahwa melahap Indomie adalah sebuah pengalaman relijius. Bahkan orang-orang Nigeria, mungkin tetangganya Jay-Jay Okocha atau Nwankwo Kanu, mengira bahwa Indomie adalah produk nasional mereka.
Tapi seperti cinta, hal-hal terbaik kadang-kadang diikuti oleh tragedi. Seingat saya Mojok juga pernah menulis tragedi yang sering terjadi ketika memasak mi instan. Berdasarkan pengalaman saya, cuma dua tragedi besar yang layak dibicarakan ketika membahas mi instan. Pertama, waktu merebus mi goreng lalu ketika mau membuang air rebusannya, yang jatuh ke bak cuci piring malah mi-nya. Yang kedua, dan ini yang akan kita bahas, adalah ketika kelaparan dan menemukan satu-satunya bungkus mi instan, ternyata di dalamnya kita tidak berhasil menemukan bumbunya.
“Piye perasaanmu nek dadi kates?” kata Marno Blewah.
Saya membayangkan seandainya Indomie itu juga dipasarkan sampai ke Korea Utara, lalu ketika Kim Jong Un nglilir, kelaparan, dan masak mi, beliau ternyata tidak menemukan bumbu Indomie di dalam bungkusnya. Kita tidak perlu mengira-ngira pisuhan macam apa yang akan dilontarkannya. Menilik potongan rambutnya yang lugas dan jarak negara itu yang cuma sepelemparan rudal dengan kita, saya yakin beliau akan langsung menelepon menteri luar negerinya untuk menyatakan perang dengan Indonesia.
Kalau sampai mereka yang menang, di sinilah kita harus mulai mengira-ngira, hukuman berat dari Oppa Kim sudah pasti menunggu direktur Indofood. Pilihannya kemungkinan cuma ada tiga: diberondong senapan mesin, diledakkan dengan mortir, atau dilemparkan ke kandang anjing.
Kalau cuma orang galak, saya rasa negara kita tidak kalah dengan Korea Utara. Di peringkat pertama tentu saja ada, the one and only, mantan gubernur ibu kota, Ahok. Menemukan tidak ada bumbu di dalam kemasan Indomie yang akan dimasaknya, saya yakin beliau akan langsung muntab dan berseru, “Bumbu Indomie nenek lo! Jangan mau dibohongi pakai gambar di bungkus Indomie!”
Kalimat pertamanya kita bisa paham, siapa yang tidak kesal kalau tengah malam tidak menemukan bumbu di satu-satunya bungkus Indomie yang bisa kita temukan. Sayangnya, kalimat berikutnya bisa membuat beliau berurusan dengan hukum dan demo yang berjilid-jilid.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, juga dikenal galak, terutama oleh para petugas penjaga jembatan timbang. Begitu tidak menemukan bumbu Indomie, beliau pasti akan ngamuk, “Buat siapa ini? Heh! Buka semua laci! Buka semua laci! Siapa yang tanggung jawab ini?!”
Sementara itu, Bu Risma, Walikota Surabaya, punya gaya sendiri yang khas Surabaya. “Jancuk! Kalian tahu tidak berapa lama saya nyari Indomie? Kalian tahu tidak!”
Bu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan kita, juga punya kesan galak di mata netizen kita walaupun rasanya belum pernah saya dengar beliau marah-marah di depan umum. Saya rasa kali ini pun beliau tidak akan berkomentar apa-apa, paling-paling langsung telepon komandan marinir untuk meledakkan dan menenggelamkan Indofood. Kalau ada satu-satunya aksi heroik dari beliau, kemungkinan besar adalah selfie dengan latar belakang pabrik Indofood yang sedang dilalap api.
Yusril Ihza Mahendra yang berkali-kali mencalonkan diri sebagai presiden dan gagal, setahu saya juga tidak banyak bicara, entah karena beliau lebih suka menyelesaikan segala sesuatunya lewat jalur hukum atau karena memang hatinya sebaik Miki Tikus. Saya rasa, kalau tidak menemukan bumbu Indomie, diam-diam beliau akan melaporkan kasusnya ke Mahkamah Konstitusi–dan menang.
Presiden kita, Jokowi, sepertinya juga tidak suka ribut-ribut walaupun pernah bilang, “Kita akan buat rame,” ketika ditanya soal pencaplokan wilayah Indonesia. Saya rasa beliau dengan santai cuakan berkata, “Minya ada, air panasnya ada, sekarang tinggal kita mau kerja apa nggak,” sembari mengelus-elus sepeda yang mau dibagikannya besok entah di mana lagi.
Nah, soal santai, saya percaya belum ada yang bisa menandingi Almarhum Gus Dur. Semua orang pasti tahu apa yang akan beliau katakan kalau menghadapi persoalan seperti ini. Betul: “Bikin Indomie aja kok repot.”
Anies Baswedan, yang mengalahkan Ahok dalam kontestasi pilkada dan baru-baru ini dirisak soal netizen perkara pidato “pribumi”-nya, saya pikir akan memberikan reaksi yang sedikit berbeda. Seperti sejarawan yang suka membagi Karl Marx ke dalam periode “Marx muda” dan “Marx tua”, kita juga harus membedakan antara Anies Baswedan ketika masih berteman dengan Jokowi dan ketika sohiban sama Prabowo.
Di periode pertama, Anies mungkin akan berkata, “Membuat Indomie harus tulus. Dapat bumbu dua tidak terbang, tidak dapat bumbu tidak tumbang.” Tapi Anies di periode yang lain kemungkinan besar akan mengutip pepatah Madura, “Indomie yang bertelur, Mie Sedap yang mengerami.” Itu mungkin karena beliau memutuskan memakai bumbu Mie Sedap untuk Indomie yang telanjur dimasaknya.
Jusuf Kalla kemungkinan akan sepemikiran dengan Anies Baswedan –pendukung Ahok garis keras menyebutnya “menggunting dalam lipatan”– dan berkata bijak, “Kita tidak bisa menilai Indomie dari bumbunya saja. Kita harus melihat keseluruhan konteksnya.”
SBY mungkin cuma bisa bilang “prihatin” atau bertanya pada presiden dan kapolri apakah beliau sebagai warga negara Indonesia sudah tidak boleh membuat Indomie lagi, tapi anaknya, Agus Harimurti, saya yakin akan menawarkan solusi yang belum pernah terpikirkan oleh siapa pun. Menawarkan bumbu Indomie yang bisa tetap mengapung walaupun mi-nya sudah jadi, misalnya.
Tifatul Sembiring, mantan menkominfo kita, mungkin malah nanya, “Memangnya kalau Indomie ada, bumbunya mau dipakai buat apa?”
Dan dari bokong truk yang melaju di sepanjang Pantura, kalau kita bicara soal mantan, Pak Harto dengan senyum khasnya menyindir, “Piye, iseh penak Indomie jamanku to?”
Saya membayangkan seandainya Indomie itu juga dipasarkan sampai ke Korea Utara, lalu ketika Kim Jong-Un nglilir, kelaparan, dan masak mi, beliau ternyata tidak menemukan bumbu Indomie di dalam bungkusnya.
Galak atau tidaknya seseorang ternyata tidak bisa dinilai dari pekerjaan seseorang. Gatot Nurmantyo, Panglima TNI yang baru-baru ini memerintahkan jajarannya untuk nobar film Pengkhianatan G30S/PKI, tidak diragukan lagi ketegasannya. “Masak Indomie tanpa bumbu itu memang perintah saya. MAU APA?” Meninggal mulutnya (modyar cocote) kalau sampai dijawab begitu sama Pak Gatot. “Cuma presiden yang bisa menghentikan saya makan Indomie tanpa bumbu,” kata beliau lagi.
Di sisi lain, Tito Karnavian, Kapolri, memilih untuk berhati-hati dengan bertanya, “Apakah saya baik-baik saja setelah makan Indomie tanpa bumbu? Bagaimana perasaan saya setelah makan Indomie tanpa bumbu, apakah nyaman? Kalau nyaman, berarti tidak ada masalah.” Pertanyaan ini memang–menurut beliau–sensitif, tapi kan penting. Kata beliau.
Terakhir, untuk menutup tulisan ini dan mengingat Indomie sudah dipasarkan ke banyak negara, tokoh-tokoh luar negeri juga tidak bisa dinilai galak atau tidaknya berdasarkan jabatan yang sedang dipegangnya. Donald Trump yang menurut Setya Novanto highly disukai di Indonesia ternyata galak ampun-ampunan. Kalau tidak menemukan bumbu di bungkus Indomie, untuk membuat America great again, beliau akan bilang, “Saya akan bikin bumbu sendiri, dan saya akan pastikan Indofood yang bayar!”
Sementara itu John Kerry yang mantan menteri luar negeri Amerika, yang mestinya galak karena sering kali harus berdebat dengan banyak pemimpin dunia, justru sangat sopan. Sama seperti ketika bertanya soal tato Bu Susi, kemungkinan untuk perkara bumbu Indomie itu beliau cuma akan telepon Indofood dan juga nanya, “Bukan mau kasar, tapi kalau saya bikin Indomie di Indonesia, kira-kira saya dikasih bumbunya nggak?”
Barrack Obama –ini menarik karena seperti kita semua tahu bahwa beliau pernah menghabiskan masa kecilnya bersekolah di Menteng– mungkin adalah perpaduan antara Trump yang tegas dengan Kerry yang sopan. Bangun di tengah malam, lapar, lalu memutuskan untuk masak Indomie tapi tidak menemukan bumbu di dalam kemasannya, Obama yang sekarang lebih sering menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan ke banyak negara, kemungkinan akan langsung berteriak dari jendela hotel tempatnya menginap: “SATEEE!”