MOJOK.CO – Tergantung di kubu politik mana Anda berada, istilah “akal sehat” bisa membuat Anda bangga, bisa juga membuat perasaan tersinggung.
Setelah peristiwa penolakan masif terhadap hasil quick count—yang membukakan mata kita tentang minimnya pengetahuan banyak orang soal metode penelitian ilmiah dan statistika—saya merasa penggunaan istilah “akal sehat” oleh kubu tertentu sungguh sesuai.
Eits, jangan buru-buru tersinggung atau senang dulu, ya.
Begini, meski mungkin ada istilah lain yang lebih tepat, common sense merupakan istilah paling lazim yang bisa diterjemahkan sebagai “akal sehat” dalam bahasa Indonesia. Perlu diingat, dalam literatur psikologi kognitif, common sense berbeda dengan scientific thinking atau pola berpikir ilmiah. Ia memerlukan upaya sadar untuk berkembang. Harus ada kerja sistematis untuk menanamkannya di benak manusia.
Kenapa demikian? Karena dari sananya, otak manusia penuh dengan bias. Kita merasa seolah sedang berpikir logis, padahal kenyataannya cuma sedang menyusun pembenaran bagi intuisi atau keyakinan kita. Common sense adalah pola berpikir yang lebih mengandalkan intuisi dan keyakinan macam ini.
Di lain pihak, scientific thinking justru menuntut kita meragukan segala intuisi dan keyakinan awal. Berpikir ilmiah berarti mengerahkan segala daya dan upaya guna menguji keyakinan serta intuisi. Kita juga harus selalu siap mengubah pendapat bila memang bukti mengharuskan.
Dalam pola pikir ilmiah, falsifikasi lebih penting ketimbang justifikasi. Lebih penting memastikan bahwa ada cara untuk membuktikan kesalahan pandangan kita ketimbang mencari-cari bukti pembenaran.
Meski disiplin ilmu yang berbeda punya metode riset yang berbeda pula, prinsip ilmiah untuk meraih kebenaran dengan meminimalkan segala eror, termasuk yang berasal dari bias subjektif manusia, tetaplah sama. Sebaliknya, dalam common sense, kebenaran bukanlah prioritas. Yang utama adalah soal memenuhi fungsi pragmatis tertentu.
Selama suatu pandangan diterima luas oleh teman-teman—yah, minimal sesama anggota grup WA kita—ia sudah bisa dibilang masuk akal. Selama banyak seleb medsos yang kita ikuti mengunggah gambar sesuatu-yang-tampak-canggih-meski-kita-tidak-paham-itu-apa adalah para hacker yang sedang menyerbu server KPU, ya ikut memasang tagar #INAelectionObserverSOS tentu sudah sesuai dengan akal sehat.
Sepanjang anggapan bahwa berbagai lembaga survei independen yang selama ini kredibel membuat hati kita lebih tenang dan tak perlu pilu menanggung realitas perih kekalahan, ya ngapain juga mencoba menambah wawasan mengenai apa itu quick count dan bagaimana cara kerjanya? Ya, kan?
Melawan intuisi itu berat. Kebanyakan orang tidak akan mampu melakukannya sepanjang waktu. It’s depressing. Really. Seperti tidak pernah ada kepastian. Seperti di-PHP gebetan terus-terusan. Apalagi kalau harus mengubah keyakinan. Uh. Dikira nggak capek apa kalau terus-menerus meragukan dan mencoba menguji pandangan?
Nyatanya, hidup akan jauh jadi lebih tenang bila kita melihat fakta-fakta yang sesuai dengan apa yang kita mau. Segalanya bakal lebih baik bila kita mengikuti kata ustaz atau tokoh yang “adem” (adem karena tidak mengeluarkan kata-kata yang bertentangan dengan keyakinan atau pandangan kita).
Ironisnya, segala keributan kedua kubu terjadi menggunakan teknologi yang dilandaskan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Iya. Semua laptop, hape, dan internet yang dipakai, baik oleh mereka yang lebih percaya pada teori konspirasi atau lebih memilih penjelasan lembaga survei itu, bukanlah buah dari common sense alias akal sehat.
Semua privilese Anda sekarang, mulai dari kesempatan cuap-cuap di internet sepuasnya, alat transportasi yang Anda kendarai setiap hari, sampai teknologi yang memungkinkan fantasi mengenai time travel semakin dekat, adalah buah perjuangan panjang, lama, dan berat dari para ilmuwan yang dengan susah-payah mencoba mengendalikan bias-bias mereka sendiri agar bisa menelurkan satu demi satu kemajuan teknologi.
Maksud saya, pada zaman sekarang, siap-siap saja kena bully habis-habisan kalau mengatakan matahari mengelilingi bumi. Yah, itu kalau Anda berada di lingkar sosial yang tepat, sih untuk mengumumkan pandangan tersebut. Kalau tidak, bagaimana? Ya jelas, alternatif pekerjaan buat Anda langsung berkurang. Sudahlah, lupakan saja melamar kerja di observatorium Boscha yang keren itu.
Pada zaman Galileo Galilei, orang bisa hidup makmur bahagia, sejahtera, dan penuh canda tawa meski beranggapan bumi ini adalah pusat tata surya, atau bahkan semesta. Pandangan geosentrisme masih lazim di zaman itu. Yang ada malah Galileo harus menjalani hukuman tahanan rumah sampai akhir hayat gara-gara mengampanyekan dukungannya untuk pandangan heliosentris Kopernikus!
Memang, berdasarkan common sense, geosentrisme sangat masuk akal. Indra terbatas manusia hanya bisa mempersepsi bumi sebagai benda tidak bergerak. Sementara itu, matahari jelas-jelas bergerak menurut mata kita: muncul dari Timur dan tenggelam di Barat.
Dengan kata lain, perlu cara berpikir tertentu, pengujian tertentu, alat-alat tertentu, dan bukti-bukti tertentu yang kemudian membuat umat manusia (dipelopori oleh ilmuwan zaman dahulu) untuk sedikit demi sedikit mengubah pandangan geosentris ini.
Demikian pula soal bulatnya bumi. Karena common sense adalah cara pikir awal kita sebelum dilatih menguasai nalar ilmiah, tak heran kaum yang meyakini bumi datar akan lahir dari generasi ke generasi, tak peduli semaju apa pun perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana para pengguna common sense masa lalu yang sampai pada kesimpulan bahwa bumi itu datar atau bumi merupakan pusat semesta dengan mengucapkan kalimat “Saya lihat dengan mata kepala sendiri” atau “Saya mengalaminya sendiri” sebagai argumen tertinggi, kubu common sense versi lokal modern juga melakukannya saat ini.
Lihat saja argumen mereka:
“Hasil hitung cepat tidak bisa dipercaya. Saya menyaksikan sendiri kemenangan pasangan nomor urut ** di beberapa TPS.” (random sampling, anyone?)
“Masyarakat kita tambah miskin, buktinya Bu Mia mengeluh tagihan listrik makin mahal.” (statistika, mana statistika?)
“KPU pasti curang mendukung petahana. Banyak pendukung kami kehabisan surat suara sehingga tidak bisa mencoblos.” (pernyataan ini dikeluarkan tanpa mencoba mengecek apakah kubu lain juga mengalami hal serupa, kan?)
Jadi, masih bangga dibilang menggunakan “akal sehat”?