“Agama kita ini kan cuma agama warisan, Mas.”
“Warisan? Bukanlaaah. Pada awalnya memang cuma ajaran orangtua. Tapi seiring kita dewasa dan mampu menggunakan akal sehat, kita bisa mempelajari mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya kita menemukan bahwa Islam adalah yang paling benar.”
“Wah, hebat. Berarti sampean sudah mempelajari agama-agama lain dengan serius juga, Mas?”
“Lho, ya jelas. Dari situ saya menemukan bahwa agama-agama lain nggak jelas konsep ketuhanannya, mengajarkan banyak hal yang justru jauh dari kebaikan.”
“Keren sekali kalau gitu pergulatan spiritual sampean, Mas. Berarti sempat mondok di seminari, atau nyantri lama di ashram atau pusat-pusat keagamaan lain, gitu, Mas? Berapa belas tahun tuh prosesnya?”
“Ah nggak sampai segitu sih, Mbak.”
“Terus dari mana belajar agama-agama lainnya itu, Mas?”
“Dari Yutub-nya Ustadz Zakir Naik. Kan beliau banyak tuh mengupas ajaran agama-agama lain. Lengkap.”
“Owhhh. Gitu ya. Terkesan saya.”
***
Agama warisan. Kenapa kita bisa begitu sensi mendengar istilah itu? Ketika ada seorang anak remaja menyebutnya, warga linimasa langsung ribut luar biasa. Banyak yang tersinggung. Banyak yang menudingnya “kecil-kecil sudah liberal”. Bahkan ada yang sampai melemparkan ancaman pembunuhan.
Saya sendiri tidak 100% sepakat dengan tulisan-tulisan si anak remaja, apalagi belakangan ada yang ketahuan jiplakan. Tapi bukan itu yang mau saya bicarakan. Saya cuma mau ngobrol soal agama warisan. Boleh, kan?
Begini. Orangtua mengajari kita dengan nilai-nilai agama. Sejak dari kandungan sudah didoakan dengan cara-cara agama. Dari bayi sampai usia kanak-kanak, kita ditimang dielus sambil mereka membisikkan harapan-harapan baik, dengan doa-doa ajaran dari agama. Tiap malam kita pun didongengi dengan khazanah cerita-cerita berbasis agama.
Beranjak lebih besar lagi, orangtua mengikutkan kita pada kegiatan-kegiatan agama. Di situ kita mulai menjumpai situasi riil bernama lingkungan. Kita menemukan bahwa keluarga besar kita, sanak famili kita, teman-teman kita, tetangga-tetangga kita, adalah orang-orang yang seagama dengan kita. Berkumpul dengan banyak orang yang seagama, kita merayakan hari raya dengan gembira. Menikmati keriangan dan keindahan dalam peristiwa-peristiwa agama.
Situasi seperti itu terus berkembang. Kita semakin tumbuh. Semakin dewasa. Pengondisian kita kepada nilai-nilai dan suasana agama semakin kuat. Kita berpikir dengan sudut pandang agama. Kita mencerna fenomena-fenomena nyata dalam kehidupan dengan kacamata agama. Kita menghadapi masalah-masalah, lalu menyikapinya dengan perspektif agama.
Berlandas rangkaian proses yang amat panjang, agama yang diajarkan orangtua kita telah membentuk bangunan konstruksi kesadaran maupun ketidaksadaran kita.
***
Dalam kondisi pikir dan batin semacam itu, kita pun memandang orang lain dan keyakinan mereka dengan kacamata yang sudah terpakai secara paten di kepala kita. Kacamata itu terus kita kenakan saat kita tiba-tiba tertarik untuk mengintip lebih jauh tentang bagaimana orang lain menempuh jalan keimanan versi mereka.
Lalu kita menyimak ulasan tentang agama-agama mereka. Sambil lalu saja. Mana pernah kita mengkhatamkan aneka rupa kitab suci di luar kitab suci kita sendiri? Yaaa ada sih yang kita baca, tapi beberapa bagian kecil saja. Sangat kecil. Itu pun kita membacanya karena mendengar referensi dari mentor kita dalam proyek eksplorasi keyakinan. Siapakah dia?
Ya, Ustadz Doktor Zakir Naik.
Dalam bimbingan beliau almukarom, kita membusungkan dada sambil berkata, “Saat kita sudah mampu menggunakan akal sehat, kita bisa mempelajari mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya kita menemukan bahwa agama kitalah yang paling benar!”
Jangan dulu berprasangka. Pak Zakir saya sebut sebagai contoh bukan dalam konteks menista ulama, jadi mohon jangan persekusi saya. Nama beliau saya colek dalam konteks semacam perasaan … mmm, gimana ya, lucu saja.
Begini lucunya. Kita mengaku sedang melakukan eksplorasi secara objektif, padahal yang kita acu dan kita dengarkan bukan sumber primer dari objek kajian kita. Kita malah belajar dari sosok orang atau bacaan yang sudah memberikan penilaian terlebih dahulu kepada apa-apa yang hendak kita pahami, sesuatu yang sekadar meneguhkan citra yang sejak semula sudah tergambar lewat kacamata kita.
Lagi pula, yang kita simak tentang ajaran-ajaran di luar keyakinan kita itu cuma cuilan-cuilan saja. Sementara, cuilan-cuilan itu memang “dipilih” agar cocok dengan hasil akhir yang telah kita rancang sedari semula.
Artinya, yang kita lakukan sebenarnya sama sekali bukan pencarian kebenaran. Itu semua lebih mirip upaya afirmasi atas keyakinan yang telah kita bangun dengan kokoh di masa-masa sebelumnya. Kita cuma sedang mencari penegasan-penegasan atas apa yang telah tertata lahir dan batin dalam proses puluhan tahun, yang telanjur meresap ke segenap jaringan pembuluh rasa dan pikiran kita.
Lalu kita menyebutnya sebagai “menggali, membandingkan, dan menemukan mana yang benar dan mana yang salah”.
Aduhai, sombong sekali kita. Sombong sekali. Kita merasa bahwa iman yang tertancap di hati adalah hasil mengagumkan dari perjuangan keras dalam pencarian kebenaran sejati. Kita merasa sebagai manusia yang sangat objektif dan lepas dari beban-beban subjektivisme. Padahal kita cuma sedang denial, menyangkal, dan gengsi untuk mengakui bahwa sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar berburu dan mencari.
***
Saya tahu, tidak semua orang seperti kita. Ada mereka-mereka yang bergulat dan bertarung keras dengan pencarian keyakinan dengan segenap risikonya. Ada yang kehilangan satu versi iman, lalu menemukan iman versi yang lain. Ada yang berangkat dari didikan orangtua yang tidak mengajarkan iman, lalu ia sendiri berjuang dan berjumpa dengan iman. Ada pula yang tumbuh dari keluarga yang bermandi cahaya keimanan, lalu tiba-tiba ia lari, hilang, mencampakkan iman lama, menjelajah ke area-area terjauh dari titik start keimanannya, namun akhirnya berlabuh kembali ke rumahnya yang lama.
Saya mengakui, orang-orang seperti itu hebat. Mereka tidak sepenuhnya menjalankan agama sebagai warisan. Atau setidaknya, mereka tidak bermanja-manja dengan apa yang sejak mula telah utuh-utuh mereka dapatkan.
Namun kebanyakan orang tidak sehebat mereka. Mayoritas manusia menjalankan apa yang terdengar sangat tidak enak di telinga: agama warisan. Saya sendiri salah satunya.
Saya tumbuh besar dalam keluarga yang menanamkan Islam sebagai ajaran yang kami pegang kuat-kuat. Saya pernah mengalami masa galau dan labil, dengan iman yang naik-turun bahkan nyaris hilang. Tapi saya tetap merasa punya satu tali yang terus menarik saya, menghubungkan saya dengan akar yang telah tertanam dalam-dalam sejak lama. Ya, agama yang saya jalankan, saya akui, adalah agama warisan.
Tapi ngomong-ngomong, so what dengan agama warisan? Kenapa mesti gengsi dan denial?
Jujur, saya tidak pernah punya cukup waktu untuk mempelajari dan menjalani agama-agama lain secara sama seriusnya dengan saya menjalani Islam. Jangankan mencoba menjalani, sekadar membaca sekilas pun saya tak punya waktu.
Bayangkan saja, ada tak kurang dari 4200 sistem keyakinan yang hidup di dunia. Empat ribu dua ratus, Sodara! Mungkin Anda amat jeniusnya, sehingga sempat membongkar semuanya dan membandingkan satu sama lain, sehingga Anda marah waktu dibilang agama Anda warisan belaka. Tapi kalau saya sih tidak sempat. Saya tidak mampu, dan tidak berniat untuk itu.
Waktu kita pendek. Sangat pendek. Dalam pendeknya waktu, saya ingin menikmati apa yang telah saya miliki ini dengan penuh syukur. Toh, meski agama saya cuma warisan, saya nyaman menjalaninya. Saya merasa akar saya, landasan batin saya, fondasi spiritual saya, adalah ajaran keyakinan yang telah ditanam dan disemai oleh orangtua dan lingkungan saya.
Mungkin iman saya naik dan turun. Mungkin berkali-kali muncul keraguan yang terlalu subversif. Mungkin kadangkala menyelinap pertanyaan di celah sempit hati saya, “Jangan-jangan ada jalan yang jauh lebih membawa saya kepada kebenaran sejati selain apa yang sekarang saya jalani?”
Tapi saya sadar, ada keterbatasan kemakhlukan yang tak terlawan dalam diri saya. Ada segenap kemustahilan untuk benar-benar menghabiskan usia dalam menemukan apa yang sesungguhnya kita butuhkan.
Pada titik itulah, justru saya merasa bahwa segala keterbatasan ini lagi-lagi cuma menjadi bukti ke sekian ribu kalinya, bahwa kita ini memang cuma ciptaan. Ciptaan, dengan segenap keterbatasan kemampuan, yang diberi bekal ala kadarnya, dan bekal itu mesti kita rawat dan cintai sebaik-baiknya.
Agama saya memang cuma agama warisan. Saya tidak ingin menyangkalnya, sembari congkak berteriak bahwa saya menempuh perjuangan panjang pencarian kebenaran secara habis-habisan.
Agama saya agama warisan. Tapi saya menemukan bahwa itulah jalan satu-satunya yang saya kenal untuk menuju Tuhan, untuk meratapkan segenap kebahagiaan dan kesedihan, untuk alas bersimpuh merebahkan segenap kepasrahan.
Agama saya agama warisan. Saya menikmatinya, mencintainya, dan di bulan indah ini saya ingin merayakannya, tanpa diganggu keributan iklan Pak Deddy Mizwar sebagaimana kalian rasakan setiap harinya.