Lho, kok judulnya ngeri amat? Sebetulnya memang judul itu dilebih-lebihkan. Bukan supaya dibaca orang. Tapi berusaha menjangkau ‘keinginan terpendam’ sebagian orang yang ikut aksi massa 4 November kemarin (411).
Kericuhan aksi massa 411 sebetulnya sudah sejak awal bisa dideteksi. Semua terlihat terang benderang dari mulai kelompok-kelompok massa yang didatangkan ke Jakarta, lalu menyimak yel-yel, dan juga isi orasi menunjukkan semua itu dengan gamblang. Tentu saja tidak semua peserta aksi ingin ricuh. Tapi mengabaikan bahwa kericuhan tidak akan terjadi pada aksi 411 adalah sejenis kenaifan politik.
Pertanyaan yang penting untuk segera dijawab adalah apakah kericuhan aksi massa tersebut akan mengakibatkan goncangan politik, akan membuat kerusuhan sosial, dan apakah ada kemungkinan bisa membuat Presiden Jokowi terjungkal?
Kalau Anda masih bertanya bahwa: lho ini kan urusannya soal Ahok, kenapa bisa sampai ke Jokowi? Itu berarti sensitivitas politik Anda kurang tajam. Bagi beberapa kelompok yang tergabung di aksi tersebut, jelas sekali bahwa isu Ahok adalah target antara saja. Tujuan sebagian dari mereka adalah mendelegitimasi rezim Jokowi, dan syukur bisa menjungkalkannya.
Nah, jika itu memang keinginan mereka, apakah keinginan tersebut bisa terjadi? Dalam politik, tidak ada keinginan yang salah. Dulu, orang ingin menjatuhkan Suharto, keinginan tersebut juga tidak salah. Hanya saja kalau menjadi praktik politik, ada konsekuensinya: kalau menang jadi juara, kalau kalah masuk penjara.
Terjadinya kerusuhan sosial di Indonesia punya beberapa syarat yang tidak mudah. Saking tidak mudahnya, saya termasuk orang yang percaya bahwa mendesain hal tersebut perlu daya yang luar biasa. Kalau bikin kericuhan, jauh lebih mudah. Poin-poin di bawah ini bisa untuk membantu apakah kericuhan bakal berbuntut kerusuhan atau tidak.
Pertama, krisis ekonomi. Kerusuhan sosial di Indonesia selalu ada pemicu dasarnya, yakni krisis ekonomi. Apakah Indonesia sedang krisis ekonomi? Jika iya, rezim Jokowi harus ekstra-hati-hati. Jika tidak, maka satu hal dasar terjawab. Definisi krisis ekonomi itu apa? Dalam konteks ini agak mudah yakni melambungnya harga kebutuhan pokok yang terjadi secara tiba-tiba.
Kedua, aksi massa yang terjadi didukung oleh masyarakat sekitar. Sebagaimana kita tahu, massa aksi kemarin didatangkan dari luar Jakarta. Itu sah-sah saja. Masalahnya adalah apakah aksi tersebut mendapat dukungan politik dari masyarakat sekitar? Jika dapat dukungan, itu persoalan besar. Jika tidak, itu tak terlalu menjadi persoalan. Demonstrasi 98 yang terjadi di berbagai kota, didukung oleh masyarakat sekitar. Di Jakarta didukung selain oleh kelas menengah, juga oleh apa yang biasa disebut sebagai ‘kaum miskin kota’. Kelompok masyarakat yang tersingkirkan karena agenda pembangunan. Salah satunya tentu saja karena digusur.
Ketiga, soal eskalasi. Poin ini lebih mudah melihatnya. Jika hari Sabtu (hari ini) dan hari Minggu ada aksi-aksi massa susulan di Jakarta, dan jumlahnya makin besar, Presiden Jokowi harus bersiap-siap menghadapi persoalan besar. Tapi jika jumlah peserta aksi massa menurun, terlebih menurun drastis, apalagi jika tidak ada aksi, bolehlah Presiden Jokowi merasa lega. Termometer politik rezim Jokowi harus siaga untuk memindai 511 dan 611.
Keempat, persebaran atau perluasan aksi demonstrasi. Kemarin, selain di Jakarta terjadi aksi massa di berbagai kota lain. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa Jakarta adalah titik didihnya. Namun butuh bahan bakarnya. Bahan bakar itu bisa dilihat dalam pergerakan aksi demonstrasi di kota-kota lain pada hari Sabtu dan Minggu ini.
Kelima, kesigapan rezim. Satu kekeliruan politik terjadi kemarin. Sebab mestinya Presiden Jokowi menemui perwakilan para demonstran. Tapi Presiden Jokowi memilih pergi ke tempat lain. Jelas hal itu menjadi amunisi dan alasan ketidakpuasan demonstran. Dan sialnya, semalam, dia membuat pernyataan politik resmi kalau kericuhan yang terjadi karena ada aktor politik yang menunggangi. Hal ini mungkin dianggap orang-orang di sekitar Presiden sebagai ‘gertakan’ atau bahasa politik termudah yang bisa dinyatakan. Namun dalam situasi seperti ini, keadaan bisa berbalik. Pernyataan itu bisa menjadi amunisi baru bagi lawan politik Presiden Jokowi. Maka kalau memang benar ada yang aktor politik yang menunggangi, secepatnya disebut dan diproses hukum. Kalau tidak, satu lagi bara yang sengaja dibiarkan tetap menyala.
Tim kerja di sekeliling Jokowi, memang dipilih dalam situasi tenang. Mereka adalah para teknokrat dan birokrat yang dibentuk untuk situasi ‘normal’. Tapi seorang Presiden harus bersiaga menghadapi situasi tidak normal. Kalau Presiden Jokowi mendapatkan masukan politik dari tim yang dipersiapkan bekerja dalam kondisi normal untuk merespons situasi yang tidak normal, Presiden Jokowi bakal punya potensi melakukan kekeliruan langkah-langkah politik. Ingat, Tom Hagen tidak cocok menjadi ‘consigliere’ dalam situasi ‘perang’ pada masa Michael Corleone.
Silakan pembaca menilai sendiri, apakah situasi-situasi di atas sedang terjadi atau tidak. Dan yang lebih penting lagi, langkah-langkah politik Presiden Jokowi seyogianya lebih kreatif dan lebih segar. Misalnya, ketika massa sudah membakar ban atau mobil, bawakanlah jagung, ketela, dan kambing. Massa diajak bebakaran bersama.
Jangan terlalu tegang, Pak Jokowi! Semalam, muka Anda terlihat: “Kau tampak tua dan lelah, keringat mengucur deraaas…” dan “Anak kuruuus tak seeekolaaaah, pemuda desa tak kerjaaa…”
Pagi ini saatnya bekerja. Di saat para anggota aksi massa masih kecapekan dan belum sempat konsolidasi lagi. Jangan lupa sarapan. Dan jangan lupa: segera umumkan siapa saja aktor politik penunggang kericuhan semalam. Kalau tim Anda yang membisiki hal tersebut tidak bisa menjawab: pecat saja. Suruh balik ke habitat masing-masing. Mereka itu Anda karyakan untuk mempemudah kerja Anda, bukan malah mempersulit.
Selamat bekerja, Tuan Presiden!