MOJOK.CO – Esai biografis yang ditulis Maria Ulfah ini adalah perjalanan sejarah bagaimana perempuan terdidik berada satu gerbong dengan sejarah pergerakan pembebasan nasional yang mengalami pasang. Sejarah pergerakan berarti juga sejarah pembebasan perempuan dari atribut yang merendahkan. Sejarah Maria yang merupakan Manteri Sosial pertama RI adalah sejarah perempuan Indonesia yang tumbuh dalam dinamika politik internasional.
Esai ini pertama kali dipublikasikan di buku antologi esai Bunga Rampai Soempah Pemuda berjudul “Arti Sumpah Pemuda” (PT Balai Pustaka, 1978, hlm. 46—51)
Perempuan yang Tumbuh dalam Dinamika Politik Internasional
Oleh Maria Ulfah
Saya mendengar bahwa pada Kongres Pemuda I dalam th. 1926, seorang pelajar Stovia bernama Bahder Djohan memberi prasaran tentang kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia. Dalam prasaran mana dianjurkan emansipasi bagi Wanita Indonesia. Saya betul-betul menghargai bahwa pemuda berusia 26 tahun itu menjadi pembela emansipasi wanita Indonesia.
Prasaran itu ditambah dan disambut hangat oleh seorang gadis Minahasa, Stientje Adams. Saya terpengaruh oleh gagasan persatuan Indonesia, terutama oleh Sumpah Pemuda. Pada waktu itu sebagai murid Sekolah Menengah segala sesuatunya hanya masih cita-cita saja.
Pada 1929, saya diberi kesempatan oleh ayah saya untuk belajar di Negeri Belanda. Saya memilih Fakultas Hukum, walaupun ayah saya menghendaki Fakultas Kedokteran atau Fakultas Pharmasi.
Mengapa saya tertarik pada Hukum?
Karena saya sebagai anak gadis belasan tahun melihat penderitaan kaum Wanita yang dimadu atau dicerai tanpa alasan! Biasanya wanita itu diantarkan pulang ke orang tuanya dengan alasan untuk beristirahat akan tetapi kemudian dikirimlah surat talak, habis perkara! Tidak ada jalan untuk membela diri harus menerima begitu saya!
Baca Juga: Sebab Perempuan Butuh Kecerdasan, Bukan Label, Titik!
Pada waktu itu anak-anak gadis belum banyak, hanya sedikit yang diberi pendidikan sekolah. Setelah ditalak ia menjadi beban lagi dari orang tuanya yang biasanya merasa malu mempunyai anak yang menjadi janda cerai. Ia hidup sebagai orang yang tiada harganya lagi. Syukur ayah tidak memaksa saya dan membiarkan saya memilih jurusan yang saya kehendaki.
Setiba di Negeri Belanda saya belajar hidup sendiri, menyewa kamar, mengurus makanan sendiri dan mengatur pelajaran saya pada Fakultas Hukum Universitas Leiden.
Di Negeri Belanda saya merasa betapa bedanya hidup dalam negara merdeka! Saya bertekad untuk menyelesaikan studi saya dalam waktu yang telah ditentukan. Saya ingin membantu rakyat Indonesia yang masih buta huruf dan menderita. Juga saya ingin ikut dalam pergerakan Kemerdekaan Negara dan Bangsa kita.
Begitu besar keinginan saya itu sehingga saya acap kali mengikuti pertemuan-pertemuan Liga Anti Penjajahan. Saya beli buku yang berisi pembelaan Bung Karno di depan pengadilan (Landraad) di Bandung, saya tertarik pada pembelaan Bung Karno itu, karena bukan Soekarno menggugat, tetapi “Indonesia Menggugat”.
Buku pembelaan itu diterbitkan dalam bahasa Belanda oleh Toko Buku Dubbeldeman (langganan para Mahasiswa Indonesia karena pemimpin toko buku ini termasuk golongan progresif) dengan judul “Indonesia klaagtaan” (Indonesia menggugat).
Halaman muka buku itu menggambarkan penindasan Jenderal Van Heutz terhadap rakyat Aceh. Teman saya yang juga seorang putera Bupati mengingatkan saya, bahwa ayah saya seorang Bupati, jadi jangan menyulitkannya. Akan tetapi saya tidak mendengarkannya, begitu saya terpengaruh oleh pembelaan Bung Karno itu dan oleh gagasan Persatuan Indonesia yang terwujud dalam Sumpah Pemuda.
Buku “Indonesia Klaagtaan” saya bungkus rapi, dan saya masukkan dalam tas tangan saya, sehingga waktu saya pulang ke Tanah Air tidak diperiksa, sedang kalau dimasukkan dalam peti dengan buku-buku lain pasti akan diperiksa dan ditahan.
Saya percaya bahwa ayah saya akan menjemput saya dari kapal laut dan tentu saja tidak ada pemeriksaan terhadap diri saya yang dijemput dan didampingi oleh ayah. Memang demikian adanya.
Baca Juga: Betapa Susahnya Memahami Perempuan
Sekembalinya di Tanah Air dalam bulan Desember 1933, tak lama kemudian saya menerima tawaran untuk menjadi guru pada Sekolah Menengah Muhammadiyah dan Sekolah Menengah Perguruan Rakyat (PR) di Jakarta, yang termasuk Sekolah Liar (“Wilde Scholen” yang diatur oleh “Wilde Scholen Ordonantie”).
Saya bekerja sebagai guru Sekolah Menengah Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat untuk membantu anak-anak kita yang tidak diterima pada Sekolah pemerintah, sampai pada Jepang masuk (th. 1942), jadi selama 8 tahun. Pada sekolah-sekolah itu saya bekerja sama dengan mereka yang kemudian duduk dalam pimpinan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat seperti Wilopo, Soemanang, Moh. Yamin, A.K. Gani, Djuanda, Sahardjo, dan lain-lain.
Selama itu saya ikut juga pergerakan wanita Indonesia mulai dengan Konggres Perempuan Indonesia di Jakarta bulan Juli 1935. Terpengaruh gagasan Persatuan Indonesia, saya menjadi anggota perkumpulan “Istri Indonesia” yang pada 1932 didirikan sebagai fusi (peleburan) antara perkumpulan yang sehaluan dan tidak berdasarkan agama.
Saya tertarik pada azas perkumpulan “Istri Indonesia” yaitu kebangsaan, kerakyatan, dan kenetralan terhadap agama dengan tujuan “Indonesia Raya”.
Atas usul tulisan “Istri Indonesia” pada Konggres Perempuan Indonesia ke-III di Bandung dalam bulan Juli 1938, tanggal 22 Desember, hari pembukaan Konggres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta tahun 1928 ditetapkan sebagai “Hari Ibu” yang sejak tahun 1959 dengan Keputusan Presiden RI No. 316 th. 1959, diperingati di seluruh Indonesia sebagai Hari Nasional Bersejarah, bukan hari libur, seperti 20 Mei yang menjadi Hari kebangkitan Nasional; tanggal 28 Oktober hari Sumpah Pemuda, dan lain-lain.
Waktu saya diminta untuk ikut membantu mendirikan Kantor Berita Nasional Antara pada 1937 dengan senang hati saya menerimanya, karena usaha ini pula penunjang perjuangan kita menuju Indonesia merdeka dan bersatu. Dan untuk itu saya mendapat penghargaan berupa andil khusus berdasarkan surat Direksi KB Antara tanggal 12 Juni 1951 No. 81.
Atas permintaan Moh. Yamin yang menjadi ketua Konggres Bahasa Indonesia, saya menjadi Bendaharinya. Kongges tidak dilangsungkan karena ditangkapnya salah seorang anggota pengurus. Karena itu saya juga diperiksa PID (Politieke Inlichtingen Dienst atau Polisi Intel Belanda).
Sejak saya ikut serta dalam Kongres Perempuan Indonesia di Jakarta bulan Juli 1935, saya terus-menerus bekerja dalam Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia yang dulu bernama Kongres Perempuan Indonesia dan sekarang Kowani (Konggres Wanita Indonesia).
Walaupun saya tidak menjadi mahasiswa lagi, akan tetapi oleh karena saya bekerja sebagai guru, banyak berhubungan dengan pelajaran-pelajaran dan mahasiswa-mahasiswa kita. Saya diminta untuk memberi ceramah di depan anggota PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) yang diadakan di Gedung Perguruan Rakyat (PR) di Kramat.
Karena ceramah-ceramah saya itu, ayah yang menjadi Bupati Kuningan dipanggil dan ditegur Residen Cirebon (Van der Plas). Ini tentu untuk menyulitkan atau untuk menakutkan ayah, akan tetapi ayah menjawab bahwa anaknya sudah dewasa dan telah tahu sendiri apa yang ia kehendaki. Kalau ia sebagai ayah dipersalahkan, silakan, akan tetapi ia tidak mau membatasi anaknya yang sudah dewasa itu.
Saya merasa beruntung bahwa ayah bersikap demikian. Ayah tidak dipecat atau diberhentikan, tetapi toch ada akibatnya. Ayah diminta supaya pensiun pada umur yang telah ditentukan bagi para pegawai negeri, yaitu umur 55 tahun. Sedangkan pada waktu itu untuk bupati-bupati tidak dipakai batas umur, bahkan ada yang sampai pada umur 65 tahun menjadi bupati.
Ayah tidak pernah melarang saya untuk ikut dalam pergerakan kemerdekaan bangsa kita. Malahan setelah ayah pensiun ia menjadi anggota Parindra (Partai Indonesia Raya).
Sekarang saya akan menceritakan pengalaman saya dengan pemudi-pemudi kita setelah Proklamasi Kemerdekaan kita. Waktu diadakan peringatan 1 (satu) tahun kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1946, saya mengikuti pawai kaum ibu dan pemudi-pemudi kita. Pawai dimulai dari Gedung Panitia Pembantu Korban Perang di Pegangsaan Timur ke Pegangsaan Timur 56; rumah resmi perdana menteri Republik Indonesia.
Karena Jalan Pegangsaan Timur ditutup oleh tentara Gurka, pawai terpaksa melalui jalan sempit dekat rel kereta api. Waktu itu saya menjadi Menteri Sosial, sebetulnya semua menteri harus ikut merayakan satu (1) tahun Kemerdekaan Republik Indonesia di Ibu Kota Yogyakarta (menteri-menteri dikonsinyir), kecuali Sutan Sjahrir yang sebagai Menteri Luar Negeri RI mengadakan peringatan itu di Jakarta, yaitu di Pegangsaan Timur 56.
Karena saya telah berjanji kepada pemudi-pemudi kita di Jakarta, maka saya minta izin kepada Bung Karno untuk pergi ke Jakarta supaya saya ada di tengah-tengah pemudi-pemudi kita, ikut dalam pawai itu dan sekaligus meresmikan Tugu Peringatan Proklamasi Kemerdekaan sebagai sumbangan wanita Indonesia. Saya diberi izin oleh Bung Karno.
Baca Juga: Mengapa Perempuan Menyakiti Sesama Perempuan?
Karena pawai wanita itu dicegat tentara Gurka untuk masuk halaman Pegangsaan Timur 56, kita pun marah terhadap tentara Gurka itu dan memperingatkan mereka bahwa mereka masih hidup dalam negara jajahan.
Upacara peringatan itu berlangsung di halaman depan Pegangsaan Timur 56 di bawah pimpinan Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Sjahrir tanpa peserta-peserta pawai. Setelah upacara, PM Sjahrir dan tamu-tamu, di antaranya ada wartawan luar negeri, datang ke halaman belakang Pegangsaan Timur 56 menemui para peserta pawai yang kemudian diperbolehkan masuk ke halaman.
Seorang wartawan Reuter mengabarkan ke luar negeri bahwa Menteri Sosial RI ikut pawai pemudi-pemudi dan dicegat tentara Sekutu, tidak boleh masuk ke halaman Pegangsaan Timur 56 untuk ikut memperingati 1 (satu) tahun kemerdekaan RI.
Perlu juga diterangkan pengalaman saya sebagai Direktur Kabinet Perdana Menteri RI. Saya diberi tugas Perdana Menteri Djuanda (bulan September—Oktober 1957 pergi ke Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Filipina untuk mempelajari Institute of Public Administration dalam rangka mendirikan Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang didirikan pada 5 Mei 1958 dan dibuka PM Djuanda.
Saya mengadakan pembicaraan di antaranya dengan Menteri Pendidikan Amerika. Pada pertemuan itu Menteri itu menanyakan apakah Indonesia mengalamai kesulitan bahasa, karena Indonesia adalah negara kepulauan.
Saya jawab sama sekali tidak, Indonesia punya bahasa persatuan sendiri yaitu bahasa Indonesia. Karena Menteri itu merasa heran, maka saya dengan bersemangat menceritakan kepadanya arti Sumpah Pemuda kita: “satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa” yaitu Indonesia. Dan pemuda-pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda itu pada tanggal 28 Oktober 1928, pada Proklamasi kemerdekaan Indonesia, sekarang menjadi pemimpin-pemimpin RI. Kemudian Menteri itu berkata, “Fascinating!” (menarik sekali).
Pengalaman lain perlu diterangkan juga yaitu waktu diadakan Kongres Wanita Asia-Afrika di Colombo dalam bulan Februari tahun 1958. Saya waktu itu mengetuai delegasi Indonesia.
Parlemen Srilangka sedang bersidang dan timbul pertengkaran mengenai bahasa yang dipakai pada sidang-sidang parlemen itu karena masih memakai bahasa Inggris. Setelah perdebatan itu, maka kemudian diputuskan bahwa dipakai baik bahsa Tamil maupun bahasa Singhale di samping bahasa Inggris; sampai sekarang masih demikian adanya. Sekali lagi dengan bahasa saya ceritakan bahwa di Negara Kepulauan Indonesia bahasa persatuan kita tidak pernah dipersoalkan, bahasa kita adalah bahasa Indonesia berkat Sumpah Pemuda kita pada tanggal 28 Oktober 1928.
Lihat bekas jajahan Inggris yang sekarang terpecah-pecah menjadi India, Pakistan, Srilangka dan Bangladesh. Bekas jajahan Perancis (Indo-Chine) sekarang juga terpecah-pecah menjadi Laos, Vietnam serta Kamboja dan rakyat terus-menerus hingga sekarang mengalami keresahan dan perang saudara.
***
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sutan Sjahrir: Realitas Politik Itu Beda dengan Kehidupan di Dunia Kampus di rubrik ESAI.