Upaya Sanusi Pane Melepas Batak dari Minang

Upaya Sanusi Pane Melepas Batak dari Minang

Ilustrasi Sanusi Pane. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Tulisan Sanusi Pane yang dibuat tahun 1926 ini menunjukkan bagaimana mula-mula “Batak” melepaskan diri dari “Minang” dalam konteks apa yang disebut “gerakan politik kebangsaan”. Minang identik dengan Jong Sumatranen Bond (JSB). Pemuda Batak memproklamasikan identitas politik mereka dalam konteks internasionalisme dan nasionalisme dengan Jong Bataks Bond (JBB). 

Anak Muda Batak di Antara Internasionalisme dan Nasionalisme

Oleh Sanusi Pane

 

Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya!

Mengingat sifat hakekatnya saya tidak dapat memberikan pengertian sepenuhnya mengenai nasionalisme. Saya hanya akan memperbincangkan aspek-aspek yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat Batak.

Dalam bergeloranya ombak gagasan timbul pikiran tentang perdamaian dunia bagaikan sebuah bintang pada pekatnya langit hitam di Cakrawala, sambil mendendangkan lagu bagi orang-orang yang haus akan pembebasan dari lumpur hidup yang melandasi segala tipu daya politik, dengan kata-kata sebagai berikut:

“Pilihlah saya yang sedang kemilau di atas segala orang besar sedunia sebagai penunjuk jalanmu! Ikutilah saya ke ruangan penuh berisikan kebahagiaan rohani, ke ruang-ruang tanpa batas, penuh dengan paduan suara menggelora dengan riangnya! Saya adalah utusan Sang Cahaya nan Remaja Kembali, saya adalah nada Symphoni yang mengelu-elukan tuan dari Kehidupan Abadi, Mari, kemari, ikutilah saya!”.

Namun lagu dari Dunia Kemilau itu hanya separuh dipahami orang. Mereka yang membangunkan cinta internasionalisme dari deburan ombak di masa itu, masih dinamakan kaum utopia, tukang mimpi yang tak berdaya yang hanya mampu melagukan lagu tentang indahnya bulan dan damainya kelap-kelipnya bintang di langit.

Di Indonesia, ini, acapkali orang berpendapat seolah-olah internasionalisme tidak dapat berdampingan dengan nasionalisme. Ini adalah suatu cara berpikir yang membuktikan tiadanya pengetahuan tentang inti dari persoalan yang sebenarnya.

Seorang internasionalisme tidak usah berhenti bekerja untuk negaranya, ya, bahkan cita-citanya itu merupakan cambuk untuk bekerja terus tanpa lelah bagi tanah tumpah darahnya. Akan tetapi pekerjaannya tidak semata-mata dibaktikannya kepada bangsanya melainkan untuk kemanusiaan pada umumnya. Bukan kebencian yang mendorongnya untuk bekerja, melainkan cinta, yang tidak mengenal batas materi, Ia bekerja untuk bangsanya, demi kepentingan manusia seluruhnya, oleh karena bangsa adalah sebagian dari seluruh manusia.

Ketenangan, ketenangan batin yang tidak terganggu adalah cirri dari pekerja-pekerja seperti yang kami gambarkan di atas. Mereka tidak seperti bintang sapu yang cemerlang cahayanya untuk segera menghilang tanpa bekas. 

Mereka dengan suara yang melengking orang dapat membawa sesama manusia ke kebahagiaan yang berpendapat bahwa hanya dalam gerak nyatanya massa rakyat terdapat kekuatan. Kekuatan yang ingin digerakkan oleh orang-orang yang lekas panas darah itu, adalah kekuatan dari letusan gunung berapi.

Baca Juga: Betapa Ribetnya Orang Batak kalau Cari Jodoh

Kita harus menjaga agar orang-orang seperti itu jangan sampai masuk dalam barisan kita. Dan hal ini hanya dapat kita lakukan dengan terus-menerus menunjukkan kepada orang-orang bahwa nasionalisme tidak boleh sampai berubah bentuk menjadi Chauvisme (Kebangsaan menjadi kedaerahan) dan bahwa kekuatan yang mengatur dan menopang sesuatu bangsa ialah Kebudayaannya.

Suatu kesatuan politik hanya merupakan suatu buatan manusia (kunstmatig) dan acapkali etnologis (berdasarkan kesukuan). Suatu kehidupan budaya lebih mudah dapat berkembang dalam hubungan ketatanegaraan yang bersifat mempersatukan, tetapi sebaliknya hubungan yang demikian itu tidak selalu menghasilkan kesatuan kebudayaan. 

Persatuan di Indonesia akan semata-mata merupakan persatuan ketatanegaraan, bila penduduknya sampai mengabaikan unsur kebudayaan. Bila bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu tidak mau bercampur baur menjadi suatu bangsa yang bersatu-padu, maka kelak bila mereka mendapatkan kemerdekaan di luar hubungannya dengan Negeri Belanda Raya, di antara orang-orang Jawa dan Melayu akan timbul pertanyaan tentang supremasi.

Untuk lebih mendalami mengenai masalah ini berada di luar rangka pembicaraan saya. Saya hanya ingin mengadakan demonstrasi dengan memberikan suatu contoh yang nyata bahwa tenaga permanent harus dicari di dalam kebudayaan.

Baca Juga: 5 Hal Baru yang Saya Temukan setelah Menikah dengan Orang Minang

Dengan memperhatikan, bahwa pertama-tama kami ingin memberikan suatu cirri kebudayaan kepada perhimpunan yang akan didirikan itu. Kami menganggap perlu untuk menekankan pada hal ini pada saat menjelang berdirinya pergerakan pemuda kita ini, agar kelak jumlah ekses-ekses dapat dibatasi hingga minimum.

Kami tidak berpendapat bahwa untuk mengangkat derajat Indonesia para pemuda kita harus dijejali dengan gagasan-gagasan politik. Keremajaan harus merupakan satu pancaran kebahagiaan. Siapakah yang dapat mengatakan bahwa para remaja Indonesia kita ini juga demikian?

Kami merasa senang bahwa jiwa pemuda Batak dan Mandailing masih merupakan suatu ladang yang belum digarap, asal kita mau saja. Akan tetapi tugas yang sekarang paling berat ialah untuk memilih bibit-bibit yang tepat oleh karena pengetahuan bahwa bibit apa pun yang kita semaikan tentu akan tumbuh dengan subur, memberikan kita tanggung jawab yang berat.: 

Janganlah kita sampai melupakan bahwa mata rakyat sekarang tertuju kepada kita kaum muda dan bahwa gagasan-gagasan kita lambat-laun mulai diterima orang. Rakyat kita belum terbawa oleh gelora ombak pikiran dan kita berkewajiban berdiri di depan pintu gerbang tanah air kita sebagai pandu penjaganya.

Orang dapat mengatakan bahwa aspek kebudayaan rakyat Batak belum pernah nampak tampil ke muka. Kami yakin bahwa aspek tersebut sebetulnya tersembunyi dalam hati sanubari rakyat, sementara terlena, dan hanya menantikan orang yang mau menjamahnya sehingga ia berkembang dengan segala keindahannya.

Baca Juga: Mencicipi Gudeg Jogja di Medan yang Diracik Orang Batak Karo

Sudah sejak lama sebelum Christus lahir, Baroes telah terkenal di luar negeri sebagai suatu tempat tertentu. Ptolemeus dari Alexandria telah menyebut-nyebut nama itu. Marco Polo menyebut sebagai suatu kota dagang yang makmur. Di dalam Negarakertagama kita mencatat nama Baroes dalam suatu lagu pujian dari Abad Emas Majapahit. Jumlah berita mengenai kota niaga tersebut dalam tulisan-tulisan Arab maupun Persia serta dalam risalah dinasti di negeri Cina sungguh banyak sekali. Kami berpikir, tidakkah mungkin bahwa suatu kota niaga semakmur itu mempunyai daerah pedalaman yang subur dan makmur.

Bila kita mengingat kemajuan yang telah tercapai bangsa kita selama 50 tahun kita harus menerima bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya ke atas. Dan itu tentu tidak lain kecuali kebudayaan bangsa itu sendiri yang masih terpendam separuh dalam impian.

Ahli-ahli etnologi dan para penyelidik tidak dapat menelusuri sejarah Batak lebih jauh ke belakang dari tahun kl. 1850. Pada permulaan sejarah orang Batak ditemukan sebagai manusia pemakan orang. Ini adalah fakta, akan tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa para penyelidik itu telah melihat segala sesuatunya benar-benar sebagaimana adanya, bahwa makan orang itu bukan suatu ekses agama atau ekses adat? 

Bila kita umpamanya saja mengingat akan kesalahan-kesalahan yang dibuat para ahli antropologi di masa itu, para penyelidik yang dengan tekun memburu “the missing link” (mata rantai yang belum ditemukan), yakni suatu gagasan dalam teori Evolusinya Darwin, maka menurut kami, kita pun berhak untuk menyangsikan kebenaran dari keterangan-keterangan yang diberikan pada waktu itu. 

Baca Juga: Hal yang Perlu Anda Ketahui Jika Jatuh Cinta pada Perempuan Batak

Ini bukan karena kita merasa malu akan kenyataan, kita telah menerimanya sebagai suatu kenyataan – bahwa nenek moyang kita, cenderung memperlihatkan bahwa mereka pemakan orang, bukan karena itu; bila seandainya nenek moyang kita karena seleranya memang suka akan daging manusia, maka kita orang Batak bahkan dapat berbangga dalam beberapa tahun saja kita telah dapat merubah diri dari mahluk-mahluk pemakan orang menjadi kita yang sekarang ini. 

Tujuan kami ialah untuk menyampaikan pendapat kami, yakni bukanlah tidak mungkin bahwa para penyelidik itu datang ke daerah orang Batak tepat pada saat penduduknya sedang mengalami degradasi sedangkan sebelumnya telah ada peradaban di situ.

Dengan dipindahkannya kerajaan Sriwijaya, yang pada awal abad-abad pertama tahun Masehi menguasai seluruh Indonesia hingga Palembang, Sumatra menjadi pusat perhatian dunia ilmu purbakala dan penyelidik-penyelidik lebih lanjut menunjukkan bahwa adanya pengaruh kerajaan tersebut atas kebudayaan Jawa tidak dapat dipungkiri.

Apa saja yang tidak dapat disembunyikan lagi oleh hutan belantara Sumatra yang masih perawan itu bagi para penyelidik, maupun bagi yang bermata paling tajam sekalipun?

Pendapat kami ini tidak semata-mata dikarenakan rasa kebangsaan saja, melainkan dan lebih karena keinginan kami akan adanya penyelidikan secara ilmiah. Bagaimana juga, pendapat kami ini tidak semata-mata berdasarkan khayalan belaka.

Sekali memilih dalil bahwa kekuatan suatu bangsa sebagian terbesar terdapat dalam kebudayaannya maka dengan berpikir secara konsekuen kami telah sampai kepada kesimpulan bahwa suatu Jong Bataksche Bond—mengenai nama ini akan kita bicarakan lagi nanti—mempunyai hak untuk berdiri.

Pekerjaan mendirikan Perhimpunan tersebut bukan merupakan suatu pekerjaan pembongkaran terhadap ide Jong Sumatranen Bond. Persetujuan, bahkan kegembiraan sepenuhnya dari pihak Pengurus Besar J.S.B. terhadap didirikannya suatu perhimpunan anak-anak Batak, kiranya dapat menghapuskan kesan seolah-olah kami telah bertindak secara tidak jujur. 

Baca Juga: Batak KW Adalah Orang Batak yang Nggak Terlalu Batak, Saya Buktinya

Kami, yang telah memilih tuan-tuan sebagai anggota panitia persiapan adalah Pemuda Sumatera yang penuh semangat dan harap agar saudara-saudara kami baik yang perempuan maupun laki-laki yang tidak bertempat tinggal di Batavia, tidak melupakan hal ini. 

Walaupun kami berkeinginan besar akan bersatupadunya seluruh rakyat Sumatera. Namun, kami tidak buta terhadap kenyataan bahwa tiada seorang pun dapat memaksa suatu bangsa dengan tangan besi untuk berbuat sekehendak hati orang tersebut. Sejarah rakyat Minangkabau dan Batak, dua bangsa yang pada saat ini paling terkemuka di Sumatera, terlalu berjauhan satu sama lain, untuk mengharapkan berhasilnya pekerjaan J.S.B. (Jong Sumatranen Bond) secara nyata. 

Mudah-mudahan saudara-saudara kita dari Minangkabau maupun Batak dapat memahami sepenuhnya maksud tujuan aksi kita, agar secara persaudaraan kita dapat bersama-sama menuju kepada cita-cita kita bersama: persatuan orang-orang Sumatera.

Sekarang saya hampir sampai pada bagian yang paling pelik dalam pidato saya: masalah nama bagi perhimpunan kita.

Bertitik tolak pada pendapat bahwa sesuatu bangsa itu pertama-tama harus merupakan suatu kesatuan kebudayaan, maka timbul pertanyaan apakah antara orang-orang Batak dan Mandailing—untuk sementara kita andaikan saja bahwa yang kedua tiada merupakan bagian dari yang pertama—terdapat suatu ikatan kebudayaan.

Marilah kita melihat bahasanya, yang dianggap sebagai penjelmaan utama suatu kebudayaan. Di sini kita tidak dapat membahasnya secara ilmu bahasa yang mendalam. Sudah cukup jika kita dapat melihat adanya persamaan yang nyata antara bahasa Batak atau lebih baik logat Batak dan Mandailing, bukan persamaan yang biasa terdapat dalam bahasa-bahasa Indonesia saja yang hampir kesemuanya bersumber pada bahasa Jawa Kuno, akan tetapi suatu persamaan yang membuat kedua logat tersebut dapat dianggap sebagai satu bahasa.

Saya sendiri yakin, bahwa dalam hatinya kedua suku bangsa ini adalah satu, namun karena pengaruh-pengaruh dari luar telah timbul suatu keretakan di luar. Walaupun berpendirian demikian, saya tidak berpendapat bahwa orang-orang Mandailing harus selalu menganggap dirinya orang Batak. Bukan tidak mungkin bahwa orang-orang Mandailing masih harus melalui jalan evolusi tertentu yang berbeda dari jalan revolusi orang-orang Batak. 

Adalah tidak bertanggung jawab untuk menghalang-halangi jalannya evolusi dan tiada suatu bangsa di dunia yang dapat memaksa suatu golongan yang ingin memisahkan diri untuk tetap bersatu dengan suku lainnya. Bila orang Mandailing secara masal (dalam jumlah yang besar) tidak mau mengakui dirinya sebagai orang Batak, yah, kita yang ingin mempertahankan nama Batak hendaknya tidak usah melontarkan kritik.

Soal nama Perhimpunan yang akan didirikan ini sekarang tidak sukar lagi memecahkannya.

Orang-orang Mandailing yang ingin menggabungkan diri, menunjukkan bahwa mereka merasa satu dengan orang-orang Batak.

Biarlah mereka menerima nama Jong Bataks Bond oleh karena tidak mengakui perasaan bersatu hanya karena suatu nama, tidak lain dikarenakan kepicikan semata-mata. Pribadi tuan akan tetap sebagaimana adanya, samaran apa pun yang tuan gunakan. Demikian pula keadaannya dengan suatu bangsa, bahwa bangsa itu memiliki kepribadian, telah diakui orang sejak Plato hingga para sosiolog yang termodern sekali pun.

Dan mereka yang merasa berlainan sama sekali dari orang Batak—dan ini tidak dapat disesali siapa pun—lebih baik menjauh dari perhimpunan ini oleh karena tidak akan ada titik persamaan. Namun demikian hendaknya kita dapat hidup berdampingan sebagai Pemuda Sumatera.

Dalam risalah singkat dapat saya katakana bahwa pendapat saya adalah sebagai berikut: tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya. Perhimpunan ini harus diberi nama Jong Bataks Bond oleh karena orang-orang yang ada di sini untuk mendirikannya sebagian terbesar adalah orang-orang Batak.

Saudara dan saudari, jika kita ingin agar perhimpunan kita ini berumur panjang, maka jangan sekali-kali kita memasuki perhimpunan ini dengan pertanyaan keuntungan apakah yang akan kita peroleh, melainkan dengan pertanyaan apakah yang dapat kita berikan. 

Janganlah kepentingan kita sendiri menjadi pendorong kita untuk menjadi anggota, melainkan rasa cinta terhadap rakyat Batak, yang menantikan tuan-tuan sebagai anak-anaknya dan cinta terhadap cita-cita Pemuda Sumatera. 

Maka tiada seorang pun dapat berkata tentang perhimpunan tersebut: “Seorang peziarah mau melihat indahnya Pagi hari, akan tetapi menolak mengambil Cinta sebagai Pembimbingnya sehingga ia sengsara tersesat di lorong-lorong sang Malam Buta.” ***

Esai ini pertama kali diterbitkan Jong Batak, Januari 1916, No. 1, hlm. 12, dalam bahasa Belanda dengan judul “Nationalisme”. Diterbitkan kembali dalam buku Maju Setapak (1981, hlm. 235—250).

Penulis : Sanusi Pane

Editor : Agung Purwandono

BACA JUGA Kritik Adat Bangsa Arab, H Agus Salim Buka Tabir Kain Pemisah Wanita  di rubrik ESAI.

Exit mobile version