MOJOK.CO – Kalau aja kita berpikir luwes ketika Habib Rizieq pulang, kerumunan massa yang begitu banyak itu wajar belaka. Pernah terjadi kok dalam sejarah.
Apa yang bikin orang-orang merasa sebal atau sirik ketika Habib Rizieq pulang ke tanah air?
Jika jawabannya berupa kesehatan atau risiko munculnya klaster baru pandemi ya—oke lah—itu kesebalan yang masih boleh-boleh saja.
Masalahnya, di antara orang-orang yang sebal itu, kedapatan di antaranya para buzzer yang sama sekali tidak menyinggung persoalan kesehatan. Yang muncul justru perasaan inferior akibat jumlah massa yang sangat banyak untuk seorang tokoh yang tidak mencalonkan diri pada Pilkada 2020.
Denny Siregar, lord para buzzer itu, bahkan sempat menuding massa yang mencapai ribuan orang itu sebagai “massa bayaran” dengan sindiran berupa kalimat, “Dananya emang lumayan.” Tudingan kosong yang sangat lemah tentu saja.
Huvt, padahal saya sempat berharap situ bakal agak lumayan kalau mau nyerang Habib Rizieq. Ealah, jebul cuma di situ kualitas tuduhan ente, Bung Denny.
Gini lho, kita tahu pada tahun lalu, Sobri Lubis yang menjadi ketua umum FPI sempat menuntut Pemerintah untuk membayarkan denda Habib Rizieq biar bisa pulang, hal itu berarti, menghabur-hamburkan uang alias mubazir bukanlah perkara mudah bagi FPI saat ini. Lagipula, Habib Rizieq juga bukan temannya setan, untuk apa beliau mubazir?
Selain itu, tudingan-tudingan mobilisasi yang digerakkan oleh kekuatan uang adalah tudingan usang yang selalu dilempar setiap kali ada kerumunan yang bertolak belakang dengan hajat Pemerintah. Alih-alih membuat orang percaya, tudingan sedemikian rupa justru dapat dimaknai sebagai bentuk curahan hati orang-orang yang hanya dengan modal membela Jokowi ujug-ujug diangkat sebagai komisaris sebuah perusahaan.
Padahal kalau saja kita berpikir luwes terhadap Habib Rizieq, kerumunan massa yang begitu banyaknya itu wajar-wajar saja adanya. Tidak ada yang aneh dengan ribuan orang yang menyambut kedatangan Habib Rizieq ketika pulang, baik di bandara, jalanan, maupun yang hanya menyambutnya lewat status Facebook atau tagar di Twitter.
Anda jangan terjebak logika penyambutan jamaah umrah pada saat ini yang paling-paling hanya dilakukan oleh sanak keluarga yang hanya mencapai belasan orang, mulai dari anak, cucu, hingga saudara sepupu. Kemajuan teknologi telah membuat mereka mudah saja pulang-pergi dari Indonesia. Sehingga, orang yang melakukan ibadah umrah atau haji dianggap biasa-biasa saja, tidak terlalu kesusahan dengan hambatan zaman.
Nah sekarang, Anda bisa bayangkan saja sendiri, Habib Rizieq hengkang dari Indonesia menggunakan visa umrah pada 2017 dan baru pulang ke Indonesia pada 2020. Sementara waktu yang dihabiskan untuk umrah biasanya cuma beberapa hari saja, dari keberangkatan sampai pulang ke Indonesia.
Ini jelas sangat berbeda dengan Habib Rizieq yang justru menghabiskan waktu selama tiga tahun. Bayangan tentang perjalanan beliau yang durasinya sangat fantastis ini akan melempar saya ke masa kolonial, di mana orang-orang yang berangkat ke tanah suci akan menghabiskan waktu bertahun-tahun sampai kembali ke tanah air.
Bahkan, perjalanan Habib Rizieq ini lebih ekstem lagi. Soalnya kalau orang-orang pada masa kolonial berangkat ke tanah suci dengan niat naik haji, Habib Rizieq hanya dengan niat umrah belaka saja durasi kepulangannya ke Indonesia udah ngidap-idapi. Kan ini wangun, Sulaiman!
Artinya, kita harus menggunakan logika yang berbeda untuk memahami fenomena kepulangan Habib Rizieq agar tidak menyamakannya dengan kepulangan jamaah lainnya pada masa sekarang. Bahkan, kita harus menyejajarkannya dengan fenomena penyambutan kepulangan jamaah haji yang terjadi pada zaman dulu, terutama pada masa kolonial.
Haji pada masa kolonial itu penyambutan jauh lebih mengharu biru dan emosional karena berangkat haji itu bak perjalanan ke medan perang. Sudah durasinya lama, belum tentu bisa kembali dengan selamat lagi. Lumrah akhirnya kalau penyambutan tidak hanya dilakukan oleh sanak keluarga tapi juga melibatkan orang sekampung.
Nah, itulah kenapa ketika seorang tokoh besar bernama Habib Rizieq umrah pada era milenial tetapi pulangnya justru menggunakan logika jamaah haji era kolonial, apa ya aneh bila orang-orang menyambutnya dengan penyambutan yang penuh emosional seperti itu?
Membludaknya massa di Bandara Soekarno-Hatta tersebut tidak lain karena Habib Rizieq telah melakukan perjalanan ke Mekah dengan melintasi bermacam-macam batas. Benar-benar perjalanan yang luar biasa kalau dipikir-pikir lagi.
Pantas kalau banyak jamaah Habib Rizieq yang sampai mengharu biru dan sangat emosional ketika menyambut Sang Imam Besar pulang. Lah gimana? Benar-benar kayak baru pulang dari medan perang jeh.
Udah gitu “peperangan” ini juga sudah melintasi atau menerobos banyak hal lagi. Dari menerobos zaman (dari era kolonial ke era milenial), menerobos wilayah (dari Mekah ke Jakarta), bahkan sampai menerobos gugatan perkara hukum (….).
Eh? Gimana?
BACA JUGA Tanda Penting di Balik Kepulangan Imam Besar FPI dan tulisan Ang Rijal Amin lainnya.