MOJOK.CO – Saat ini, terbentuk narasi bahwa Anies Baswedan vs Ganjar Pranowo adalah HMI vs GMNI. Sebuah narasi bisa saya pastikan sungguh keliru.
Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo menjadi 2 dari 3 bakal calon presiden yang memiliki latar belakang aktivis. Keduanya sama-sama alumni Universitas Gadjah Mada. Mereka juga memilih jalan yang berbeda dalam berproses dan menempa diri dalam dunia aktivisme. Bung Ganjar di GMNI, Kanda Anies di HMI.
Saat ini, ada banyak pihak yang mulai membenturkan kedua tokoh ini berdasarkan latar belakang organisasi ektra kampusnya masing-masing. Seolah-olah pertarungan antara 2 tokoh ini adalah pertarungan 2 organisasi besar. Padahal tidak sesederhana itu.
Dalam konteks ini, sama sekali tidak ada kaitannya antara bacapres dengan sikap organisasi. Baik secara struktural, maupun kultural di akar rumput.
GMNI: Antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo
Selepas Kongres GMNI XXI di Ambon pada 2019, diakui atau tidak, pada kenyataannya, ada dualisme di tubuh GMNI. Implikasinya adalah melahirkan 2 sikap dari 2 pihak yang mengklaim sah mengatasnamakan GMNI.
Misalnya, ada 2 Rapat Pimpinan Nasional GMNI pada 2022 yang lalu. Kubu Ketua Umum Immanuel menyelenggarakan Rapimnas di Ancol yang dihadiri dan dibuka oleh Anies Baswedan. Sementara itu, kubu Ketua Umum Arjuna menyelenggarakan Rapimnas di Yogyakarta dan Ganjar Pranowo memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut, walaupun hanya melalui Video.
Dalam isu bisnis lapas yang menyeret Menkumham Yasonna Laoly, keduanya juga berbeda sikap. Kubu Immanuel meminta Presiden untuk mencopot dan Kubu Arjuna justru membela Yasonna Laoly.
Hari ini, kedua kubu sedang ramai di 2 isu yang berbeda. Pihak Immanuel fokus mendorong isu gugatan batas usia capres dan cawapres. Sedangkan, pihak Arjuna mengkritik langkah Prabowo dalam program minum susu gratisnya.
Itu baru perbedaan di kalangan kader aktif struktural, belum lagi di alumninya. Yusuf Blegur, yang selalu memperkenalkan diri sebagai eks Presidium GMNI, dalam berbagai kesempatan dan banyak media massa selalu aktif membela Anies Baswedan mati-matian.
Jika struktural dan alumninya saja tidak satu suara, apalagi kader-kader di bawahnya. Hal-hal di atas hanya sebagian kecil kasus yang membuktikan satu hal. Bahwa majunya seorang Ganjar Pranowo yang alumni kader GMNI, tidak serta merta membuat keluarga besar GMNI pro terhadap dia.
KAHMI & HMI: Anies Baswedan not found
Pada Munas XI Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Palu pada November 2022 lalu, ada isu yang berkembang. Isu tersebut berkembang setelah Presiden Joko Widodo tidak hadir. Padahal, sejak awal, panitia merencanakan Presiden membuka acara tersebut. Konon, ketidakhadiran Presiden karena di sana hadir Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan
Terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut, pada faktanya, Presiden memang tidak hadir. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mewakili Bapak Jokowi. Saat menyampaikan sambutannya, Ma’ruf Amin menyebutkan beberapa nama tokoh bangsa alumni HMI seperti Jusuf Kalla dan Mahfud MD. Peserta Munas meneriakan nama Anies Baswedan untuk turut disebutkan dalam sambutan beliau, akhirnya disebutkan.
Anies seolah menjadi bintang dalam acara ini. Apalagi tidak hadirnya Presiden Jokowi membuat beberapa pihak menilai HMI solid membersamainya. Tetapi nyatanya tidak. Sampai hari ini, tidak ada deklarasi yang dilakukan oleh Majelis Nasional Kahmi untuk mendukung Anies Baswedan.
Jika ada pernyataan dari salah satu Presidium KAHMI, yang mengatakan bahwa Anies layak diusung menjadi capres, sejauh ini hanyalah Herman Khaeron. Masalahnya, ini tidak bisa ditafsirkan semata dukungan dari beliau sebagai Presidium Kahmi. Ingat, beliau adalah politisi Partai Demokrat yang saat ini ada di koalisi pengusung Anies Baswedan.
Perlu diketahui, Presidium MN Kahmi ada 9 orang dan berasal dari 9 partai yang berbeda. Yaitu, Golkar, PAN, Partai Demokrat, Nasdem, PDIP, PKS, Gerindra, Golkar, dan PKN. Tentu hal yang sulit, bahkan tidak mungkin, untuk MN Kahmi jika harus menyatukan suara untuk mendukung salah satu calon presiden. Bahkan jika capresnya kader HMI sendiri.
Kita tidak perlu membahas tentang apa yang terjadi di Kahmi pada tingkatan daerah seperti Kahmi Jaya (Jakarta Raya). Ya karena jelas ini tidak merepresentasikan Kahmi Secara keseluruhan. Ada puluhan Majelis Daerah Kahmi di seluruh Indonesia yang belum menyatakan sikapnya.
Itu baru tataran alumni, bagaimana dengan kader-kader pengurus aktifnya?
Jika dualisme yang terjadi di GMNI itu akibat Kongres 2019, HMI lebih kompleks lagi. Dualisme yang terjadi sudah berlangsung sejak 1986. Bahkan, bagi sebagian kader HMI, ini sudah bukan dualisme lagi, tetapi 2 entitas organisasi yang berbeda, meskipun sama-sama HMI, yaitu HMI Dipo dan HMI MPO.
Ketua HMI Dipo, Raihan Ariatama, yang merupakan alumni UGM sama seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, jelas-jelas tidak mendukung Anies. Justru akhir-akhir ini malah sering meng-endorse Prabowo Subianto. Narasinya adalah bahwa Pak Prabowo idola anak muda. Terlepas dari klarifikasi dan pernyataannya bahwa PB HMI akan bersikap netral dan independen, sikap Raihan kepada Prabowo akhir-akhir ini banyak disesalkan dan dikritik oleh kader-kader HMI sendiri.
Sementara itu, HMI MPO yang hari ini dipimpin oleh Mahfut Khanafi belum mengeluarkan pernyataan terkait kondisi pencapresan ini. Sejauh ini hanya pernyataan normatif. Misalnya seperti menegaskan bahwa PB HMI MPO akan independen sekalipun kadernya capres. Padahal, HMI MPO selalu yakin dan membanggakan sosok Anies Baswedan sebagai kader murninya HMI MPO dari cabang Yogyakarta.
Bahkan, HMI MPO Cabang Jakarta di tahun 2021 ketika Anies masih menjabat menjadi Gubernur Jakarta, melakukan aksi geruduk balai kota. Ketua PB HMI MPO ketika itu, Affandi Ismail, lepas tangan dan menyayangkan aksi tersebut dengan dalih seolah hanya karena Anies adalah senior HMI MPO maka tidak layak di demo oleh adik adiknya.
Pernyataan Ketua PB HMI MPO tersebut disambut sinis oleh kader-kader HMI MPO yang mengikuti aksi tersebut. Bahkan sampai mengancam kudeta jika PB HMI MPO mengintervensi gerakan tersebut.
Rentetan hal di atas setidaknya dapat menggambarkan bagaimana kondisi HMI dalam alumninya. Gelar “alumni HMI” tidak menyebabkannya kebal kritik dan mendapatkan suara gratis.
Tidak sulit membantah pendapat yang mengatakan keluarga besar HMI satu suara mendukung Anies Baswedan. Silakan lihat dan tafsirkan sendiri sikap tokoh seperti Mahfud MD, Ahmad Doli Kurnia, dan Jusuf Kalla. Saya bisa memastikan semuanya berbeda.
Membaca organisasi ekstra kampus hari ini
Ada sebuah pemahaman tentang organisasi ekstra kampus yang berkembang di khalayak luas. Jadi, seolah-olah, organisasi ekstra kampus ini bergerak patuh pada satu komando. Bahkan, mereka dapat diatur arahnya dengan sebegitu mudahnya.
Organisasi-organisasi ini jelas berbeda dengan partai politik atau lembaga militer yang satu orang bicara semua mengikuti tanpa bertanya. Ada dialektika yang hidup di dalamnya. Ada ragam warna politik, banyak kepentingan yang terlalu rumit jika ingin dibuat satu benang merah penghubung satu sama lain.
Anggaplah organisasi-organisasi ini sebagai wadah pengkader, pembentuk, pembangun, yang mungkin ada banyak tokoh-tokoh besar lahir dari proses ini. Namun tidak serta merta menjadikan mereka seragam dan satu warna. Alasannya, karena organisasi-organisasi ini memiliki tujuan yang lebih dari sekadar pilihan politik.
Sekalipun, katakanlah, Ketua Umum HMI atau GMNI ini menyatakan dukungannya, terlepas boleh atau tidaknya secara konstitusi organisasi masing-masing, saya yakin dan percaya, perpecahan dan perbedaan pandangan di internal organisasi adalah sebuah hal yang niscaya. Apalagi dalam kontestasi Anies Baswedan vs Ganjar Pranowo.
Penulis: Yaser Fahrizal Damar Utama
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogging Bersama Ganjar Memberi Banyak Manfaat, Masak Pak Anies Nggak Mau Ikut? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.