MOJOK.CO – Tenang, pemerintah yang baik pasti bakal keluarkan kebijakan susulan untuk pastikan tak ada rakyat lagi yang kepikiran buat mengkritik Presiden Jokowi dan pejabat.
Kemarin malam saya ngobrol dengan Ibu tentang pemerintah dan virus korona. Kami menggunjingkan betapa pemerintah setempat (yang kami maksud kepala desa) tidak cepat-tanggap.
Beberapa ruas jalan memang di-lockdown, aktivitas ibadah di keramaian sementara ditiadakan, dan warga diimbau untuk di rumah saja. Hanya saja, sampai sekarang, belum ada kontribusi nyata pemerintah selain meliburkan sekolah dan nyuruh warga berdiam di rumah.
Ibu pun merepet juga akhirnya, “Kalau artis sih enak, di rumah aja juga duitnya masih banyak. Lha kita, yang orang kecil begini, kalau di rumah doang ya kelaparan.”
Bapak saya kerja serabutan sebagai kuli bangunan. Ibu saya ibu rumah tangga biasa. Kakak saya sopir ojol yang mengeluhkan betapa sepinya orderan belakangan ini. Imbauan pemerintah soal social distancing memang kami reken, tapi nggak mutlak-mutlakan juga.
Kalau kami jadi warga yang terlalu patuh, memang pemerintah mau ngasih reward apa? Memang warga biasa kayak kami bisa kenyang makan janji?
Obrolan soal itu pun menjulur-julur sampai jauh. Kami ngobrol soal ketakbecusan pemerintah, kesenjangan sosial yang begitu kentara, dan sebagainya. Namun kami tetap berusaha menahan diri untuk tak memaki-maki pemerintah. Bagaimanapun, pemerintah tak buruk-buruk amat.
Mereka—para pejabat itu—punya berbagai bakat berharga: hobi menghibur dengan dark joke dan mengajarkan rakyat cara berbohong yang baik. Lagian, beberapa dari mereka juga masih punya banyak keahlian lain yang cukup mampu menghibur rakyat jelata kayak saya.
Misalnya keahlian bernyanyi (apa kabar Pak Wiranto dan Pak SBY?), berjoget (masih ingat jogetan dahsyat Pak Prabowo di debat Pilpres 2019 lalu?), dan menguasai berbagai bidang sekaligus bakat (tidak ada contoh yang lebih tepat dalam hal ini selain Pak Luhut Binsar Pandjaitan).
Maka, ketika Kapolri menerbitkan aturan soal kejahatan siber (yang memungkinkan seseorang dijerat hukum karena menghina presiden dan pejabat pemerintah) bernomor seri ST/1098/IV/HUK.7.1/2020, itu adalah bukti lain soal kedahsyatan pemerintah.
Pemerintah kita memang jagonya soal berpikir out of the box. Menteri Yasonna punya ide membebaskan narapidana korupsi (ketentuan dan syarat berlaku), Menteri Luhut mengeluarkan pernyataan korona tak tahan cuaca Indonesia, dan Menteri Terawan yang… entah lagi ngapain dia sekarang.
Nah, kini, pemerintah melalui tangan Kapolri, menerbitkan aturan larangan menghina Presiden Jokowi dan pejabat, alih-alih fokus memikirkan cara agar rakyat tak mati kelaparan karena efek pandemi korona.
Oke, kita tak sepatutnya langsung berprasangka buruk mengenai aturan ini. Pemerintah kita diisi oleh orang-orang baik, mustahil mereka menerbitkan aturan yang mengekang tanpa memberi dispensasi apapun.
Mereka pasti bakal mengeluarkan kebijakan susulan untuk memastikan tak ada lagi rakyat yang mau mengkritik atau marah-marah ke pejabat-pejabat negara. Nah, inilah beberapa kebijakan yang saya prediksi bakal pemerintah keluarkan menyambut aturan hebat itu.
Pertama, gaji dan fasilitas pejabat bakal diberikan ke rakyat
Refly Harun pernah menulis dalam akun Twitternya, “Seorang pejabat negara harusnya tidak marah kalau dikritik, kritik yang paling pedas sekalipun, karena dia memang diberi kemewahan dan segala fasilitas oleh negara, baik uang maupun kekuasaan.”
Agaknya Refly Harun mesti segera menghapus atau paling tidak meralat twitnya itu. Sebab, akan datang masa ketika para pejabat kita tak kemaruk dengan uang dan fasilitas.
Demi kebaikan orang banyak dan menindaklanjuti aturan soal larangan menghina penguasa, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Pak Jokowi akan bagi-bagi uang gajinya (nggak cuma bagi-bagi sepeda), Pak Luhut akan bagi-bagi saham pertambangannya, dan Pak Prabowo bakal membagi-bagikan koleksi tanah dan kudanya ke masyarakat. Belum lagi para menteri lain—Pak Terawan akan membagikan ilmu dan hartanya yang sama-sama adiluhung—dan pejabat-pejabat di bawahnya.
Pemerintah pasti tahu bahwa penghinaan sering muncul dari kedengkian. Dan kedengkian berasal dari ketakmampuan seseorang memiliki sesuatu. Maka, ketika gaji dan fasilitas pejabat sudah dibagi-bagi ke rakyat, mana mungkin bakal ada lagi orang yang menghina penguasa?
Kedua, pemerintah pasti bakal memastikan kasus pelanggaran HAM dan korupsi tak ada lagi
Banyak orang menyebut era pemerintahan Jokowi punya kemiripan dengan Orba Jilid II, lantaran maraknya kasus pelanggaran HAM. Dari petani digeruduk tentara, demonstran dihajar aparat, wartawan dikepruk polisi, sampai orang Papua yang kena aksi rasial dan bahkan dikepung di asramanya. Belum lagi janji presiden untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu yang makin lama makin kedengaran seperti dongeng.
Prestasi korupsi para pejabat di era Jokowi juga hebat-hebat. Mulai dari korupsi e-KTP, Jiwasraya, Asabri, dan lain-lain yang jumlahnya sukar diucapkan dengan kata-kata. Karena saking banyaknya.
Pelanggaran HAM dan korupsi membuat pemerintah tiada habisnya dihujat-hujat. Lantas, apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menghentikan pelbagai hujatan dan hinaan itu? Apa cukup dengan menerbitkan larangan? Tentu tidak.
Pemerintah juga akan mengeluarkan kebijakan yang kelak tercatat sebagai kebijakan paling keren sejagat raya: memastikan kasus pelanggaran HAM dan korupsi tak ada lagi.
Jadi, nanti, pasca-penerbitan aturan larangan menghina presiden dan pejabat, kita tidak akan melihat lagi aparat yang galak atau pejabat yang culas. Semua aparat serta pejabat menjadi baik dan Mojok pun bingung mesti me-roasting siapa lagi.
Ketiga, keadilan sosial bakal begitu merata
Kalau Anda bukan Kalista Iskandar, Anda tentu hafal bunyi sila kelima dalam Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Nah, bergembiralah kita, sebab sila yang kedengaran kelewat utopis itu bakal menjadi nyata.
Tidak ada lagi kesenjangan. Tidak ada lagi pertentangan kelas. Bos-bos kapital tak akan memeras tenaga pekerja. Tidak ada lagi orang miskin, pengemis, tunawisma, anak putus sekolah, orang mati kelaparan, dan berbagai gambaran buruk lainnya.
Tiba-tiba kita akan merasa seolah hidup pada masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, di mana semua rakyat makmur dan kezaliman musnah dari muka bumi. Dulu Umar bin Abdul Aziz sekadar menggunakan lampu milik negara untuk membicarakan hal pribadi saja segan. Maka, jangan heran kalau nanti kita menemukan berita Pak Jokowi dan pejabat mendadak ke konter pulsa beli kuota.
Hal ini semata-mata karena Pak Jokowi dan pejabat negara pada nggak berani menggunakan wifi Istana Negara untuk keperluan pribadi. Subhanallah sekali, bukan?
Kita juga tak akan menemukan pejabat yang keluyuran pakai kendaraan dinas, sementara masih ada rakyat yang naik angkot saja segan karena nggak punya duit. Kita akan melihat pejabat mengajak orang biasa untuk menumpangi mobilnya. Kita akan melihat pejabat ikut merasa kemacetan bersama-sama di jalan, tanpa perlakuan istimewa apa pun. Kita akan melihat pejabat-pejabat menjadi berbudi luhur semuanya, dan kita pun memuji-muji mereka.
Boro-boro menghina, kepikiran aja nggak.
Terakhir, meminta Ivan Lanin dan pegiat bahasa hapus kata umpatan dari kamus bahasa Indonesia
Nah, yang terakhir ini tak boleh dilupakan. Untuk mencegah penghinaan terhadap penguasa, pemerintah bakal menyuruh Ivan Lanin dan pegiat bahasa yang berwenang untuk menghapus semua kata umpatan dari dalam kamus.
Jadi, biar tak ada lagi tuh kata-kata semacam “goblok”, “tolol”, “bangsat”, “bajingan” dan sejenisnya yang biasa diarahkan ke pemerintah. Jika langkah ini berhasil dilakukan, kelak tidak akan ada lagi yang mengucapkan, “dasar pemerintah gooobbl…”
Sebab, di negara yang para pejabatnya mendermakan gaji dan fasilitas untuk rakyat, negara tanpa kasus korupsi dan pelanggaran HAM, dan negara dengan keadilan sosial yang merata, rakyat tidak punya lagi alasan untuk mengkritik atau memaki pemerintah. Bener begitu kan, Pak Kapolri?
BACA JUGA Sulit Sekali Mengkritik Pemerintahan Jokowi atau tulisan Erwin Setia lainnya.