Juni tahun 1916 atau 106 tahun yang lalu, Hadji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto membacakan pidatonya yang berjudul Zelfbestuur di depan peserta Kongres Nasional Sarekat Islam I di Bandung. Sosok yang dikenal sebagai Guru Bangsa ini menyampaikan pentingnya sekolah politik, kepala desa, serta membicarakan tentang Undang-Undang Perkampungan. Berikut ini cuplikan pidato panjangnya. Selamat membaca.
Desa adalah Sekolah Politik Pertama Kita
Oleh H.O.S. Tjokroaminoto
Sekarang saya akan membicarakan soal sekolah-sekolah politik, yang telah disediakan untuk kita, dan tentang sekolah politik yang pintunya akan segera terbuka untuk kita.
Sekolah politik yang telah ada untuk kita adalah perkampungan Bumiputra (Inlandsche gemeente). Saya akan menelaah semua verordening (peraturan) mengenai ini yang telah ada, terutama Undang-Undang Perkampungan Bumiputra (Inlandsche Gemeenteordonnantie), akan tetapi dengan memperhatikan keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian sehari-hari.
Menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perkampungan Bumiputra, desa-desa dikemudikan oleh pemerintah desa yang terdiri atas seorang kepala desa dan pembantu-pembantunya yang ditunjuk.
Kepala desa memegang kekuasaan terbesar, ia yang paling tinggi, karena ialah yang menentukan dalam segala hal. Biasanya anggota lainnya dari pemerintahan desa hanya merupakan teman berunding (bijzitters) semata-mata, dan mereka kerjanya tak lain hanya melaksanakan perintah-perintah kepala desa semata-mata, singkatnya, hanya sebagai pembantu atau alat.
Walaupun kepala desa sendiri yang bertanggung jawab atas kesejahteraan pemerintahan desa, namun hendaknya jangan dilupakan kurangnya pengetahuan dan pendidikan kebanyakan para kepala desa itu; sehingga dengan sendirinya penduduk desalah yang pertama-tama menderita kerugian-kerugian serta kesukaran-kesukaran pemerintahan desa, jika pemerintahan tersebut tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Dasar-dasar dari negara Bumiputra ini harus kita teliti dengan baik, kalau kita bertujuan untuk memajukan penduduk Bumiputra, tidak saja secara lahiriah tetapi juga secara batiniah.
Kepala desa terutama mempunyai dua lapangan pekerjaan, pertama: memerintah desa beserta pekerjaan-pekerjaan yang bertalian dengan itu, kedua: memberikan bantuan kepada Pemerintah.
Mengenai pemerintahan desa, yang paling utama kepala desa harus memperhatikan kesejahteraan desa dan penduduknya; ia dapat disamakan dengan ketua perhimpunan “Desa” (desa-vereniging), sebagai Direktur, Pimpinan masyarakat “Desa”. Lapangan pekerjaannya untuk kepentingan Pemerintah terutama mencakup pekerjaan kepolisian, pemungutan uang pajak dan peraturan pekerjaan rodi.
Kepala desa bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan mengenai bangunan-bangunan desa, mengurus keuangan desa, segala sesuatunya dengan memperhatikan persetujuan atau peraturan pemerintah daerah (gewestelijke keuren of verordeningen).
Kepala desa mewakili desa di dalam maupun di luar hukum.
Tadi telah saya katakan, bahwa pada umumnya kepala-kepala desa pengetahuan serta pendidikannya sangat terbatas, sedangkan seluruh pimpinan desa dipegang olehnya dan di samping itu iapun pegawai kepolisian.
Oh, akal sehat, dapatkah kita mengharapkan bahwa orang-orang seperti itu akan dapat memberikan bimbingan yang baik kepada desa-desa dan penduduknya, pimpinan dalam lapangan kemajuan berpikir, dalam lapangan politik, dan lain-lainnya?
Tidak, tidak, tidak, sudah tentu tidak!
Walaupun dalam keadaan yang sukar kepala desa harus berembug dengan pemerintahan desa, dan diwajibkan bermusyawarah dengan penduduk desa, tetapi apakah yang terjadi?
Kita tidak usah menjadi anggota pimpinan S.I. untuk mendengar tentang dan meyakini adanya kekeliruan-kekeliruan, kesalahan-kesalahan, serta perbuatan-perbuatan sewenang-wenang para kepala desa di sana sini; kesalahan-kesalahan yang tidak jarang menimbulkan kerugian besar pada penduduk desa.
Akibatnya; para kepala desa pada umumnya tidak dianggap sebagai bapak, pembimbing, pendidik ataupun guru, bahkan sebaliknya, mereka dianggap sebagai musuh atau penganiaya, oleh karena segala keburukan desa acapkali disebabkan oleh tindak tanduk atau perbuatan kepala desa semata-mata.
Memang benar, ketetapan-ketetapan dalam peraturan Pemerintah (Regeering reglement) yang memberikan kepada desa-desa hak mengurus rumah tangganya sendiri, sangat terpuji dan dengan demikian merupakan suatu jalan yang baik sekali bagi penduduk desa untuk memelihara kepentingan-kepentingan jasmaniah mereka.
Bila suatu desa kuat ataupun kaya, maka keadaan-keadaan tersebut memang akan menguntungkan penduduknya. Dengan hak-hak seperti itu penduduk desa belajar memelihara kesejahteraan umum…akan tetapi apalah artinya hak-hak itu bila desa-desa dipimpin oleh orang-orang yang tidak mempunyai cukup pengetahuan dan pendidikan untuk menjalankan tugas dan kewajiban seorang kepala, maupun seorang pemimpin atau pendidik?
Perkampungan-perkampungan Bumiputra dapat dikatakan merupakan bagian-bagian organik terkecil dari masyarakat hukum negara. Desa-desa itu dapat dikatakan urat-urat negara Hindia yang tentu akan terbentuk di kemudian hari.
Kita perlu mulai memberikan obat kuat kepada urat-urat tadi agar menjadi sehat dan mampu menerima darah yang harus mengalir di dalamnya. Seperti halnya tubuh terhadap urat-uratnya, demikian pula suatu negara harus berbuat baik terhadap bagian-bagiannya yang terkecil, agar negara itu menjadi kuat dan tidak mudah ambruk.
Lagi pula, kepentingan-kepentingan desa mencakup dasar sesungguhnya bagi kemajuan anak negeri. Desa-desa tersebut adalah sekolah pertama kita untuk belajar bekerja bagi kepentingan umum, desa-desa adalah sekolah permulaan ilmu politik bagi bangsa kita.
Maka itu hal yang pertama kita perlukan untuk pergerakan kita adalah mengusahakan kemajuan desa. Dengan peraturan-peraturan yang sedang berlaku, maka tidaklah mungkin kepentingan-kepentingan desa serta penduduknya memperoleh kemajuan, hal mana jelas disebabkan oleh buruknya pimpinan. Sidang C.S.I. harus memikirkan soal ini dengan sungguh-sungguh yakni pada rapat yang akan diadakan besok dan hari-hari berikutnya. Pada saat ini saya hanya dapat mengutarakan pikiran saya ini secara singkat saja sebagai berikut:
(1) Dalam peraturan-peraturan umum pemerintah, seharusnya ditentukan bahwa untuk dapat diangkat menjadi kepala desa seseorang sedikit-sedikitnya harus telah lulus Sekolah Kelas 2 Negeri dengan baik, agar setelah bekerja beberapa tahun ia akan memahami kewajiban-kewajiban seorang kepala, bapak, dan pendidik desa.
(2) Kepala desa harus dibebaskan dari pekerjaan kepolisian: (a) agar supaya ia dapat memperhatikan kepentingan-kepentingan desa dengan lebih baik; (b) oleh karena ia meningkat harkat dan derajatnya, justru pekerjaan kepolisian itu merendahkan derajatnya, dan ia dalam kedudukannya sebagai pegawai polisi (khususnya bila tidak dapat memberi keterangan mengenai suatu kejahatan atau pelanggaran) acapkali dianggap, atau setidak-tidaknya merasa jauh lebih rendah dari pada opas (pesuruh) yang paling rendah, dan acapkali harus duduk bersila di hadapan pegawai negeri terendah sekalipun.
Sikap demikian sungguh tidak pantas bagi seorang Bapak sesuatu perkampungan (gemeente). Harkat kepala desa sebagai pemimpin desa, harus diangkat.
Oleh karena sangat disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan kepolisian, maka acapkali terjadi bahwa kepala desa tidak sempat lagi memenuhi kewajibannya sebagai bapak dan pendidik penduduk desa, sedangkan ia dapat menyalahgunakan kekuasaannya dalam kedudukannya selaku anggota kepolisian.
(3) Dalam pelaksanaan tugas pekerjaannya seharusnya kepala desa tunduk kepada keputusan Dewan Pemerintahan Desa yang terdiri atas orang-orang yang terpilih dari kampung-kmapung, sehingga dengan demikian keadaannya tidak akan seperti sekarang lagi, di mana anggota-anggota Pemerintah desa hanya merupakan alat Kepala desa.
Menurut pendapat saya, Aturan Pemerintah Nagari (Nagari Bestuursregeling) untuk Sumatera Barat (Staatblad 1914 No 774) merupakan suatu contoh bagi perbaikan atas Undang-undang Desa (Desa Ordonnantie) ke arah yang saya tunjukkan di atas.
Saya akan batasi sampai di sini saja dahulu mengenai perkampungan-perkampungan anak negeri.***
*) Artikel ini adalah cuplikan pidato panjang H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua Centraal Sarekat Islam (CSI) pada Kongres Nasional Sarekat Islam I di Bandung, 17—24 Juni 1916. Judul asli pidato yang dibacakan 18 Juni 1916 ini adalah Zelfbestuur atau pemerintahan sendiri. Naskah ini bersumber dari Warung Arsip.
Penulis: H.O.S Tjokroaminoto
Editor: Agung Purwandono