Ketika tempo hari saya selip lidah kepada pacar saat menanyakan “Bro, waktu ketemu Duta Sheila on 7 di CGV itu kita lagi nonton apa ya?” dan berimbas pada mundurnya dia beberapa langkah disusul dengan perkataan yang mengejutkan saya bahwa “Kita kan belum pernah nonton berdua”, saya tersadar, selip lidah bukan sekadar topik yang bisa dibedah dengan trinitas id-ego-superegonya Sigmund Freud yang bukunya pasti nggak pernah kamu baca pas SMP itu, tetapi juga topik yang sangat menarik untuk rubrik Waini.
Selip lidah sebenarnya tak lebih lucu dari selip jempol, apalagi baru kemarin Donald Dumb menjadi headline karena typo menulis coverage jadi covfefe di Twitter. Namun, sebagai kipas angin besar (ha lucu) dari Almarhum NgupingJakarta yang lucunya beraque banget itu, saya akan fokus pada kisah-kisah selip lidah yang saya alami maupun pernah dengar dari cerita para sohabat. Kisah-kisah selip jempol dari generasi yang waktu SD mencet gembot, remaja mencet stik PS, dan ketika dewasa mencet keypad HP tanpa pernah resah walau belum membaca karya Sigmund Freud kiranya memang layak jadi konten rubrik ini, tapi edisi selanjutnya masih bisa menunggulah.
Alkisah, saya dan teman-teman kuliah sedang berkumpul di warung kopi sampai Hanis, salah satu peserta yang datang menyusul, tiba. Perempuan satu ini agak berbeda dengan kami, cenderung punya energi yang meletup-letup, juga agak berisik seperti dingdong baru diisi koin. Dengan kepercayaan diri tinggi, ia membagi kabar kepada kami.
Hanis: cyin, udah tahu belum Gigabyte film barunya Leonardo DiCaprio?
Teman 1: *hening*
Teman 2: *berpikir*
Teman 3: *makan*
Saya: *hening berpikir sambil makan*
Rasanya ada yang aneh. Itu masa-masa ketika saya rutin memantau film Hollywood terbaru, dan memang benar bahwa Uda Leo ini ada keluarkan film baru. Namun, rasa-rasanya judulnya adalah ….
Saya: Nis, bukannya judulnya Great Gatsby?
Sekitar lima menit selanjutnya adalah sesi penistaan intelegensi Hanis. Yang dilakukan si pelaku? Apa lagi selain tertawa. Harap maklum, waktu itu bangga atas kebodohan sendiri masih belum begitu populer.
Kisah kedua baru-baru saja terjadi ketika geng saya yang isinya manusia-manusia jalang dari kumpulan yang terbuang berkumpul. Rhea Yustitie, memang sengaja saya tulis nama lengkapnya agar malunya kafah, sedang bercerita.
Rhea: jadi to, gaes, pas aku ke Bandung kemarin … eh tapi ini out of the box ya.
Teman 1: Off the record, bangke!
Tak usah saya terangkan lebih jauh kelanjutan bullying tersebut karena akan lebih menyedihkan mengingat Rhea adalah guru bahasa asing di sebuah SMA favorit di Boyolali.
Kisah ketiga terjadi ketika saya dan teman-teman sedang menonton perayaan milad Fisipol UMY di Sportorium kampus itu. Salah satu hiburannya adalah penampilan seni budaya. Kami hadir di sana untuk menonton pertunjukan dari Mantra Merah Putih, komunitas yang anggotanya teman-teman kami juga.
Fajrin dan Ismul ikut menonton acara itu bersama kami. Keduanya anggota sanggar seni lain bernama Sanggar Nusantara (Sanur). Tragedi dimulai ketika satu teman memulai provokasi.
Teman 1: Mantra jadi guest star? Sanur gimana ini? Aduuuh!
Fajrin: levelnya beda, bro!
Ismul: iya, Sanur levelnya bukan dalam ruangan lagi, tapi indoor.
Ketika saya menuliskan kejadian itu di Facebook, seorang teman menyahut di komentar.
“Jadi ingat obrolanku dengan teman kos dulu. Dia tanya: Kak, ke Grogol dari Sudirman naik apa ya? Aku jawab: dua tiga belas. Dia diam, lalu nyaut, bukannya dua satu tiga?”
Ya, selip lidah memang tidak mengenal suku, agama, ras, golongan, maupun batas provinsial.
Dua kisah terakhir dimulai dengan cerita klasik soal Ustadz Daffy al-Jugjawy semasa belum ditahbiskan sebagai ustadz dan kami masih sama-sama bergiat di organisasi kampus yang sama. Dafi, si senior yang menyedihkan karena amat payah dalam bahasa Inggris, memang kerap bikin blunder. Misalnya membuat pengumuman berjudul “angel liputan majalah edisi xxx” atau menyebut handout (materi presentasi dalam bentuk cetak) dengan hangout.
Sepayah-payahnya mahasiswa Sastra Indonesia ini berbahasa Inggris, ternyata ada yang lebih payah. Cahyo, teman Dafi, bahkan mengulang mata kuliah Bahasa Inggris sampai tujuh kali. Keduanyalah tokoh cerita kita kali ini.
Suatu siang Cahyo yang baru datang ke sekretariat mendapati Dafi tengah tidur karena kelelahan habis melembur. Dengan suara cemprengnya, ia membangunkan Dafi dengan keras.
“Daf, Daf, give up, Daf! Give up!”
“Iki aku wis give up, Yok.”
Siapa saja tentu give up dengan bahasa Inggrisnya Cahyo.
Kisah penutup berikut bukan kisah selip lidah, tetapi korbannya acap menganggap demikian sehingga saya cantumkan di sini. Juga karena level kelucuannya yang tentu jauh jika dibandingkan dengan ikan tongkol.
Ini kisah tentang sohabat saya yang bernama Rohhaji Nugroho.
Suatu kali, karena sebuah keperluan, Nugroho harus SMS-an dengan orang asing. Sebagaimana adab komunikasi dua orang yang baru mengenal, tentulah ada pertanyaan soal identitas nama di sana. Tidak perlu kecewa karena menanyakan agama memang belum hype kala itu.
Mas, boleh tahu namanya siapa? Hoho Jangan ketawa, Mas. Saya serius nanya, namanya siapa? Hoho, Mas
Demikianlah satu dari jutaan kali kejadian serupa yang pernah terjadi pada Nugroho atau biasa dipanggil Hoho itu.