MOJOK.CO – Penyelenggaraan IFeL 2020 patut diapresiasi, soalnya banyak hal ambyar dalam balbalan kita yang bisa dilenyapkan dalam kompetisi ini.
Pencinta sepak bola tanah air sepertinya memang sudah dikutuk untuk selalu babak belur. Usai dua tahun yang lalu olahraga dengan penonton terbesar ini dicoreng dengan adanya isu pengaturan skor, tahun ini kompetisi pun harus terhenti karena pandemi.
Meski begitu, di tengah-tengah aura gabut pandemi, belakangan digelar sebuah kejuaraan sepak bola tingkat nasional berbasis game Pro Evolution Soccer (PES), namanya Indonesia Footbal e-League (IFel). Ide yang menarik melengkapi kompetisi eSports seperti PUBG dan Mobile Legend.
Wangunnya, tak seperti kompetisi eSports lainnya, turnamen ini benar-benar dimainkan oleh 10 klub di Liga 1 2020. Dan ke-10 klub itu benar-benar klub-klub dengan nama besar di Indonesia. Dari PSS Sleman, Persik Kediri, Persija Jakarta, Arema FC, PSM Makassar, Persita Tangerang, dan banyak lagi.
Penyelenggaraan IFel tahun ini adalah kali yang pertama dalam sejarah di Indonesia. Dan Rizky Faidan, wonderkid kelas dunia, berhasil keluar sebagai pemenang dari klub PSS Sleman.
Jelas tidak semua penikmat sepak bola mengikuti pertandingan berbasis game elektronik ini. Terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa memainkannya. Namun, kompetisi ini nyatanya mampu memuaskan dahaga akan euforia mendukung kesebelasan tercinta di tengah ketidakjelasan penyelenggaraan Liga 1 2020.
Kita juga bisa kok melihat di kolom komentar ketika pertandingan berjalan atau di akun sosial media masing-masing klub yang berpartisipasi. Semua bentuk dukungan diberikan penuh ke masing-masing pemain seolah-olah pertandingan tersebut benar-benar terjadi di atas lapangan hijau.
Meskipun masih ada beberapa kekurangan, tetapi pada penyelenggaran IFeL 2020 patut diapresiasi. Yang tentunya banyak hal yang bisa bikin PSSI dan PT Liga belajar banyak biar nggak ropat-rapat aja kerjaannya.
Bebas match fixing (atau setidaknya begitu)
Ada hal yang lebih mengecewakan bagi suporter ketimbang sebuah kekalahan, yakni ketika tahu pertandingan yang ditonton telah diatur skornya. Ada perasaan sebal luar biasa karena seolah sedang dipaksa nonton Rumah Uya tapi dari dalam stadion.
Itulah kenapa banyak yang merasa terkhianati ketika isu mafia pengaturan skor Indonesia merebak beberapa tahun lalu. Rasa sakitnya boleh dibilang melebihi ambyarnya hati ketika melihat gebetan jalan dengan kawan.
Nah, untungnya di IFeL 2020, kecurangan semacam itu agaknya bisa dihindari. Ya kalau memang berniat curang, apa pun bisa terjadi sih. Tetapi paling tidak, sepanjang kompetisi, tidak ada yang terlihat terang-terangan sengaja dibobol atau melakukan gol bunuh diri yang disengaja.
Tidak ada perkelahian antar-pemain, paling banter nyalahin stik
Beberapa bonus dari tiket menonton laga sepak bola tanah air adalah kita juga sering diberi pertunjukan pencak silat, tinju, kungfu, MMA, debus, dan banyak lainnya. Bahkan kalau terjadi keributan antar-suporter, kita bisa dapet paket nonton drama perang kolosal dengan kualitas gambar 4K dan atmosfer 4D.
Untungnya, hal ini tidak terjadi di IFeL. Mau kalah dengan skor berapapun, sememalukan apapun, semencolok apapun skor pertandingan, usai tanding ya semuanya salaman. Tidak ada yang tiba-tiba mendorong atau memaki satu sama lain kayak dua petinju yang lagi sesi timbang berat badan.
Semua pertandingan, setinggi apa pun itu tensinya, terasa seperti pertandingan persahabatan. Yang terjadi justru antar-pemain malah saling memuji dan mengagumi. Karena meski merupakan kompetisi serius, basic dari IFeL 2020 adalah fun.
Kalaupun benar-benar sial dan pengen nyalahin sesuatu, yah paling banter yang jadi korban adalah stiknya. Namun semua orang juga tahu, perangkat stik yang buruk jika dipegang oleh tangan yang tepat, tetap akan bisa memberi penampilan yang mumpuni.
Walaupun sebenarnya nyalahin stik itu model kambing hitam paling kuno dan klasik dalam dunia PES juga sih. Dan hal kayak gitu jelas nggak bakal muncul dalam kompetisi sekelas IFeL 2020.
Tidak ada penyerangan terhadap perangkat pertandingan
Ada satu fenomena yang biasanya terlihat di pertandingan sepak bola di dunia nyata, tetapi sama sekali tidak terjadi di game elektronik, yakni aksi protes berlebihan yang berujung pada penyerangan pemain ke perangkat pertandingan, khususnya ke wasit dan hakim garis.
Semua pemain dan suporter sepakat bahwa segala keputusan wasit dan hakim garis di dalam PES sifatnya mutlak dan tidak bisa didebat. Benar-benar nggak kayak kompetisi sepak bola betulan. Yang dari level atas di Liga 1 sampai level tarkam, selalu saja ada kontrovesi tiap tahun. Hm, benar-benar kearifan lokal yang sudah mendarah daging.
Di IFeL 2020, jika sampai kamu sampai menyalahkan wasit, tentu itu bakal jadi pemandangan yang sangat konyol. Mungkin kalau error-error dikit waktu main game sih, itu bisa aja terjadi meski bisa saya jamin bakal sangat jarang, terutama untuk kompetisi PES sekelas IFeL 2020.
Ya iya dong, PES mereka juga nggak mungkin crack-crack-an lah, hasudah pasti ori dong ya. Emangnya kamu, mainnya PES 2020 tapi update dari PES 2013?
Rivalitas antar-suporter itu tetep ada, cuman terwadahi dengan rapi
Sepak bola itu selalu lekat dengan rivalitas. Dan hal-hal inilah yang membuat olahraga ini bisa hidup dan semakin digemari. Sadar bahwa dalam game balbalan pun rivalitas itu diperlukan, maka IFeL 2020 pun tetap mengakomodasi hal semacam ini. Apalagi rivalitas suporter antar-klub Indonesia itu kadang lebih kenceng ketimbang rivalitas suporter klub-klub luar negeri.
Nah, keberhasilan IFeL 2020 berikutnya yang harus diapresiasi tinggi adalah mereka mampu mewadahi pertikaian antar suporter dengan ciamik. Maklum, keributan tetap nama tengah suporter Indonesia, hanya saja IFeL lah yang sukses membuat keributan itu tidak merusak apapun dan sifatnya udah kayak aktivitas lelang di pegadaian.
Setiap suporter bisa memberi dukungan, komentar, pujian, hujatan, dan bahkan caci maki di kolom komentar ketika pertandingan sedang berlangsung. Dan karena ada ribuan penonton, maka dapat dipastikan perubahan tampilan di kolom komentar akan terus berganti dalam hitungan detik.
Semisal ada salah seorang suporter menghina tim yang lain, maka ujaran kebencian itu paling-paling hanya bisa bertahan tidak lebih dari lima detik saja dan akan digantikan dengan komentar yang lain.
Tentu ini membuat suporter lain yang awalnya tersinggung dan ingin membalas, tersalurkan energi negatifnya untuk meneliti satu per satu komentar di atasnya yang tentunya harus dilakukan dengan penglihatan yang sangat jeli. Yang tadinya mau marah pun, akhirnya pasrah ketimbang mata jadi kriting dan perlu direbonding.
Kesuksesan ini setidaknya membuktikan bahwa suporter memang membutuhkan wadah untuk saling bertikai. Soalnya keberadaan rivalitas ini lah yang menghidupkan rasa profesionalitas dalam sebuah klub bola sehingga pride mendapat kemenangan dengan jalan terhormat adalah prioritas mutlak.
Cuma ya itu, pinter-pinternya penyelenggara liga dan kompetisi aja dalam mengelola itu. Mau buat jadi tempat salah-salahin kayak kebiasaan PSSI dan PT Liga atau dirangkul sekalian seperti IFeL 2020.
BACA JUGA Kejadian Goblok yang Bisa Terjadi di Rental PS dan tulisan Mohammad Ibnu Haq lainnya.