MOJOK.CO – Seorang istri mengisahkan pengalamannya punya suami perokok. Padahal dulu waktu pacaran punya kriteria ogah dekat-dekat sama pria perokok.
Saya tidak sedang menyinyiri orang-orang yang merokok, utamanya lelaki. Ini hanya sebuah sudut pandang yang berangkat dari cerita seorang istri saja.
Baiklah. Jadi begini, sebelum saya menerima pinangan lelaki yang mirip Dilan ini—tentu saja versi saya, saya adalah gadis yang mengultimatum diri sendiri untuk menikah dengan pria setia, humoris, nyambung saat diajak ngobrol, dan—ini yang penting—tyda merokok.
Bukan, bukan saya antirokok, apalagi anti-perokok. Hanya saja saya tidak tahan sama asap rokok. Sebagai buktinya, toh saya sebenarnya suka mengendus bau rokok yang belum disulut.
Mungkin karena bapak saya tidak merokok, jadi saya tidak terbiasa dengan asap rokok yang kemebul itu. Sebenarnya sih bukan terhadap asap rokok saja, saya juga sensitif dengan asap kendaraan bermotor (apalagi bus, hanya lewat saja rasanya mau mabuk), asap pembakaran sampah, bahkan asap yang berembus dari warung sate. Padahal kalau satenya sih ya habis saya makan.
Entah kenapa saya tak bisa menahan baunya, jadi tolong jangan salahkan saya, salahkan indera penciuman saya kenapa dia begitu sensitif sama asap rokok.
Karena sensitif sama asap rokok itu tadi, kalau ada orang yang merokok di dekat saya, saya tidak pernah mengusirnya. Apalagi kalau pakai marah-marah. Malah seringnya justru saya yang menjauh.
Hal ini pun mempengaruhi kriteria pasangan hidup saya. Sungguh kriteria saya tuh nggak muluk-muluk. Iya, saya sadar diri sepenuhnya. Tapi kalau untuk kriteria tidak merokok, saya sangat ketat sampai sebelum bertemu Dilan versi saya itu.
Dulu waktu awal perkenalan, saya menanyakan suatu pertanyaan pada calon suami saya ini. Tentu tentang kebiasaan merokok, sebab hal ini begitu penting bagi saya waktu itu. Ya kalau peristiwa itu dikenang kembali saat ini, kok pertanyaan itu jadi similikiti. Calon suami saya pun waktu itu malah ketawa-tawa saja.
Setelah kami banyak ngobrol banyak lewat aplikasi chat, saya pun memberanikan diri untuk bertanya.
“Mas, sampeyan merokok nggak?” saya bertanya padanya.
“YES!” jawabnya dengan pasti disertai stiker yang mewakili ekspresi sorak sorai.
Duh, ku sudah nyambung sekali dengannya. Tapi kok dia merokok ya? Galau saya tiba-tiba dalam hati.
Jeda waktu beberapa lama, kemudian saya tanya lagi, “Kenapa?”
Maksudnya kenapa merokok. Ya, saya tahu itu pertanyaan bodoh.
Saya yakin dia ketawa-tawa di seberang waktu itu. Saya mah cuek saja. Biarin saja karena saya perlu tahu.
Dia jawab, “Kalau nggak merokok gitu wagu, pas mikir sesuatu masak cuma domblang-domblong.”
Entah kenapa jawabannya itu malah bikin saya jalan terus sampai mau jadi pacarnya yang kemudian lanjut jadi istrinya. Mengetahui saya akhirnya mau ke suami yang seorang perokok, bapak saya pun menertawai saya sambil berseloroh menggoda.
“Katanya ingin suami yang nggak merokok?”
Di saat itulah saya jadi paham menikahi pria yang kita cintai memang sering tidak butuh banyak alasan target dan kriteria. Ya kalau kebanyakan target dan kriteria bisa-bisa saya malah nggak rabi-rabi.
Sampai sebelum menikah, dia bilang sama saya, “Kesenanganku cuma dua. Rokok sama kopi. Tidak bisa diganggu gugat.”
Saya sih iya saja. Sekarang pun saya tidak mengusik dua kesenangan suami saya itu. Selain memberinya kebebasan untuk ber-me time dengan rokok dan kopinya. Toh suami saya juga bisa menempatkan diri.
Suami saya tahu istrinya sangat sensitif dengan asap rokok, jadi tiap merokok dia keluar rumah. Dia membuat markasnya sendiri untuk bersantai sambil klepas-klepus di samping rumah. Dia juga menahan diri tidak merokok di depan anak kami, juga anak-anak kecil yang lain.
Di dekat bayi dan ibu hamil, dia juga tidak merokok. Setelah merokok, sebelum bermain sama anak, dia selalu membersihkan diri, mengganti baju, dan gosok gigi.
Saat di tempat umum, dia tahu kapan dan di mana dia bisa merokok dan menahan untuk tidak menyulut rokoknya. Dia tidak merokok saat berkendara, baik motor maupun mobil. Saat menyetir, ketika dirasa sudah kecut, dia akan menepikan kendaraan lalu merokok di luar kendaraan. Singkatnya, dia tahu adab merokok.
Sewaktu pacaran sama dia, pandangan saya terhadap lelaki perokok selama itu berubah drastis. Tidak seluruhnya hitam. Ternyata ada perokok yang manis dan santun kayak dia. Ya iya dong, kalau nggak manis dan santun ya mana mau saya sama dia?
Jadi Sis, kalau kamu seperti saya yang memasang kriteria pasangan hidup yang tidak merokok, mungkin kamu bisa setel kendho, bahwa ada kok perokok yang tidak sembarangan-sembarangan amat kalau kebal-kebul.
Coba Sis kamu amati diam-diam sewaktu sedia ngibadah merokok, ekspresinya dan gerakannya waktu menghisap rokok lalu mengembuskan asapnya, itu kok indah sekali ya? Saya baru menyadari kesyahduan itu waktu mengamati si dia (waktu kami masih pacaran) kemebul di angkringan.
Cuma satu cobaan saya menikahi seorang perokok, kalau dia pamit mau merokok, saya suka jadi kangen.