MOJOK.CO – Ketika mewacanakan pelarangan cadar, Fachrul Razi mengutarakan alasan keamanan, bertolak dari peristiwa penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto. Klaim ini menuntut pembuktian yang tak ringan. Apakah—maaf harus menyitir ini—sebagian anggota keluarga Wiranto yang bercadar juga mengancam keamanan?
Ketika mendengar kabar bahwa Menteri Agama Fachrul Razi ingin melarang cadar (dan tampaknya juga celana cingkrang dan jenggot panjang) di instansi pemerintahan, atau dulu ketika rektor UIN Sunan Kalijaga juga ingin melakukan hal yang sama, dengan alasan yang kurang lebih mirip, bahwa cadar adalah penanda radikalisme, saya tidak bisa tidak menyampaikan pandangan yang sudah diungkapkan sejumlah orang: tidak ada hubungan langsung antara cadar dan radikalisme.
Sebenarnya ini tidak penting saya utarakan karena agak klise. Cukup dengan berbekal akal sehat dan info yang tak perlu detail-detail amat, sulit untuk menunjukkan ada hubungan langsung, lebih-lebih hubungan kausal, antara cadar dan radikalisme—persisnya radikalisme dalam pemaknaan yang umum tapi sebenarnya tidak tepat, yakni ideologi yang ingin mengganti NKRI dengan khilafah.
Tidak semua, atau jangan-jangan malah hanya sebagian kecil, dari orang yang memakai cadar memperjuangkan aspirasi mengubah NKRI menjadi khilafah.
Sebagian besar perempuan Hizbut Tahrir, yang jelas mengampanyekan khilafah, tidak memakai cadar. Ketimbang Hizbut Tahrir, ada lebih banyak perempuan di lingkaran Salafi yang memakai cadar. Pun demikian, Salafi tidak satu rupa dalam sikap politiknya. Sebagian Salafi, yang menekankan kesalehan di tingkat individual (antara lain memakai cadar untuk perempuannya dan celana cingkrang untuk lelakinya), bahkan tidak acuh pada negara, hingga tingkat melarang demonstrasi melawan pemerintah.
Bagaimana mengubah negara kalau demo saja tak boleh?
Malah, di sebagian pesantren yang bertaut erat dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU), santriwatinya memakai cadar ketika keluar pesantren. Mengapa bisa demikian? Karena tidak sedikit rujukan dalam literatur fikih mazhab Syafi’i, yang dianut banyak orang NU, yang menyatakan bahwa “aurat perempuan di luar salat adalah seluruh tubuhnya” (‘aurah al-mar’ah kharij as-shalah jami’u badaniha).
Pernyataan ini ada, misalnya, dalam Fathul-Qarib, kitab fikih Syafi’i level menengah yang lazim dikaji di pesantren NU. Dalam pandangan ini, bukan sekadar niqab, kewajibannya malah sampai level memakai burqa. Saya yakin pesantren NU yang seperti ini tidak akan terima disebut radikal.
Jadi, jelas bahwa bila ingin melarang cadar, radikalisme bukan alasan yang bisa dibenarkan. Cadar bukan penanda radikalisme. Hingga saat ini, paling banter yang bisa disebut: cadar menunjukkan bahwa pemakainya kemungkinan besar menganut tafsir yang literal terhadap sejumlah hadis dan taqlid harfiah terhadap beberapa pendapat fikih klasik.
Harap tak disalahpahami, tulisan ini tidak hendak mengampanyekan pemakaian cadar. Saya, hamba yang daif nan fana ini, menganut pandangan bahwa cadar tidak wajib dan tidak sunnah bagi perempuan Muslim. Dasar saya adalah sejumlah telaah kontemporer terhadap hadis-hadis dan pandangan fikih klasik yang, ringkasnya, menunjukkan bahwa cadar lebih merupakan ekspresi budaya ketimbang ajaran agama.
Rujukan berbahasa Arab yang acap kali dikutip, misalnya, karya Mahmud Hamdi Zaqzuq An-Niqab ‘Adah wa Laysa ‘Ibadah (Niqab adalah [Persoalan] Adat, bukan Ibadah). Pandangan al-Azhar juga demikian: niqab tidak wajib, tidak pula sunnah.
Kalau mau yang berbahasa Indonesia, saya merekomendasikan baca makalah dari Mas Juman Rofarif yang teliti menelaah hadis-hadis yang berkaitan dengan cadar di sini. Anda baca rujukan-rujukan itu sendiri ya, atau minta Mojok Institute menyelenggarakan kajian fikih.
Di luar soal fikih, khusus dalam konteks pergaulan sehari-hari, saya, sekali lagi sebagai hamba yang daif nan fana, menganut pandangan bahwa niqab membuat percakapan wajah-ke-wajah jadi timpang, kurang nyaman, dan tidak adil—dia bisa lihat wajah saya, tetapi saya tak bisa lihat wajah dia. Wajah adalah penanda identitas, dan raut muka menyiratkan ekspresi yang signifikan perannya untuk mencairkan suasana percakapan.
Tentu saja, preferensi personal saya itu tidak bisa langsung menjadi dasar pelarangan cadar. Ia hanya berpotensi hingga tingkat tertentu untuk jadi alasan dalam konteks, misalnya, suatu lembaga tempat pelayanan yang ramah dan bersahabat dengan klien/pelanggan adalah hal yang tak bisa dihindari.
Bila mau merujukkan dasarnya ke dalam fikih, piranti yang potensial dipakai untuk ke sana tersedia, yakni melalui mekanisme pelarangan atas dasar timbang-menimbang maslahat-mudarat dari suatu hal, sekalipun status hukum fikihnya boleh/mubah.
Sebagai contoh: nikah sirri sah secara agama bila syarat-rukun terpenuhi, tetapi boleh dilarang negara, dengan alasan dugaan kuat (mazhinnah al-hukm) potensi mudaratnya bahwa, bila terjadi kezaliman dalam keluarga, istri tak bisa menuntut hukum karena tak bisa membuktikan pernikahan mereka dalam catatan yang diakui negara.
Di negara mayoritas Muslim lain malah ada yang lebih ‘liberal’. Tunisia melarang poligami dan Mesir pernah juga melarang poligami, antara lain dengan dasar pertimbangan mudaratnya. Dalam soal semacam ini, saya yakin banyak anak muda NU yang lihai merumuskan justifikasi ushulul-fiqh-nya. Hal terberat tentu adalah bagaimana memancangkan alasan pelarangan itu dan apa tolok ukur mudaratnya.
Ketika mewacanakan pelarangan cadar, Fachrul Razi misalnya mengutarakan alasan keamanan, bertolak dari peristiwa penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto. Klaim ini menuntut pembuktian yang tak ringan: seberapa banyak pemakai cadar yang berpotensi mengancam keamanan? Apakah—maaf harus menyitir ini—sebagian anggota keluarga Wiranto yang bercadar juga mengancam keamanan? Kaidah fikih menyatakan “al-bayyinatu lil-mudda’i”, beban pembuktian (burden of proof) dituntut dari yang menyatakan klaim.
Jadi, sekali lagi, tantangan ada dalam perumusan alasannya, yang harus presisi, proporsional, punya alasan hukum (ratio legis) yang terukur dan konsisten, baik dalam pelarangan maupun pembolehan.
Jangan dikira memakai instrumen hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan beragama akan mudah. Masalah niqab ini bukan khas negara mayoritas Muslim. Sejumlah negara “demokrasi liberal” di Eropa melarang niqab juga dengan memakai instrumen pembatasan dalam HAM, yang bahkan ketika dibawa ke mahkamah HAM Eropa, pengadilan memutuskan untuk menyerahkan persoalan ini ke diskresi negara-negara masing (dikenal dengan istilah “margin of appreciation”), yang berarti bahwa pelarangan niqab bisa terjustifikasi.
Dari sisi sebaliknya, pembolehan niqab juga menuntut konsistensi. Misalnya, anggota DPR dari PKS Mardani Ali Sera menyebut bahwa cadar adalah wilayah privat. Bisa tidak alasan “wilayah privat” ini dipakai untuk melarang pewajiban jilbab di sekolah umum? Anggota DPR dari PPP menyatakan pelarangan cadar berpotensi melanggar HAM. Coba, alasan HAM ini juga dipakai untuk menghilangkan pembatasan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, mau tak?
Tak boleh juga dilewatkan dalam pembicaraan tentang cadar ini: siapa yang lebih layak untuk diberi hak suara pertama kali? Tulisan ini membicarakan pakaian perempuan, tapi penulisnya, Anda tahu, adalah seorang lelaki, yang boleh jadi tanpa disadari telah terjebak dalam male gaze dan objektifikasi perempuan. Feminis pascakolonial tentu berhak berkeberatan: perempuanlah yang mesti berbicara dulu atas diri mereka sendiri.
Menerima keberatan itu, maka saya mengundang para lelaki untuk melepas dulu stigma-stigma terhadap perempuan bercadar, dan beri kesempatan para perempuan bercadar untuk berbicara atas diri mereka sendiri, dari perspektif pengalaman mereka sebagai subjek. Tentu saja, Anda boleh berekspektasi bahwa mereka tidaklah seperti yang umumnya distigmakan.
Maka, ayo, para para perempuan bercadar, tulis suara kalian! Karena Mojok siap menampungnya. Iya kan, Mbak Prima?
BACA JUGA Mengapa Rambut Perempuan Muslim Dianggap Aurat? atau esai AZIS ANWAR FACHRUDIN lainnya.