MOJOK.CO – Semakin banyak pihak yang tak lagi percaya dengan media massa mainstream. Hal itu tidak masalah jika ketidakpercayaan itu tidak beralih ke media meme modal foto dan quote doang.
Baru-baru ini saya dapat kabar kalau salah satu tulisan saya nyelonong masuk ke sebuah grup militan agama yang pernah hits beberapa tahun ke belakang.
Ada wording yang ditulis kira-kira begini (saya coba perhalus): “Ini media massa cebong yang gemar bikin tulisan-tulisan satire. Mari kita berondong kolom komentarnya, kita kasih pelajaran ramai-ramai.”
Saya perhatikan satu demi satu beberapa akun di fans page tersebut. Beberapa akun ada yg cuma bergambar “bendera tauhid” dengan latar warna hitam, gambar cewek cantik, pemandangan alam—yang kalau kita klik akan terlihat minimnya aktivitas bersosial media si pemilik akun kecuali bagi-bagi tautan atau gambar-gambar meme saja.
Meski begitu beberapa akun ada yang riil. Maksud saya, akun medsos dengan aktivitas normal pada umumnya. Saya perhatikan dan pelajari beberapa postingannya, hampir tidak ada yang membagikan berita-berita dari media massa yang umum kita kenal. Alih-alih media massa macam Tempo atau Tirto, media sejuta umat macam Tribun atau Detik saja tak ada.
Anehnya, saya malah disuguhi potongan-potongan video yang cukup potensial untuk menjadi panas karena memuat isu-isu kontroversial. Beberapa video sengaja dipotong untuk mendapatkan sudut pandang yang pas. Beberapa postingan menyerang kubu yang dianggap memusuhi Islam, beberapa menyerang ormas-ormas sepuh di Indonesia.
Narasi besarnya begini: Jangan percaya sama media-media mainstream lagi, mereka semua udah jadi corongnya rezim untuk mendiskriminasi agama kita.
Ketidakpercayaan itu buat saya sah-sah saja. Ketika membaca sebuah portal berisi informasi, lalu menyadari isinya menyudutkan cara berpikir tertentu atau memuat informasi yang terlihat “melecehkan” orang-orang yang dijadikan idola, secara naluri kita bakal bersikap kritis pada media massa tersebut. Pada tataran lebih liar, orang yang tersinggung dengan konten yang ditulis bisa ogah membaca lagi portal tersebut.
Masih akan lumayan jika misalnya ketidakpercayaan itu kita alihkan ke portal media massa yang masih punya reputasi sama besarnya. Misal, kita nggak percaya lagi sama MetroTV, lalu kita maunya nonton TVOne. Buat saya sih, ya nggak apa-apa. Sebab mau bagaimana pun TVOne harus diakui punya kanal-kanal informasi yang cukup kredibel juga.
Masalahnya, ketidakpercayaan tersebut belakangan ini sering dialihkan ke media massa yang sama sekali tidak punya kapasitas untuk dijadikan rujukan. Bahkan beberapa cuma berdasar pada akun yang gemar bikin meme, dengan narasi yang kita nggak tahu itu sumbernya dari mana.
Agar terlihat bombastis maka dalam meme-meme itu kadang perlu dicatut nama-nama besar. Pernah saya lihat sebuah postingan ketika isu bakar bendera masih ramai, ada berita sekaligus meme yang disebar dengan embel-embel, “Erdogan marah sampai menangis tahu bendera tauhid dibakar di Indonesia.”
Uniknya, ada cukup banyak yang benar-benar percaya model media meme tersebut. Beberapa akun membagikan. Beberapa tersulut marah sekaligus senang karena merasa dapat legitimasi.
Saya sebut “media meme” karena penyebaran informasi ini hanya bermodalkan potongan-potongan quote yang lemah secara verifikasi, lalu diberi foto orang yang bersangkutan untuk kepentingan tertentu.
Padahal pihak penyedia dan penyebar media meme semacam ini juga tahu, kalau sama media massa mainstream yang framingnya nggak sreg saja mereka bisa anti, kenapa sama media yang—jangankan framingnya—sumbernya aja dari alam gaib begitu kok bisa ya mudah percaya?
Naga-naganya saya kok harus kembali pada kecenderungan kita yang ogah menerima informasi yang bisa mencederai kepercayaan sendiri.
Ini bukan soal kredibel atau tidak sebuah media massa dengan media massa yang lain, melainkan murni soal konsumen atau pembaca beritanya. Soalnya kalau media nggak jelas sumbernya aja bisa terus hidup dan konsisten bikin konten meme semacam itu, berarti memang ada pembaca yang emang nggak memerlukan validitas informasi. Model pelahap informasi yang lebih butuh konten yang sesuai atau mendukung keyakinannya.
Ini sama seperti ketika kamu dapat informasi dari dokter bahwa kamu ternyata punya penyakit jantung—misalnya. Kamu merasa bahwa selama ini kamu baik-baik saja. Lalu kamu memilih sikap tidak percaya dengan informasi itu. Karena informasi itu, bagimu, mencederai keyakinanmu bahwa kamu sehat-sehat saja.
Ketidakpercayaanmu akan informasi itu lahir—awalnya—bukan karena kamu sangsi sama kapasitas si dokter yang kasih vonis, melainkan karena kamu nggak rela kamu menderita penyakit jantung.
Akhirnya kamu cari dokter lain. Dengan harapan ada informasi lain yang bisa menggugurkan vonis dokter yang pertama. Ternyata di dokter lain vonisnya tak berubah. Kamu pun tambah tak percaya. Kamu merasa kamu nggak sakit.
Akhirnya narasi yang kamu bangun macam begini: Jangan percaya sama dokter-dokter medis lagi, mereka semua udah jadi budak ilmu kedokteran dan nggak bisa lihat kemungkinan-kemungkinan bahwa mereka bisa saja salah.
Lalu kamu lari ke pengobatan alternatif yang dipercaya masyarakat. Sialnya si tabib kasih informasi yang sama persis dengan vonis dokter. Bahwa kamu memang punya penyakit jantung dan malah membenarkan vonis dokter sebelumnya.
Kamu masih kukuh bahwa dirimu sehat-sehat saja. Lalu cari tabib lain. Tabib lain bilang hal yang sama–kamu masih ogah untuk percaya.
Kemudian kamu lari ke dukun. Kepada Mbah Dukun kamu ceritakan semua, mengenai ketidakpercayaanmu pada vonis dokter, tabib, dan menyampaikan bahwa kamu baik-baik saja.
Si dukun paham kamu ini datang padanya bukan untuk cari informasi apakah kamu betulan sakit atau tidak, tapi cuma mau mendengar kabar yang bagus. Karena dari ceritamu ke dukun, si dukun akhirnya kasih kabar yang ingin kamu dengar bahwa, “Iya, sampeyan nggak sakit.”
Si dukun tahu, percuma juga kalau kamu dikasih tahu yang sebenarnya. Lha wong kamu lebih percaya sama keyakinanmu sendiri ketimbang orang lain. Bakal seperti memahat air saja nanti jadinya kalau sampai terjadi perdebatan denganmu.
Pertanyaannya, kalau kamu lebih percaya sama keyakinanmu sendiri ketimbang dokter, kenapa kamu masih perlu datang ke tabib atau ke dukun?
Jawabnya: kamu bukan cari informasi yang benar, kamu cuma butuh legitimasi bahwa kamu yang benar.
Lalu kamu koar-koar ke semua orang, bahwa setelah sekian lama akhirnya kamu lebih benar ketimbang dokter. Tetanggamu kamu kasih tahu, mereka tidak percaya. Lalu kamu memaksa mereka untuk percaya.
Agar kamu tak merasa sendirian, akhirnya kamu pakai beberapa nalar-nalar yang aneh dan umum. Masih sedikit orang yang percaya. Lalu kamu keluarkan dalil-dalil logikamu, sampai kemudian kamu pakai dalil-dalil agamamu.
Bahwa sakit dan kesembuhan itu bukan di tangan dokter atau tabib, melainkan dari Tuhan. Cara pandang itu memang benar tapi tidak selalu tepat, karena dengan begitu kamu mengabaikan ikhtiar. Menafikan bahwa Tuhan pun punya cara-cara rasional untuk mewujudkan keinginan hamba-Nya.
Lalu ketika kamu merasa sudah mulai ada segelintir orang yang sepakat dengan idemu, penyakit jantung itu akhirnya membunuhmu.