MOJOK.CO – Setiap komika yang mau populer, mereka harus siap dengan risiko terjerat UU ITE di masa depan. Mau sehati-hati apapun, bisa kok dilaporin.
Ketika artikel ini saya tulis, saya baru saja menemani sahabat saya, seorang komika bernama Ben Dhanio, untuk mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI).
Kompetisi yang bisa dibilang kompetisi paling sakral di skena komedi di Indonesia. Ben dan saya baru saja mendiskusikan materi apa yang akan dia bawakan di atas panggung SUCI. Saat artikel ini terbit, mungkin Ben sudah dieliminasi.
Dalam diskusi kami, secara sadar kami mencoret materi-materi yang kami anggap “bahaya” untuk TV. Baru setelah diskusi selesai, saya kecewa karena materi yang kami coret sebenarnya—menurut kami—lucu sekali.
Sayangnya, memang ada beberapa materi yang tidak cocok ditampilkan di TV Indonesia. Lagipula, materi seperti itu tidak hanya akan membuat Ben tereliminasi, tetapi kemungkinan TV yang bersangkutan juga tidak akan menayangkan materi itu. Materi yang saya maksud adalah materi nyerempet-nyerempet membahas perilaku orang beragama.
Saya sampai sekarang kadang masih berpikir, mengapa sih materi-materi kayak gini tidak bisa dibawakan di TV Indonesia? Padahal, sudah sering saya menonton komika lain di luar sana yang membawakan materi yang jauh lebih mengerikan daripada materi yang sering kami coret.
Louis C.K. pernah membawakan materi yang menormalisasi pencabulan anak di bawah umur di acara Saturday Night Live. Bill Burr di acara One Night Stand yang ditayangkan oleh HBO secara terang-terangan membawakan materi tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum di salah satu institusi keagamaan di sana.
Pertanyaan saya, mengapa di Indonesia, di acara-acara seperti ini atau di kompetisi bahkan yang tidak ditayangkan di TV, komika seringkali diminta untuk tidak membawakan materi yang menyentil perilaku umat beragama karena pasti dimasukkan pada kategori SARA?
Jangankan soal SARA, materi dark soal nenek sendiri pun bisa jadi masalah di Indonesia. Sahabat saya yang lain, seorang komika bernama Firman Singa, dieliminasi oleh kompetisi yang sama karena membawakan materi tentang neneknya yang meninggal. Materi itu dinilai oleh dewan juri sebagai materi yang terlalu gelap, padahal lucu.
Materinya kurang lebih seperti ini, “Bakso Malang ada yang diberi formalin, padahal kan formalin itu buat mayat. Nanti kalo nenek saya meninggal, kehabisan formalin di toko, gampang. Nenek saya, saya celupin ke kuah bakso.”
Eliminasinya kawan saya itu memberi pemahaman pada saya bahwa mungkin memang masyarakat belum siap menerima komedi gelap semacam itu. Kita masih belum siap kalau aib-aib sosial kita diumbar dan ditertawakan bareng-bareng.
Beberapa bulan yang lalu, Coki Pardede diserang habis-habisan oleh netizen karena unggahannya di media sosial. Coki mengunggah foto saat sedang menikmati minuman boba, lalu di sebelahnya ada foto anak kecil dari Afrika yang kelaparan.
Unggahan ini dinilai tidak lucu, terlalu gelap, dan insensitif terhadap isu kelaparan yang benar-benar terjadi. Bukan pertama kali Coki bermasalah dengan netizen, namun Coki tampak nggak akan kapok untuk bikin konten-konten serupa ke depannya.
Sikap berbeda ditunjukkan oleh beberapa komika lain, Pandji Pragiwaksono misalnya. Pandji sudah sering mengalami masalah ketersinggungan, dari mulai materinya tentang ganja, toa masjid, hingga kucing.
Pandji memilih jalan berhati-hati dalam mengunggah karya dan opininya ke media sosial. Pandji tahu persis resiko apa yang akan dia hadapi ketika mengunggah materi yang sensitif. Sampai akhirnya Pandji bikin tur stand up comedy soal “ketersinggungan” yang sayangnya belum juga nongol-ngongol karena pandemi.
Padahal sebenarnya, komedi tentang agama, kematian, dan lain-lain bukanlah hal baru buat Indonesia. Pelawak-pelawak senior seperti Srimulat dan Warkop DKI juga zaman dulu nggak jarang membahas isu-isu kayak gitu.
Bedanya, kali ini masyarakat Indonesia bertemu dengan media sosial. Dengan adanya media sosial, orang-orang yang tersinggung oleh sebuah penampilan komedi bisa berkumpul, saling mendukung argumen satu sama lain, bikin petisi, lalu bersama-sama menyerang komika yang bersangkutan.
Lagipula, musuh orang-orang kayak Coki Pardede dan penggiat komedi gelap lainnya tidak hanya netizen, tetapi juga perangkat bernama UU ITE. Terlepas apakah materi yang disampaikan sang komika lucu atau tidak, jika ada yang tersinggung dan cukup selo untuk melapor, komika yang bersangkutan bisa terjerat pula.
Salah satu yang bermasalah adalah pasal 28 ayat 2 UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Padahal, kalau mau ditelisik lebih jauh, hampir kebanyakan materi stand up comedy yang mengandung keresahan komikanya, selalu tersemat sedikit soal ini. Apalagi di dalam UU ITE, juga terdapat pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Makin banyak lagi risiko yang bisa menjerat seorang komika.
Artinya, keberadaan UU ITE pada dasarnya sangat berbahaya bagi komedi verbal yang penuh dengan opini subjektif macam gini. Tinggal ada orang nggak suka dengan si komika, cari-cari rekaman di YouTube, lalu cukup selo untuk bikin laporan ke polisi. Kelar deh. Bui menanti.
Ketakutan komika pada netizen dan UU ITE bukan hal baru. Pandji Pragiwaksono sendiri pernah menyarankan pada komika-komika lain untuk segera memiliki pengacara. Saya sih sedikit sepakat dengan hal ini.
Hanya saja, jika memang hak untuk bebas berpendapat dijamin oleh negara sesuai dengan UUD 1945 pasal 28, untuk apa para komika takut mengeluarkan materinya?
Menurut saya, yang dibutuhkan komika dan pekerja seni lainnya bukanlah pengacara, namun peraturan perundang-undangan yang lebih adil untuk berkesenian.
Solusinya ada dua, menurut saya. Solusi pertama adalah revisi UU ITE dengan segera. Yang artinya ada penyesuaian terhadap UU ITE terutama di pasal-pasal yang berpotensi menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Solusi kedua yang saya tawarkan adalah membuat undang-undang baru yang mampu melindungi pekerja seni dalam berkarya. Di semua genre karya seni apapun. Misalnya pelukis atau perupa tak bisa dijerat pasal pornografi ketika melukis atau bikin patung manusia yang kelihatan auratnya.
Atau mau pakai caranya Ridwan Remin aja sekalian untuk di stand up comedy? Katanya, “Yang dihukum jangan yang menyinggung, mending yang dihukum komika yang tidak lucu.”
Masalahnya, boro-boro berharap keadaan bisa jadi santai, saat ini kebebasan yang saya bayangkan tampaknya masih akan semakin lama terjadi. Divisi siber polisi justru baru saja mengumumkan bahwa mereka akan semakin aktif mencari konten-konten yang dinilai menyalahi hukum yang berlaku.
Jika komika ingin bebas berkomedi, mungkin memang butuh revolusi. Masalahnya, revolusi macam ini, biasanya butuh satu komika untuk jadi martir. Harus ada satu atau beberapa komika yang dipenjara atau mati karena materi komedinya. Kalau itu udah kejadian, baru deh revolusi soal ini bisa didiskusikan secara serius.
Atau kalau masih enggan revolusi, solusi dari Pandji tadi sepertinya bisa direalisasi sebagai antisipasi dalam waktu dekat, bahwa: syarat jadi komika di Indonesia sekarang adalah punya kenalan pengacara.
Kenalan aja dulu, perkara bela-membela mah itu urusan belakangan. Toh, yang penting kenalan tetep sama pengacara, tapi setoran tetep harus dibagi juga ke hakimnya. Eeeeh.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Coki Pardede: Si Raja Terakhir ‘Dark Comedy’.