MOJOK.CO – Menggunakan standar feminis untuk menyerang poligami tak beda jauh dengan pertarungan standar modern terhadap kebudayaan masyarakat Badui.
Poligami memang isu sensitif. Terutama ketika kamu membicarakan topik ini di hadapan kawan-kawanmu yang mendaku sebagai aktivis feminis tulen.
Yah, tidak semua aktivis feminis juga sih, yang aktivis feminis agak moderat beberapa yang saya kenal masih memungkinkan untuk berdialog perkara sensitif macam begini. Meski ujung-ujungnya juga akan menolaknya tanpa ada celah untuk mendiskusikan praktik yang belakangan semakin menjamur di Indonesia.
Baiklah, saya bisa saja dicap sebagai salah satu pegiat poligami ketika menulis ini. Apalagi sampai menyerukan bahwa sebaiknya kita tak selalu benci pada mereka—yang dengan kesadaran penuh—melakukan poligami sesuai judul tulisan ini. Alasannya sederhana, saya lahir dari keluarga poligami. Yah, bukan secara langsung sih, tapi dari garis kakek saya yang memiliki tiga istri.
Dalam kehidupan keluarga besar saya, persoalan poligami tidak menjadi isu sensitif kebanyakan orang seperti sekarang. Ya maklum, zaman segitu jangankan Giyatri Spivak, Bapak Proklamator Sukarno saja tidak semua keluarga saya zaman segitu tahu.
Sebabnya, ya karena kakek saya hidup pada abad ke-19 peralihan abad ke-20. Kalau kita mau bicara umur untuk mendapatkan bayangan latar waktu, kakek saya mungkin lebih senior beberapa tahun ketimbang tokoh Minke-nya Pramoedya Ananta Toer.
Loh, bagaimana mungkin seseorang yang hidup pada abad ke-19 bisa punya cucu langsung yang masih hidup di abad ke-21? Jawabannya, ya karena poligami.
Nenek saya adalah istri kedua yang usianya jauh lebih muda dari kakek saya. Saya tak tahu persis, tapi barangkali ada di kisaran lebih muda 40-an tahun. Dengan jarak sejauh itu, maka bisa dipastikan usia anak-anaknya pun terpaut usia yang kelewat jauh.
Hal ini membuat jarak usia cucu-cucu kakek saya dari istri kedua dan ketiga pun jadi seperti “beda zaman”. Jika anak-anak kakek saya sedang bersebelahan dengan kakek, orang barangkali akan melihatnya seperti cucu dimomong simbahnya. Padahal ya itu semua anak kandung.
Setiap saya kumpul keluarga besar, omongan soal poligami ini tak pernah jadi bahasan yang penting. Mungkin kami semua juga paham, untuk apa mempersoalkan hal yang sudah terlewat seperti itu? Apalagi kejadian itu sudah berlangsung hampir satu abad lamanya. Tidak relevan lagi kayaknya hal tersebut dibahas dengan persepektif dan standar yang ada pada zaman sekarang.
Sampai kemudian saya kuliah dan menemukan beberapa kawan saya yang begitu bencinya setengah mati terhadap para praktisi poligami. Pandangan yang muncul seolah-olah pria yang punya istri lebih dari satu merupakan pria yang menjijikkan dan tidak layak mendapat respek. Dalam hati kecil saya, tentu saya lumayan risih mendengarnya, karena kakek saya sendiri adalah pria berpoligami.
Nah, di sinilah kemudian persoalan terjadi. Hanya karena saya tidak ingin ikut membenci para praktisi poligami, beberapa orang melihat saya sebagai orang yang pro-poligami.
Loh, jika saya adalah pro-poligami, tentu saya akan menyarankan orang untuk punya istri banyak. Pada kenyataannya, saya ini hanya anti terhadap anti-poligami yang tak pernah mau berdialog lebih dahulu mengenai poligami. Seolah-olah tidak ada kemungkinan-kemungkinan lain bahwa praktik ini bisa saja memang “diperlukan” untuk dilakukan.
Kalau ditanya apakah saya gemas dengan seminar-seminar poligami? Oh iya, saya sangat gusar dengan acara-acara seperti itu. Akan tetapi kegusaran saya bukan terletak pada poligaminya, tapi pada imbauan yang menarasikan bahwa poligami jadi satu-satunya solusi untuk jadi seorang muslim yang sempurna.
Pandangan ini juga tidak muncul begitu saja. Sependek pengetahuan saya, ayat poligami substansinya sebenarnya adalah upaya “mengurangi” alih-alih “menambah”. Benar memang ayat mengenai urutannya 2, 3, atau 4, namun sebaiknya kita juga harus melihat bahwa ayat itu turun dalam konteks apa serta dalam kebudayaan yang bagaimana.
Saya pikir tak perlu untuk mengutipkan ayat poligami—agar tulisan ini tidak kelihatan seperti khotbah—tapi kita semua paham bahwa ketika ayat tersebut turun latar kebudayaan di Mekah seorang pria memang terbiasa untuk memiliki istri banyak. Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa seorang suku Quraisy punya sampai 10 istri.
Turunnya ayat poligami akhirnya dipakai untuk “membatasi”. Dari yang tadinya tak memiliki batas jumlah istri, kemudian seorang muslim berkewajiban harus mengurangi jumlah istrinya secara beramai-ramai.
Ibarat penyebaran Islam yang pelan-pelan, dari sembunyi-sembunyi ke terang-terangan, usaha mengurangi budaya istri banyak juga tidak bisa dilakukan serta-merta. Dari banyak tak terbatas, lalu dibatasi jadi 4.
Kalau mau berpikir lebih jauh, pengurangan ini juga menjadi tanda bahwa Islam tidak semena-mena dalam aturan hukum yang sudah jadi kebudayaan setempat. Bisa saja, semua pria disuruh hanya punya istri satu saja, akan tetapi jika itu terjadi sudah barang tentu konflik horizontal akan lebih kencang ketimbang yang tercatat pada sejarah kelahiran Islam. Padahal pengurangan dari 10 istri ke 4 istri saja sudah jadi tonggak perubahan kebudayaan yang sangat ekstrem dan revolusioner.
Dari yang tadinya tak terhingga, dibatasi jadi empat juga merefleksikan: dari nafsu yang bisa dipenuhi tak terbatas, jadi dikurangi tinggal 4 saja. Maka hikmahnya pada penundukkan hawa nafsu. Bukan malah sebaliknya: pelampiasan hawa nafsu dengan cara halal.
Persoalannya, belakangan ini semakin banyak yang cuma memberi satu tafsir pakai urutan yang berkebalikan. Dari satu istri, sebisa mungkin ditambah jadi empat. Seolah yang 4 jadi lebih sempurna dan lebih baik. Kualitas dikompilasi dengan kuantitas.
Meski begitu, hal yang patut dipahami juga adalah tidak mau mengakui bahwa praktik ini diperbolehkan oleh agama juga merupakan cara berpikir yang tidak adil. Pada kenyataannya agama Islam memang mengatur seorang muslim bisa saja punya istri lebih dari satu.
Sebab ritus maupun cara pandang mengenai agama itu juga berlatar pada pengalaman masing-masing yang tidak tentu sama antar satu manusia dengan manusia yang lain. Standar dan proyeksi orang akan ibadah maupun Tuhan itu beda-beda, berikut juga mengenai implementasi mengenai tafsirnya.
Menggunakan standar feminis ke poligami secara frontal tak beda jauh dengan pertarungan masyarakat kolonial pertama ketika datang ke Nusantara. Label barbar, tak berpendidikan, sampai terbelakang akan dominan ketimbang upaya untuk cari titik temu. Penilaian yang ada jadi bias nilai karena beda standar.
Pada akhirnya, kita seharusnya tidak ikut membenci poligami kalau memang itu pilihan terbaik yang mereka inginkan. Mencela mereka tanpa mau memahami lebih lanjut seperti melabeli Suku Badui tidak beradab hanya karena standar adab kita yang digunakan. Ini logika yang sama untuk menghormati pilihan perempuan bercadar, kalau memang itu pilihan mereka.
Di sisi lain, praktik ini pun akan jadi masalah jika mendadak ada seminar yang dengan serta-merta meningkatkan hukumnya jadi sunah ke semua orang. Tanpa menimbang kebutuhan dan relasi latar pengalaman yang dimiliki masing-masing umat.
Sebab, tak semua suami punya kemampuan, sebagaimana tak semua istri punya kadar keikhlasan yang bisa disamaratakan. Tidak seperti salat atau puasa, (jika praktik ini dianggap sebagai bagian dari ibadah menikah), ibadah seperti ini punya keterlibatan orang lain dalam pelaksanaannya. Artinya poligami lebih habluminannas ketimbang habluminallah.
Yang mau poligami ya silakan, tapi menganjurkan ke orang lain bahkan sampai membuat praktik ini jadi satu-satunya opsi “agar lebih saleh”, nah itu yang saya tidak setuju karena menciptakan tempurung berpikir yang berbahaya.
Karena Islam yang saya tahu mengajarkan kebahagian di dunia dan di akhirat. Bukan salah satu di antara keduanya.