Tepat di hari kelahiran Pancasila, ketika saluran TV serentak menyiarkan pidato kepresidenan, Mama Frietz—bukan kelahiran Jerman—sedang duduk-duduk di beranda rumah sambil memainkan kedua belah bibirnya yang aduh … itu bibir ka, kue lapis ka, apaka … apaka … mama sayange.
Sudah seminggu ini Mama Frietz tidak enak badan. Kepala pusing, mata pening, pinggul pegal-pegal, otot keram, dan karena itu Mama Frietz punya badan jatuh sekali. Empat belas hari yang lalu, berat badan Mama Frietz masih di jarum delapan puluh kilo. Hari ini, ketika Mama Frietz mengecek ulang, berat badannya sudah berada satu garis di bawah angka 80 kilo. Bayangkan, satu garis di bawah angka 80 kilo! Aduh, Mama, jatuh sekali.
Di TV, presiden masih bicara-bicara tentang Pancasila, sedangkan Mama Frietz masih memainkan kedua belah bibirnya yang aduh … itu bibir ka, kue lapis ka, atau apaka … apaka … Mama.
Mama Frietz sebenarnya sudah mau melahirkan. Tapi karena di awal cerita saya lupa taro, jadi bagian tentang Mama Frietz mau melahirkan saya taro di bagian tengah cerita saja. Tidak apa-apa, to? Oke sudah.
Hari ini Mama Frietz mau melahirkan untuk yang kesembilan kalinya. Karena merasa sudah berpengalaman, Mama Frietz perintah Bapa Frietz untuk tidak memanggil ibu bidan atau mama dukun.
“Bapa! Ko tidak usah panggil ibu bidan atau mama dukun e.”
“Pele, Mama! Ko ini macam kuat saja. Kalo ko ada apa-apa saya tidak tanggung beban e?!”
“Bapa! Ko jangan bicara banyak sudah. Macam ko biasa tanggung beban saja.”
“Mama ….” Bapa Frietz belum selesai bicara ketika tiba-tiba Mama Frietz potong Bapa Frietz punya bicara.
“Bapa! Stop bicara. Ko pikir tiap malam baring di atas saya punya perut bukan beban kah?” Mendengarnya, bapa Frietz punya kepala goyang-goyang kiri kanan.
Beberapa menit kemudian, ada sakit di Mama Frietz punya perut. Kali ini sakit Mama Frietz beda, tidak seperti biasa. Sakitnya disertai nyeri-nyeri ngeri. Mama Frietz teriak-teriak, sementara Bapa Frietz mulai khawatir.
“Mama, Bapa panggil ibu bidan atau mama dukun e?”
“E, Tuhan. Bapa, ko jangan panggil mereka tolo ….” Belum selesai Mama Frietz punya bicara, Bapa Frietz sudah tidak ada. Bapa Frietz pergi ambil ibu bidan sama mama dukun.
Waktu Bapa Frietz kembali, ibu bidan sama mama dukun juga ikut. Tapi, Mama Frietz sudah melahirkan.
“Bapa! Saya bilang juga apa, ko jangan panggil-panggil orang su ….” Bapa Frietz gantian potong mama Frietz punya bicara.
“Mama! Asal ko tahu e, saya tidak panggil mereka (sambil tunjuk ke arah ibu bidan dan mama dukun). Saya cuma ambil mereka. Tidak panggil. Ko paham ka tidak?”
Karena panas hati melihat Mama Frietz dan Bapa Frietz adu mulut, ibu bidan dan mama dukun pilih urus bayi yang dari tadi menangis di Mama Frietz punya selangkangan. Bayinya dikasi mandi lalu dikasi baring di samping Mama Frietz. Karena Mama Frietz dan Bapa Frietz masih adu mulut, ibu bidan coba kasi usul ke Bapa Frietz.
“Bapa! Mungkin baik kalo Bapa dan Mama Frietz mulai KB saja!”
“Pele, Ibu Bidan, kami KB sudah lama. Setiap saya main sama Mama Frietz, saya selalu pasang kondom.”
“Terus, kenapa masih hamil? Jangan bilang Bapa Frietz salah pasang kondom?”
“Aduh, Ibu Bidan! Saya sudah pasang benar sekali. Pasang di sini to?” Kata Bapa Frietz sambil tunjuk dorang punya ibu jari.
“Pele, Bapa! Ko ini bodok sekali. Itu kondom kenapa ko pasang di ko punya ibu jari.” Ibu Bidan garuk-garuk kepala.
“Ah, Ibu Bidan! Itu petugas KB yang punya salah. Mereka kasi contoh pasang di mereka punya ibu jari.”
“Atau begini saja, bagaimana kalo Mama Frietz minum pil KB?” Bu Bidan kasi saran lain.
“Bu Bidan! Bu Bidan harus tahu. Saya minum pil KB sudah sejak satu tahun lalu.”
“Lalu kenapa ko masih bisa hamil?” tanya Mama Dukun yang dari tadi diam.
“Bagaimana tidak hamil, Mama, pil KB baru sampai leher, saya punya daster sudah sampai tanah.”