Trik Melakukan Pembelaan Lebaran

kapan-nikah-mojok

kapan-nikah-mojok

Lebaran yang ditunggu-tunggu tinggal beberapa hari, beberapa jam, beberapa menit, dan beberapa detik lagi. Momen yang diisi dengan maaf-maafan, pamer prejengan terbaru hasil utangan, pembagian harta gono gini salam tempel, penipuan publik dengan mengisi kaleng Khong Guan dengan rengginang adalah sekelumit laku yang selalu ditunggu.

Lebaran juga menjadi momen handai tolan jauh dekat berkumpul, saling bercengkerama melemparkan canda tawa dan tentunya tanya. Pada momen satu inilah keindahan Lebaran harus sedikit terusik dengan pertanyaan-pertanyaan horor yang bikin hati teriris. Pertanyaan yang dalam sekejap langsung menaikkan kecepatan detak jantung sekaligus banjir bandang keringat. Pertanyaan yang membuat mulut ingin berkata kasar. KASAAAR.

Karena itu, berhubung masih ada waktu ada baiknya Anda belajar sedikit-sedikit mengenai cara menjawab pertanyaan tersebut. Menjawab agaknya kata yang kurang tepat karena yang seharusnya dilakukan adalah pembelaan. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa pertanyaan horor tersebut selanjutnya disertai dengan pernyataan-pernyataan yang sifatnya menghakimi sebagaimana komentar netizen masa kini.

Untuk itu pembelaan harus dilakukan agar pernyataan judgemental tersebut bisa dihindari. Apalagi sekarang bela-belaan mulai ngetren. Jika sebelumnya kita kenal Bela Negara, kini kita mengenal Bela Islam, Bela Ulama, Bela Hadid, Bela~~~kangan rumor mengatakan bahwa Habib Rizieq akan mudik. Janganlah meniru Bagor yang berlindung di bawah naungan Proton untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan horor tersebut. (Kalau nggak tahu siapa Bagor, Anda coepoe!)

Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan semacam percakapan yang menggambarkan pembelaan dari pertanyaan horor tersebut. Semoga Anda bisa menangkap inti sarinya. Kalau tidak bisa ya beli majalahnya saja.

Situasi 1

Pakde  : Kamu sudah kuliah berapa lama to, Le?

Saya    : Ini sudah tahun keeenam, Pakde. (Tangan dalam posisi bersiap membuka kaleng Tango.)

Pakde  : Oalah, la itu sudah lama, kapan lulusnya? Mbok buruan, disegerakan!

Saya    : (Posisi kaleng Tango sudah terbuka, tangan sudah menggenggam tiga wafer.) Ehm begini, tentunya Pakde mafhum bahwa kita diajari untuk tidak mubazir to? Nah saya ini diberi kesempatan untuk belajar, mengenyam bangku kuliah selama tujuh tahun. Lha ini baru sampai enam, ada satu tahun yang tersisa. Itu kalau tidak dihabiskan, meski tinggal sedikit tetap saja mubazir. Bisa saja lo Pakde dalam satu tahun itu bisa belajar sesuatu yang sekiranya bisa membuat saya jadi presiden, sedangkan kalau dilewatkan saya cuma jadi menteri. Tentunya Pakde maunya punya mantu presiden to?

Pakde : Lho la bukannya kamu malah memubazirkan waktu dengan kelamaan kuliah ya?

Terus kamu mau kerja kapan?

Saya : Krauk krauk krauk. (Posisi tiga wafer sudah di dalam mulut, tangan menunjuk untuk memberikan kode sedang makan.)

Situasi 2

Pakde  : Le, kamu ini sudah lulus, bekerja juga sudah mau satu tahun. Kemarin aku dapat kabar dari ibumu kalau kamu juga sudah punya pacar. Macan lagi (manis dan cantik, maksudnya). Kapan mau melamarnya? Itu mobil baru Pakde, Pajero Sport, sudah siap mengantarmu lo.

Saya : Pakde sudah siap mengantarkan saya? Wah, matur nuwun, Pakde ! Tetapi, ngapunten, saya ada pertanyaan.

Pakde  : Apa, Le?

Saya    :  Pas saya melamar lalu menikah nanti, apa ya Pakde mau kalau cuma makan nasi sama serundeng doang? Apa nggak malu kalau seserahannya nanti cuma satu batang Lifebuoy, satu saset Rinso, sama satu kartu perdana?

Pakde : Lo masalahmu dana? Ndak usah dipikir, nanti Pakde bantu. Avanza lawas Pakde itu bisa tak jual, kan harga jualnya lumayan.

Saya    : Sekali lagi matur nuwun, tapi ngapunten, Pakde, saya ndak mau nanti pas akad nikah bunyinya gini: saya terima nikah dan kawinnya Soezi Verdhianna Ferlietasari bin Badrun dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai, tapi seserahan sama katering plus orjen tunggal dibayarin Pakde dulu, ngutang !

Pakde  : Wooo, cah gemblung!

Situasi 3

Pakde  : Langsung saja, Le, kamu ini kapan mau punya anak? Pakde sudah ndak sabar gantiin popok.

Saya    : Wah ya gimana ya, Pakde. Saya sih sudah berusaha, tapi ya keputusan tetap di tangan Tuhan to? Lagian kalau sudah di dalam sana, saya tidak punya kuasa atas sperma saya. Lha ya bayangken saja, jumlah sperma itu ada sekitar 100-an juta. Itu sudah setengah penduduk Indonesia, bagaimana mengendalikannya? Presiden aja mumet, apalagi saya. Jadi kalau ada yang nyasar ndak ketemu sel telur, atau malah ada yang suka sama sel sperma lain, atau malah ada yang nggak mau ketemu sel telur karena malu, atau malah ada yang nulis curhatan ke Mojok, saya bisa apa, Pakde?

Apalagi dari ratusan juta, cuma satu tok yang bisa membuahi. Bayangkan saja, sperma-sperma itu mungkin membentuk koalisi, memilih dua atau tiga yang terbaik sebagai perwakilan, nyari buzzer, lalu mengadakan pemilihan untuk memilih yang terbaik, itu butuh proses lama. Dan bisa jadi akibat lamanya proses itu, sel telur sudah kadung bosan menunggu lalu meluruh sehingga tidak terjadi pembuahan. Saya bisa apa, Pakde ?

Pakde: (Melongo) Kamu ngomong opo to?

Situasi 4

Pakde  : Wah, anak pertamamu itu kok pinter sekali, Le. Umur 5 tahun sudah bisa nulis artikel, dimuat pula. Ckckck!

Saya    : Walah, ya ndak sepinter itu kok, Pakde. Maklum, pas umur 4 tahun sudah baca Immanuel Kant. Hehehe.

Pakde  : Bagus, bagus. Semenjak kecil memang harus dibiasakan membaca. Eh, tapi anakmu itu sudah cukup besar lo. Sudah pantes punya adik. Kapan mau yang kedua?

Saya    : Walah ya nanti dulu to, Pakde. Sekarang kan apa-apa mahal. Apalagi ini si Tole mau saya masukkan ke PAUD standar internasional, biayanya mahal. Jadi adiknya mungkin pending dulu.

Pakde : Anak itu sumber rezeki, jadi jangan takut rezeki kurang. Jarak anak pertama sama kedua jangan jauh-jauh. Kata mbahmu, itu nggak baik.

Saya    : O begitu ya. Oh iya kemarin kata Pak Kamijo, Pakde kepengin istri kedua to? Kalau jarak istri pertama sama kedua jangan jauh-jauh juga Pakde.

(Bude menoleh cepat melebihi kecepatan komentar netizen, yang disertai tatapan tajam ke arah Pakde.)

Pakde: Itu cuma guyon, cah gemblung!

Sekiranya itulah beberapa situasi percakapan yang di dalamnya terdapat contoh-contoh pembelaan atas pertanyaan horor selama Lebaran. Perlu Anda tahu, saya tidak sedang memberikan sebuah contoh yang bisa dipraktikkan, tetapi lebih ke contoh yang sepatutnya Anda hindari, bukan yang benar. Sebab kebenaran hanya milik Allah. Minal aidzin wal faidzin.

Exit mobile version