MOJOK.CO – Bahasa Indonesia dianggap simbol modernitas dan kemajuan, sementara bahasa daerah dianggap sebaliknya. Kok bisa gitu?!
“Saya salut loh sama kalian (orang Indonesia) yang menguasai tiga sampai empat bahasa bahasa padahal saya cuma bisa nge-English doang,” kata teman saya, Viviauna, seorang mahasiswa Amerika.
“Lah saya malah kagum sama kamu yang English-nya lancar, cas cis cus!” balas saya.
Kami tertawa. Saya diam-diam mengagumi bahasa Inggrisnya yang tentu saja luancar polll dengan pengucapan sempurna, sementara ia terkagum-kagum karena saya bisa bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Bugis.
Padahal, nyatanya tidak semua orang daerah bangga, apalagi mau melestarikan bahasa lokalnya.
“Bahasa Indonesia maki saja, jangan mi bahasa Bugis,” begitu seorang kawan lama memotong pembicaraan ketika kami bertemu di terminal sementara tak ada siapapun di sekitar kami selain kami berdua.
Jadi, mumpung sekarang masih bulan Oktober alias bulan bahasa, alangkah baiknya jika kita menggeledah kembali sikap kita terhadap bahasa. Sudahkah kita adil sejak dalam pikiran memandang bahasa?
Setidaknya, ada 719 bahasa yang dicatat UNESCO. Lalu bagaimana cara melestarikan keseluruhan bahasa tersebut? Nah ini dia masalahnya!
Masih menurut UNESCO, 143 bahasa daerah terancam punah. Padahal, bahasa daerah adalah aset, identitas, dan budaya leluhur yang sepatutnya dirawat. Sayangnya, bahasa daerah justru kalah gengsi dengan bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Indonesia kalah keren dengan bahasa Inggris. Ah, andai saja kepunahan itu bisa diganti dengan punahnya para politisi yang suka sebar hoaks dan korupsi!
Mereka yang biasanya berbahasa daerah dianggap kampungan. Mereka yang bisa bahasa Indonesia dianggap lebih hebat, apalagi kalau keminggris. Yah, semacam ada hierarki yang ditentukan oleh bahasa dan dipelihara oleh masyarakat.
Konsekuensinya, orang-orang tua tak lagi mau mengajarkan anak mereka bahasa daerah. Emak-emak muda di kampung saya tak jarang menegur anaknya jika berbahasa Bugis.
“Bukan manu’ (Bugis) itu, itu ayam.”
Ancaman kepunahan bahasa daerah tidak terlepas dari generasi muda yang enggan melestarikannya. Ada yang tahu, tapi malu dan takut dianggap kampungan. Tidak updated. Tidak gaul dan keren. Dirujuk lebih jauh, keengganan anak belajar bahasa daerah juga karena orang tua yang melihat bahasa daerah tidak menguntungkan, baik dari status sosial maupun secara ekonomi.
Memang, sih, bahasa sebagai salah satu produk budaya adalah budaya abstrak yang tidak semenguntungkan gelar bangsawan atau tradisi yang bisa menghasilkan fulus seperti tradisi uang panai’ di Suku Bugis-Makassar. Tapi, apa memang iya mengajarkan anak bahasa daerah tidak akan mendukung kemajuan si anak tersebut jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahkan bahasa Arab?
Wah, tunggu dulu.
Sejujurnya, saya senang bahasa Inggris dianggap elit dan simbol kemajuan. Sebagai pengajar bahasa Inggris dan kini mengambil jurusan TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages), persepsi ini bisa menjadi promosi gratis yang menguntungkan. Hanya saja, saya menyadari bahwa saya memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan budaya sendiri. Di saat bersamaan, saya juga mengambil jurusan Linguistik dan membuat saya menyadari sepertinya ada yang keliru dengan cara kita memperlakukan bahasa.
Fenomena menempatkan bahasa yang satu lebih superior dibandingkan bahasa yang lain adalah perihal sikap kita terhadap bahasa. Sarah Thomason yang pertama kali menggaungkan diskursus Language Contact menyebut fenomena tersebut sebagai Language Attitude, yaitu sikap terhadap bahasa yang terkait erat dengan Language Ideology.
Anggapan dan keputusan kita meninggikan bahasa yang satu dengan yang lain tak lepas dari bahasa-bahasa yang tersedia di sekitar kita. Bahasa-bahasa tersebut tidak ‘berkompetisi’ dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh situasi sosial.
Sebagai gambaran, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dibuat standar dan diajarkan secara sistematis di jenjang pendidikan. Dibandingkan dengan Singapura, Brunai, Filipina atau Malaysia, kita memiliki bahasa nasional yang berasal rahim bangsa kita sendiri. Sayangnya, penetrasi bahasa Indonesia dalam banyak hal juga menggusur bahasa lokal, meski undang-undang menjamin kelestarian bahasa daerah. Nyatanya, sosialisasi yang berlebihan tanpa mempertimbangkan bahasa daerah telah sukses memengaruhi masyarakat. Bahasa Indonesia dianggap simbol modernitas dan kemajuan, sementara bahasa daerah dianggap sebaliknya.
Penetrasi Bahasa Inggris—terutama sejak 1966—sukses menggantikan bahasa Belanda yang pada masa kolonial dianggap sebagai bahasa orang-orang elit terdidik. Sneddon—seorang ahli linguistik yang fokus pada Bahasa Indonesia—mencatat bahwa setidaknya hingga tahun 1996 telah ada 600 kata sifat dan 500 kata kerja yang diambil dari bahasa Inggris. Jumlah ini saya yakin telah bertambah secara signifikan saat ini. Padahal jika dibandingkan kata serapan, bahasa Indonesia memiliki tingkat peminjaman loanwords lebih rendah, yaitu 35%–berbeda dengan bahasa Inggris yang mencapai 42%.
Bahasa pada prinsipnya sama saja: tentang ada yang lebih terkenal dari yang lain, tak terlepas dari sejarah politik di masa lampau. Bahasa Inggris menjadi bahasa global sebab, yaaaa, gimana lagi: ia lebih dulu menjelajah dunia dan lebih besar pengaruhnya. Mengukur kecerdasan seseorang dengan ukuran bahasa Inggris jelas salah kaprah. Laura Halliday, profesor saya, menyebutnya fenomena ini sebagai Linguistic Racism yang merujuk pada orang-orang yang memiliki kemungkinan merendahkan orang lain dari bahasanya.
“I hope one day people will understand that English is a language not a measure of intellegence,” pesan sebuah meme.
Gini loh, Beb: kalau semua yang bisa bahasa Inggris disebut keren dan cerdas, ya semua gelandangan di New York atau di London juga keren, dong? Atau, ingat beberapa waktu lalu di Mata Najwa ketika Mardani Ali Sera mencoba memperkuat argumennya dengan sepotong bahasa Inggris agar terlihat intelek? Sayang, jawabannya justru jauh dari substansi! Sebagai pengingat nih, ya, beliau menjelaskan keberhasilan pasukan Prabowo yang berhasil mendaki Gunung Everest, sementara yang ditanyakan adalah rekam jejak terkait kepemimpinan sebagai presiden.
Tapi, yaaa, pendukung Jokowi tak perlu senang dulu. Ali Mochtar Ngabalin juga pernah mengucapkan frase bahasa Inggris yang tak dipahaminya sendiri, kok. Hehe~
Multibahasa (multilingual) di negara kita memiliki potensi mempersatukan. Kalau seandainya semua tahu dan sadar bahwa orang-orang Jawa terbiasa menyebut [kha] dengan [ka] seperti Jokowi, mungkin kita tak perlu ribut. Contoh lain, orang Bugis-Makassar sering kali menyebut makan dengan makan[ng], hutang dengan [utan], tanpa dengan ta[m]pa. Apakah mereka bodoh? O, tidak! Ini semua hanya karena pengaruh bahasa Bugis-Makassar dan menjadi kebiasaan.
Lantas, bagaimana dengan anggapan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris membuat anak lebih maju dan cerdas? Anak yang multilingual—termasuk bahasa daerah—membuat sang anak memiliki potensi kecerdasan lebih baik dari anak monolingual. Kata Nia Nacamulli di TED Talk dengan merujuk pada hasil studi, jaringan otak anak multilingual lebih aktif bekerja dan berfungsi. Mereka memiliki kemampuan memecahkan masalah lebih baik, meningkatkan kreativitas, meningkatkan kemampuan memori, memiliki tingkat rasa empati yang lebih, lebih sensitif dan peka pada situasi tertentu, serta meningkatkan intelejensi (IQ). Di tengah kompetisi kerja, kemampuan-kemampuan seperti inilah yang akan banyak dibutuhkan kelak merujuk pada hasil beberapa studi.
Yah, harapan saya sih cuma satu: semoga tagline “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing” tak lagi menjadi tagline belaka.