Saya nyaris saja menelan permen karet ketika sedang fokus membaca perbincangan di salah satu grup Whatsapp. Ngomong-ngomong, lucu juga kali ya kalau setelah menelan permen karet saya jadi punya kekuatan supernya Rupi, di film kartun One Piece, dan mendadak bisa memanjangkan lengan, kaki, leher, dan titit. Eh!
Tapi lupakan dulu soal panjang memanjangkan itu, jamaah Mojokiyah. Ada yang lebih penting. Jadi, di grup Whatsapp saya, kengkawan sesama wartawan tengah riuh membahas kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis oleh sekelompok intoleran dan anggota TNI.
Sebagai Koordinator Divisi Advokasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, terang saja saya terkejut. Musababnya, yang terpapar intimidasi kali ini dari jurnalis KBR di Jakarta. Sementara sebelumnya, kasus penganiayaan juga menimpa salah satu anggota AJI Kota Gorontalo, dan teman saya di KBR menelepon saya untuk konfirmasi. Lah, sekarang balik KBR yang tertimpa kasus yang beda-beda tipis.
Minggu 2 Oktober, ketika meliput aksi kelompok intoleran yang menolak jemaat GBKP Pasar Minggu untuk beribadah, salah satu jurnalis KBR dihalang-halangi dan diintimidasi.
Belum selesai membahas itu, saya dikabari lagi soal penganiayaan jurnalis Net TV, yang dilakukan oleh anggota TNI di Kediri. Busyet! Padahal belum lama ini di Medan, kasus pemukulan juga dilakukan oleh anggota TNI dan pelecehan seksual kepada salah satu wartawati di sana. Tidak jera-jeranya mereka.
Rasa heran sekaligus marah teraduk. Kendati sudah berkali-kali tindakan seperti itu terjadi, dan kata maaf kerap berbusa-busa dari mulut para petinggi TNI, tetap saja ada anggota mereka yang mengulang kembali tindakan tidak manusiawi tersebut. Bukankah itu bentuk pembangkangan dari anggota kepada para Jenderal?
Tidak terlaksananya proses hukum dan transparansi di peradilan militer, salah satu penyebab kenapa perilaku itu subur bak jamur di taik sapi.
Jangankan kasus pemukulan, kasus pembunuhan terhadap jurnalis saja tidak tuntas-tuntas. Dan bukan tidak mungkin, sesudah kejadian kemarin, besok dan seterusnya kejadian yang sama akan terulang, seperti sinetron Tuyul dan Mbak Yul yang di-reborn.
Sampai di sini, yang saya sesalkan bukan hanya dari sisi pelaku intimidasi dan kekerasan saja. Namun juga sikap solidaritas yang tipis dari sesama wartawan seluruh Indonesia.
Tak dinyana, dari senarai kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis, dimulai kasus intimidasi sekelompok intoleran yang menimpa jurnalis Rappler Indonesia pada Juni lalu ketika tengah meliput Simposium Anti PKI, tidak pula mendapatkan dukungan yang masif dari para wartawan se-Indonesia.
Lihat saja dari kasus yang berlanjut yakni kekerasan terhadap wartawan di Medan. Berikut pelecehan seksual kepada salah satu wartawati yang juga bertugas di Medan. Aksi-aksi dukungan dan perlawanan hanya terlihat di beberapa titik kota.
Di bulan ini saja, sudah dua kasus intimidasi dan kekerasan terjadi, di antaranya intimidasi dari sekelompok intoleran kepada reporter KBR di Jakarta tadi. Disusul penganiayaan terhadap reporter Net TV di Madiun, yang bahkan mendapat ancaman usai babak belur dihajar oleh beberapa anggota TNI.
Sejumlah organisasi dan individu pers terlihat asyik-asyik saja. Seolah-olah tidak ada yang terjadi. Saya tidak sok suci ketika menuliskan ini, tapi setidaknya hati kalian wahai sesama wartawan, ikut bergetar ketika mendengar teman sekuli-tinta diintimidasi dan dianiaya.
Saking kesalnya saya, kalian itu saya namai wartawan ‘kepala balon’. Iya, sekeras-kerasnya kepala batu, masih bisa terkikis oleh tetesan air. Tapi bagi para wartawan ‘kepala balon’, maka hanya angin yang meletus ketika jarum ditusukkan ke kepala kalian.
Berikut 7 ciri-ciri wartawan ‘kepala balon’ yang menurut saya, harus lebih banyak menekur diri.
Memuja Udin, Mengabaikan Perlawanan
Gampang untuk mendeteksi wartawan jenis ini. Lihat saja tiap saat hari peringatan tewasnya jurnalis Udin–yang dibunuh karena berita pada 16 Agustus 1996 di Yogyakarta–para wartawan jenis ini mendadak akan memajang foto profilnya Udin di akun sosmed. Kemudian sederet kalimat tertulis di status, “Kami tidak melupakanmu Udin.”
Coba tanya kepada wartawan itu, selain Udin, ada berapa jurnalis lain yang juga dibunuh karena berita? Paling-paling dia buru-buru gugling. Selain itu, ketika terjadi kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis saat ini, wartawan jenis ini akan diam-diam saja.
Mereka hanya tahu Udin setahun sekali. Titik!
Seliweran Saat ‘Hari-Hari Besar’
Ciri yang ini juga mudah dikenali. Saat hari-hari besar semisal HUT TNI ke-71 pada 5 Oktober, mereka muncul. Di leher mereka tergantung id card. Yang mengenakan rompi juga masih bisa ditemui. Mereka akan menawarkan pemasangan advetorial atau berita-berita berbayar.
Jika berhasil membujuk advetorial atau berita berbayar, maka bacalah isi beritanya yang penuh kata-kata sanjungan. Tapi jika tidak, maka bersiap-siaplah, sebab bulu hidung yang bergantung sisa ingus pun, akan mereka tulis.
Hobi Foto Bareng Pejabat
Ciri kali ini paling banyak ditemui di sosmed. Beranda kalian akan dijejali foto-foto groufie dari si wartawan bersama para pejabat. Sebelum dikenalnya moto selfie dan groufie, biasanya mereka foto bareng pejabat sambil kedua telapak tangan tertangkup di anu. Biar kelihatan segan dan sopan. Terus difoto dari depan.
Setelah dikenalnya moto groufie, sikap kaku mulai hilang. Yang tampak kini di setiap foto: wajah dengan senyum merekah, mata berbinar, dan sesekali lengan saling bertumpuk di bahu. Serasa kakak beradik.
Pilkada Tiba, Waktunya Memihak
Wartawan itu tidak boleh terafiliasi dengan partai politik. Ketika Pilkada, tidak boleh memihak. Tapi yang tampak dari wartawan jenis ini, malah sebaliknya. Sekarang ini, misalnya, ketika jelang Pilkada serentak, foto-foto calon pemimpin daerah yang dijagokan si wartawan dipajang di sosmed. Disusul status berisi inisial calon atau sederet jargon mereka.
Bagi wartawan jenis ini, ketika Pilkada tiba maka waktunya panen uang sebanyak-banyaknya. Berita-berita pencitraan ditulis. Berita-berita provokatif ditujukan kepada lawan politik si calon yang diusung.
Edodoeee, ngana ini wartawan atau tim sukses?
Hanya Tahu Cara Menulis Berita Tentang Pemerintah
Ciri yang ini banyak pula ditemui. Baik media cetak maupun online. Apalagi sejak internet membumi di hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai bermunculan media-media online yang berisi berita-berita 90% tentang pejabat, 10% tentang rakyat.
Wartawan jenis ini kebanyakan mengandalkan rilis-rilis dari humas. Yang isinya tentu saja puja-puji kinerja pemerintah dan kegiatan seremonial. Padahal poin pertama pada sembilan elemen jurnalisme menurut Bill Kovach; loyalitas jurnalis itu kepada warga. Bukan kepada para pejabat.
Bangga Menulis Berita Korupsi, tapi Terima Suap
Yang jenis ini juga banyak. Praktik buruk wartawan seperti ini, biasanya dilakukan secara diam-diam. Tapi sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.
Wartawan jenis ini bangga sekali membagikan berita tentang pejabat korup. Namun hanya satu atau dua berita yang dimuat. Kelanjutannya sampai proses hukum, biasanya beritanya mulai redup. Ya, mungkin sudah dihubungi sanak saudara si koruptor, terus ditanyai nomor rekening. Atau jika hendak berjaga-jaga, ya terima uang tunai.
Selalu Bicara Uang, Bukan Berita
Jenis yang satu ini, juga bertebaran di rumah kopi dan sosmed. Mereka akan berdebat soal angka-angka, saat pencairan kontrak berita dengan pemerintah daerah. Bahkan sukar dibedakan, mereka ini wartawan atau akuntan.
Soal tata cara penulisan berita yang sesuai kaidah jurnalistik, maupun tanda baca, bagi mereka urusan belakangan. Asal berkas-berkas pencairan sudah melaju ke meja-meja para penanda-tangan. Cair! cair! cair!
Demikianlah hasil penerawangan saya soal ciri-ciri wartawan ‘kepala balon’. Semoga setelah membaca ini, kepala kalian bisa berubah menjadi balon lampu, berpijar dan menerangi gulita dunia jurnalistik.