4 Pernyataan Prabowo yang Harusnya Bisa Diserang Jokowi saat Debat Capres

MOJOK.CO – Jokowi emang bukan tipe striker yang bisa melakukan serangan cepat ketika debat capres. Padahal ada 4 pernyataan Prabowo yang lumayan empuk untuk diserang.

Sambil nunggu pertandingan Barcelona vs Espanyol, killing time, saya nonton debat capres keempat. Teman saya nyeletuk lewat WA, “Pendukung Golput, kok nonton debat capres? Jenis kelamin lu apa, sih?” Bangke banget ni orang.

Saya jawab, “Kalo lu ade di deket gua sekarang, gue dodorin ni celana, biar lu liat sendiri kelamin gua. TV, TV gue. Yang bayar listrik dan TV gue. Kok elu yang rungsing mau ngatur gue?”

Untungnya ini orang mungkin segera sadar dan berhenti ngeledek saya, sehingga saya bisa memaksa diri untuk nonton acara ngobrol dan saling berbalas komentar antara Jokowi dan Prabowo itu.

Rada susah sebenarnya saya sebut acara malam itu sebagai “debat” capres. Sebab, ya karena nyatanya nggak terlalu ada perdebatan sih. Udah seperti forum silaturahim aja, kalau pun ada debat pada debat capres malam itu juga sedikit doang, plus sesekali curhat.

Serta tak lupa saling mengucapkan untuk tetap “saling kontek” (maksudnya tetap berteman dan jaga silaturahmi) usai perhelatan Pilpres. Hal terakhir ini yang menguatkan kecurigaan yang akan saya kemukakan di bawah ini.

Seperti seorang pemancing Galatama, Jokowi berhasil memberi umpan pancing yang bagus dengan menyatakan, “sepertinya Pak Prabowo tidak percaya pada TNI kita saat ini.” Seperti umpan katak yang menggoda, umpan itu langsung disambar oleh ikan Gastor (Istilah di Papua untuk ikan Gabus besar, yang sangat boleh jadi bersumber dari kata Gabus Toraja).

Dari umpan itulah Prabowo tenggelam dalam semangat superhero yang mengglorifikasikan dirinya sendiri. Lalu keluar lah ungkapan “saya lebih TNI dari banyak TNI.”

Sebagai orang yang merasa Pancasilais tulen, Prabowo juga mengatakan akan menghadapi, dengan segala kekuatan, mereka yang coba merongrong Pancasila. Yang paling kontroversial, menurut saya, kritik Prabowo soal input intelejen ke Jokowi yang menganggap tidak akan ada ancaman perang dari luar dalam 20 tahun ke depan.

“Aduh, aduh, aduh, aduh, Pak, siapa yang memberi breafing itu?” begitu kata Prabowo, kelihatan sambil rada gemes.

Prabowo lalu bercerita pengalamannya ketika masih Letnan II, dulu. “Ketika Letnan II, tahun 1974, saya juga dapat pengarahan dari jenderal-jenderal saya bahwa dalam 20 tahun tidak akan terjadi perang terbuka. Tahu-tahu tahun 75 perang Tim-Tim meletus. Saya berangkat ke Tim-Tim ketika itu.”

Jokowi berhasil memancing setidaknya tiga hal dari mulut Prabowo, yang kadang dikeluarkan dengan gestur tubuh dan kata-kata lumayan keras dan dibarengi tangan kanannya yang turun naik. Gaya yang mencitrakan bahwa beliau merupakan orator ulung—terlepas kita suka atau tidak.

Nah, sayangnya, Jokowi kurang memanfaatkannya guna memukul balik hasil pancingannya itu.

Ah, Jokowi memang bukan tipe striker yang bisa melakukan serangan cepat ketika dapat peluang di muka gawang saat debat capres. Kalau saya jadi Jokowi ketika itu, maka beginilah serangan balik yang akan saya lancarkan.

Pertama, ihwal lebih TNI dari TNI yang lain.

Pak Prab, hati-hati ah. Bisa saja ada banyak anggota TNI atau veteran TNI yang bisa tersinggung dengan pernyataan itu lho.

Memang sih, dulu sampeyan termasuk tentara yang karirnya melesat cepat, apalagi mantu orang nomor satu Orde Baru. Saya kira tidak sedikit tentara yang iri dengan sampeyan. Bahkan sudah sejak perwira menengah, pengaruh sampeyan ke beberapa kebijakan militer sudah begitu kuat.

Contohnya peristiwa penculii… ah, nggak usah diungkit lagi soal ini deh. Semua itu bisa terjadi dulu, ketika pak Prab ada di dekat RI satu. Sekarang kan, sudah tidak mungkin seperti itu lagi, to?

Tolong juga jaga semangat korps, Pak Prab. Prajurit pasukan khusus kan terkenal dengan jiwa korsanya to? Lha, ini antara sampeyan dengan Pak Agum juga Pak Hendropriyono yang semuanya eks pasukan khusus, kok kayaknya gimana… gitu. Nggak korsa banget, kesannya.

Kedua, Pak Prab tahu istilah orang Papua untuk bilang ke orang yang merasa diri paling benar, paling hebat?

Saya sering ke Papua lho, Pak. Mereka akan bilang ke orang yang merasa diri hebat dengan Jan ko rasa diri inti.

Saya duga saudara-saudari kita di Papua yang lagi nonton debat kita ini akan bilang begitu untuk Bapak.

Oke lah, menjadi Pancasilais itu bagus. Saya tak ragu Prabowo oke banget soal itu. I have no doubt, Pak. Tapi tadi cara Bapak menunjukkan sikap, sambil nepuk dada dan turun naikkan tangan kanan Bapak saat debat capres malam itu, menurut saya, kok, agak too much ya?

Bapak pasti ingat dulu, mertua bapak pernah dikritik oleh para penanda tangan Petisi 50, karena Presiden Suharto, mertua sampeyan itu, menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila.

Konsekuensinya setiap kritik terhadap Pak Harto bakal dianggap sebagai kritik terhadap ideologi Pancasila. Dan orang-orang Petisi 50 kemudian dimatikan atau dibatasi hak-hak perdatanya.

Kalau terlalu rasa diri inti dalam hal Pancasila dan merasa lebih TNI dari TNI yang lain, selangkah lagi bisa seperti mertua sampeyan lho, Pak. Pak Prab mau seperti Raja Louis XIV yang bilang L’etat c’est moi (negara adalah saya)? Bae-bae, ah.

Ketiga, soal ancaman perang itu.

Prabowo cerita kalau dulu mendapat pengarahan dari jenderal-jenderal atasan bahwa dalam 20 tahun tidak akan terjadi perang terbuka. Lalu Pak Prab bilang di tengah-tengah debat capres, “Tahu-tahu tahun 75 perang Tim-Tim meletus. Saya berangkat ke Tim-Tim ketika itu.”

Tanggapan saya atas hal itu begini. Bapak lagi-lagi seperti kurang menghormati sesama TNI, jiwa korsanya lemah. Dan tidak mikul dhuwur mendem jero. Pak Prab seperti meledek senior-senior Bapak. Lagian, perang di Timor Timur itu siapa yang buat, emang?

Pak Prab pasti tahu bahwa ketika itu Timor Timur kan, berada di dalam kekuasaan Portugis. Tapi karena Fretelin yang kiri itu memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur, mertua Pak Prab jadi gelisah.

Lha, atas persetujuan Presiden AS, Gerald Ford, dan Henry Kissinger yang datang menemui Pak Harto, permintaan Pak Harto untuk mengintegrasikan Timor Timur (kasarnya mencaplok) ke Indonesia, diberikan lampu hijau oleh dua dedengkot AS itu.

Ini untuk mencegah efek domino dari Timor Timur yang dianggap sebagai The Litle Cuba ketika itu. Baru setelah itu Indonesia menginvasi Timor Timur.

Pak Prab tahu betul hal ini, kan? Jadi Indonesia yang bikin perang.

Artinya, sama sekali bukan serangan dari luar. Baca deh tulisan-tulisan George Aditjondro soal ini. Aditjondro lebih detail menulis bagaimana pasukan-pasukan TNI, mungkin termasuk Pak Prab, dikirim lewat darat, laut, dan udara ke Timor Timur.

Dan tahu kan kenapa bila kemudian PBB memberi opsi referendum bagi Timor Timur?

Itu karena PBB menerima fakta bahwa Timor Timur adalah koloni Indonesia. Untungnya presiden kita ketika itu adalah Pak Habibie. Kalo Pak Prab yang jadi presiden ketika itu, urusan Timor Timur masih bertele-tele. Saya biar bukan tentara, tapi ya cukup rajin membaca lah Pak Prab.

Begitulah. Serangan-serangan seperti yang saya bayangkan di atas, toh tidak dilakukan oleh Jokowi.

Hal menarik lain, seperti pernah Prabowo lakukan di forum lain, di acara debat capres kemarin, beliau juga kembali mengutip kata-kata, “1000 kawan kurang banyak, 1 lawan terlalu banyak.”

Kalau saya jadi jadi Jokowi, saya bakal balas, “Wah, Pak Prabs ini pasti nggak mainan Fesbuk ya?”

Exit mobile version