MOJOK.CO – Yang satu percaya corona ada, yang satunya percaya kalau corona itu konspirasi. Pemerintah perlu bikin Gugus Tugas Konspirasi Corona kalau gini caranya.
Masuknya Anji ke gelanggang pertarungan melawan sekumpulan orang yang percaya bahwa virus corona itu sangat berbahaya menjadi peringatan penting buat Pemerintah Indonesia. Bahwa selain adanya Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Indonesia memerlukan Gugus Tugas Konspirasi COVID-19 atau Corona.
Melihat animo masyarakat akan konspirasi di tengah pandemi saat ini. Pemerintah seharusnya bisa lebih peka menangkap dinamika yang terjadi.
Walau beberapa waktu lalu Pak Jokowi sudah membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan menggantinya menjadi Komite Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional, saya melihat pergantian tongkat estafet tersebut tidak akan banyak perbedaan.
Alih-alih kali ini cuma ditambah embel-embel yang lebih vulgar. Ada kata ekonominya dan para menteri berjubel masuk menjadi pengambil kebijakan.
Perubahan itu tidak diiringi dengan melihat melalui kacamata akar rumput yang faktanya telah terjadi perpecahan yang konyol. Soalnya, saat ini masyarakat Indonesia terpecah menjadi dua kubu.
Kubu pertama percaya bahwa corona itu ada dan sangat berbahaya. Sedangkan kubu kedua yakin bahwa corona itu tidak semengerikan itu dan menganggap ada konspirasi besar di dalamnya.
Kubu pertama jumlahnya banyak. Sedangkan kubu kedua pada akhirnya jumlahnya meningkat seiring waktu. Perdebatan akhirnya berjalan dengan topik begitu-begitu saja. Yang terbaru, opini Anji mecungul ke permukaan. Lagi dan lagi. Hanya seputar corona itu berbahaya atau tidak? Fakta atau konspirasi? Aelah, basi!
Padahal jawaban dari perdebatan membosankan itu jelas. Corona itu tidak cuma ada di Indonesia. Ia ada di semua negara. Kaya atau miskin. Maju atau kuno. Corona itu ada.
Soal berbahaya atau tidak. Tentu berbahaya ketika yang mati gara-gara corona tidak hanya berpusat di sekitar Indonesia. Semua negara merasakan kematian warganya gara-gara corona. Hampir semua negara juga mengakui bahwa corona itu ada dan berlipatganda.
Lantas apakah Indonesia harus tampil beda dengan menganggap corona itu hanya debu yang kalau ditiup akan hilang?
Apakah Indonesia harus jadi agak edgy dengan lebih percaya apa yang dituturkan Lord Jerinx atau dengan seorang musikus yang nulis o dan i saja malas padahal nulis kepsyen panjang bisa? Apakah Indonesia harus mengambil sikap berdasarkan isi podcast Om Deddy bersama Young Lex?
Kita dengan sikap cemas begini saja jumlah yang positif masih terus naik kok, apalagi jika hanya berpatokan pada pendapat yang didasarkan katanya, perasaan saya, blog abal-abal yang itu, dan dari akun YouTube yang ini.
Indonesia saat ini tidak hanya berperang melawan pandemi yang bernama corona. Tapi juga melawan pandemi yang bernama kebodohan.
Dan guna mengatasi pandemi tipe lain tersebut, alih-alih cepat meredupkannya, Pemerintah justru ikut-ikutan terjangkit melalui influence-nya. Sang musisi yang nulis kata “covid” aja malas. Padahal jelas, foto yang dipermasalahkan sang musisi itu adalah karya jurnalistik yang keabsahannya bisa dipertanggungjawabkan.
Oke, oke, di satu sisi apa yang dilakukan Anji baru-baru ini memang sepatutnya kita tiru. Khususnya dalam hal keteguhannya sebagai seorang anti-buzzer dan critical thinking-nya yang luar biasa.
Saking antinya sama buzzer, Anji sudah bisa menebak bahwa viralnya foto jenazah yang berbalut plastik adalah tipu daya buzzer. Rasa curiga blio bagus, tapi ya diselidiki dulu kek asal-usul foto tersebut baru ngasih opini. Sikap Anji terhadap buzzer-nya emang bagus, cuma eksekusinya berantakan.
Sekalipun saya berbeda pendapat, bagi saya apa yang dilakukan seorang Anji sah-sah saja. Itu adalah haknya dalam menyampaikan pendapat. Begitu juga seperti apa yang dilakukan seorang Jerinx, dan juga Young Lex.
Bahkan berkat mereka, banyak artis dan masyarakat biasa lainnya yang akhirnya ikut-ikutan sepemikiran dengan mereka. Mmm, mirip-mirip kerja buzzer/influence ni Bang Anji. Seperti ada Key Opinion Leader. Orang macam Bang Anji pasti mengerti.
Andai saja pemerintah peka, seharusnya orang-orang macam Anji, Jerinx, dan Young Lex ini sebaiknya dikumpulkan dalam satu wadah bernama Gugus Tugas Konspirasi COVID-19. Berdayakan mereka sebaik-baiknya.
Kasih mereka tugas untuk mensosialisasikan teori konspirasi corona yang mereka percayai ke jamaahnya dan terjun langsung ke lapangan guna membuktikan teorinya itu.
Indonesia tentu sangat memegang teguh kalimat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dengan adanya Gugus Tugas Konspirasi, mereka-mereka yang percaya bahwa corona adalah konspirasi bisa mendapat keadilan. Bahwa pikiran dan suara mereka juga didengar sama pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga bisa memanfaatkan mereka yang tidak percaya bahwa corona berbahaya dengan meletakkan mereka ke garda terdepan. Biarkan mereka membantu para nakes dan melihat para korban secara langsung—kalau perlu tanpa proteksi apa pun.
Jangan sampai, hanya karena ada pepatah, tak kenal maka tak sayang, maka mereka harus kena(lan) dulu baru mau sadar betulan.
Apalagi, dengan adanya Gugus Tugas Konspirasi COVID-19, saya yakin dana kesehatan yang sering dikeluhkan Pak Jokowi lambat terserap itu akan seketika melonjak cepat serapannya. Pasien akan bertambah bekali-kali lipat. Win-win solution yang menarik. Pemerintah untung, jamaah konspirasi buntung.
Selain itu, Gugus Tugas Konspirasi ini bisa diberdayakan dengan mengirim mereka ke Brazil, Amerika Serikat, India, Rusia, dan Afrika Selatan. Tugaskan langsung mereka untuk membantu para tenaga kesehatan di rumah sakit-rumah sakit yang merawat pasien corona.
Selain bermanfaat guna meningkatkan hubungan bilateral, tentu Gugus Tugas Konspirasi bisa sambil melihat realitas, apakah teori yang mereka agungkan itu nyata atau hanya fiksi belaka.
BACA JUGA Kasus Anji Merupakan Potret Keberhasilan Program Ekonomi Kreatif Era Jokowi atau tulisan Muhammad Farid Hermawan.