Pelanggaran Red Flag yang Dilakukan oleh PNS dan Gimmick Blacklist di Dunia Kerja yang Nggak Efektif

Tindak pencegahan fraud, masih menjadi PR besar bagi semua sektor industri hingga abdi negara seperti PNS. Dari yang sudah-sudah, tindak pencegahan tidak bisa dilakukan hanya melalui mengerjakan e-learning di kantor.

2 Pelanggaran Berat PNS yang Membuat Mereka Masuk Blacklist MOJOK.CO

2 Pelanggaran Berat PNS yang Membuat Mereka Masuk Blacklist MOJOK.CO

MOJOK.COAda dua jenis pelanggaran yang membuat PNS dan pekerja swasta masuk ke daftar blacklist. Meski daftar tersebut terasa seperti gimmick belaka.

Dalam dunia kerja, salah satu hal yang paling dihindari sekaligus bikin cemas para pekerja adalah menerima SP (surat peringatan), WL (warning letter), atau surat teguran. Meskipun istilahnya berbeda, tetapi efek laten setiap “surat” tetap sama. Kinerja akan lebih diperhatikan, dibikin nggak nyaman, belum lagi jika dianggap belum ada perubahan yang lebih baik, status SP bisa meningkat. Tak terkecuali para PNS.

Tidak bisa tidak, jika dibandingkan dengan pegawai swasta, para PNS tetap punya konsekuensi serupa jika melakukan pelanggaran berat. Mereka tidak akan luput dari teguran, sanksi, mutasi, hingga diberhentikan secara tidak hormat. Berbeda istilah yang digunakan, meski intinya masih tetap sama.

Secara garis besar, pelanggaran disiplin PNS sendiri terbagi menjadi dua, yaitu administratif dan non-administratif. Jika dilanggar atau tidak dipatuhi, keduanya memiliki konsekuensi sama berat. Dan sebaik-baiknya sanksi yang diberikan kepada para pekerja, tentu saja tidak tebang pilih. Nggak peduli status dan jabatannya.

Jika boleh merangkum, ada 2 pelanggaran berat PNS yang juga sering dilakukan oleh pekerja di sektor swasta. Pelanggaran ini masuk ke kategori red flag karena bisa menurunkan integritas sekaligus hilangnya kepercayaan dari rekan kerja lain. Berikut 2 pelanggaran yang tergolong cukup fatal.

#1 Pelanggaran fatal bagi PNS: Fraud

Secara umum, fraud bisa diartikan sebagai tindakan penyimpangan, kecurangan, atau menyalahi aturan hukum. Bila dikerucutkan, fraud yang sering terjadi berupa penggelapan dana. Realitasnya, nyaris di semua sektor industri, penggelapan dana rawan sekali terjadi. Baik penggelapan dana antar-karyawan, karyawan dengan pelanggan, atau karyawan dengan perusahaan. Semuanya sama saja. Sama-sama merugikan diri sendiri dan pihak lain. Tak terkecuali para PNS.

Mengutip Kompas, berdasarkan rilis “Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), Asia-Pacific Occupational Fraud 2022: A Report to The Nations”, Indonesia ada di peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah fraud pada 2022. Rinciannya, korupsi (64%), penyalahgunaan kekayaan negara & perusahaan (28,9%), dan fraud laporan keuangan (6,7%). Sebuah prestasi yang membikin kita spontan mbatin, “Hadeh,” tentunya. Dan ini hanya sebagian contoh kecil saja. Tindakan secara spesifik lainnya, berpotensi bikin ruwet pikiran sampeyan.

Tindak pencegahan fraud, masih menjadi PR besar bagi semua sektor industri hingga abdi negara seperti PNS. Dari yang sudah-sudah, tindak pencegahan tidak bisa dilakukan hanya melalui mengerjakan e-learning di kantor, lho, Bapak/Ibu HRD, personalia, SDM, apa saja istilah yang digunakan di kantor kalian masing-masing.

#2 Abuse of power (penyalahgunaan wewenang)

Belakangan, abuse of power cukup marak terjadi. Bahkan hal yang terjadi di masa lampau, satu per satu mulai mencuat ke permukaan. Lantaran, korban dari abuse of power perlahan mulai berani speak up sekaligus melawan. Mulai dari pemerasan, kekerasan seksual, sampai perpanjangan kontrak karyawan dengan syarat staycation yang menyebalkan.

Sulit dimungkiri, persoalan abuse of power kerap terjadi di banyak perusahaan. Tak terkecuali para PNS. Sialnya, masih sering dianggap biasa karena sudah menjadi kebiasaan dan dianggap normal dilakukan oleh para atasan. Misalnya seperti intimidasi, menggunakan nada bicara tinggi, serta mempermalukan bawahan di depan rekan kerja lainnya.

Jika di waktu mendatang beberapa hal menyebalkan tersebut dialami oleh sebagian di antara kita, sebaik-baiknya tindakan adalah melawan dengan cara elegan dan profesional. Jika memungkinkan, dokumentasikan. 

Lantas, bagaimana jika justru HRD atau atasan di PNS yang melakukan hal tersebut? Tetap dokumentasikan. Dengan adanya bukti dan dasar pelaporan yang kuat, akan memudahkan proses penyelidikan yang bisa ditangani oleh tim manajemen atau pihak berwenang.

Blacklist karyawan tidak lebih dari sekadar gimmick

Lantas, apakah ada efek jera bagi pelaku pelanggaran red flag di kalangan PNS maupun pekerja, misalnya blacklist dari HRD ketika ingin melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya?

Meski bekerja di ruang lingkup HRD, terkadang saya berpikir bahwa, blacklist karyawan tidak lebih dari sekadar gimmick. Wacananya selalu sama, yaitu laporkan ke grup rekan-rekan HRD, biar kandidat tersebut di-blacklist oleh perusahaan seluruh Indonesia.

Tanpa maksud menyepelekan, apalagi merendahkan usaha yang akan atau telah dilakukan rekan sejawat terkait hal ini, ya. Pertanyaannya, bagaimana cara agar HRD di seluruh penjuru Indonesia mengetahui hal ini?

Melalui grup WhatsApp? Telegram? Media sosial? Atau kanal lain yang dapat menghubungkan antara HRD satu dengan lainnya? Apakah cara yang dilakukan selama ini efektif? Saya pikir, masih belum dan perlu banyak berbenah. Sebab, celah yang bisa diakali cukup besar. Salah duanya, relasi dan bias.

Dua cara supaya blacklist PNS dan karyawan swasta bisa manjur

Jika blacklist memang betul-betul ingin diberlakukan kepada semua pelamar kerja tanpa melihat status dan sebangsanya, diperlukan integritas yang tinggi. Sejauh ini, ada dua cara yang dapat dan biasa dilakukan.

Pertama, melakukan background check secara langsung ke perusahaan sebelumnya. Ada yang melalui telepon, sebagian lainnya melalui email. Dengan cara menghubungi beberapa orang yang pernah bekerja dengan yang bersangkutan sebelumnya (atasan, senior, dan/atau HRD). Suka atau tidak, cara ini akan sedikit merepotkan jika ada banyak calon karyawan yang direkomendasikan. Juga, membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Kedua, melalui vendor yang terbiasa melakukan background check terkait blacklist karyawan. Meski tergolong mahal karena harus menyediakan dana khusus, namun, pengecekan melalui vendor terbilang efektif. Lantaran, bisa melakukan pengecekan cukup lengkap, menyesuaikan informasi yang dibutuhkan. Mulai dari riwayat hidup, catatan kriminal, latar belakang pengalaman bekerja, sampai pinjaman finansial melalui pengecekan SLIK.

Kendati demikian, meskipun sulit, penerapan blacklist tetap bisa diberlakukan di semua instansi. Tidak terbatas hanya di instansi pemerintahan, tapi juga sektor swasta. Termasuk ketika ada mantan karyawan di instansi BUMN yang kemudian ingin melamar di perusahaan swasta atau sebaliknya.

Kalau sistem blacklist mau diterapkan, semoga alurnya bisa semakin transparan, sih. Sebab, buat apa gembar-gembor mau blacklist pelamar kerja, kalau pada akhirnya pelaku fraud atau abuse of power bisa dengan mudahnya gonta-ganti kantor sekaligus diterima bekerja di mana saja? Jika begini melulu, pernyataan blacklist di dunia kerja sudah semacam gimmick, rasanya nggak berlebihan-berlebihan amat.

Penulis: Seto Wicaksono

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Ketika Seks Menjadi Syarat Perpanjangan Kontrak Karyawan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version