Tinggal di Yogyakarta membuat saya mau tidak mau berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah, tanpa terkecuali orang-orang dari Indonesia Timur. Jika kamu tinggal di Kotagede, tengoklah sesekali lapangan di sebelah barat Kantor Kemenkumham ketika sore menjelang. Jika beruntung, kamu akan bertemu dengan orang-orang Timur sedang bermain sepak bola dengan gawang kayu kecil berukuran 2 x 1 meter yang mereka buat sendiri. Lucu-lucu imut ketika melihat mereka berjuang memasukkan bola ke gawang kecil itu. Lewat permainan ini, kebersamaan sesama anak perantauan di tanah Ngayogyakarta dirawat.
Persinggungan itu tidak jarang berbuah kelucuan, terutama jika sudah berkait tabrakan budaya. Kisah-kisah di bawah ini saya dapatkan melalui persinggungan saya maupun teman-teman seperantauan asal Tangerang dengan orang-orang Timur di Yogyakarta.
Anak Tetangga
Memiliki rambut ikal, kulit hitam, dan perawakan kecil membuat Adi, seorang mahasiswa Wonosobo yang kuliah di Yogya ini sering disapa terlebih dahulu oleh orang-orang Timur yang sama-sama belajar di Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa. Sudah banyak orang Timur yang tidak percaya Adi berasal dari Wonosobo. Sampai suatu ketika ia dihampiri dan diajak bersalaman dengan orang Timur yang tidak ia kenal .
“Timurnya di mana?”
“Bukan, Bang, aku asli Wonosobo.”
“Serius tidak ada darah orang Timur?’
“Nggak, Bang, serius.”
“Atau kau punya tetangga orang Timur, kah?”
Mahasiswa apa Firaun
Memiliki uang berlebih ternyata menjadi probem tersendiri bagi Danil. Selama melanjutkan studi di Yogya, ia mendapatkan kiriman dari orang-tuanya di Nusa Tenggara sebesar 1 juta per minggu. Bahkan di semester-semester awal dahulu ia dikirimi uang sampai 1,5 juta per minggu.
Dengan uang sebesar 4 juta per bulan, ia jadi konsumtif membeli barang-barang yang selalu ia sesali setelah dibeli. Koleksi jam tangan seperti Rolex, G-Shock bolak-balik ia pakai ketika kuliah. Ia pun memiliki berbagai macam peralatan mountaineering semacam tas carrier dan sepatu gunung branded.
Sampai akhirnya ia jengah sendiri jadi orang banyak uang. Kepada Adib, teman kampusnya yang asal Tangerang, ia meminta saran.
“Akhir-akhir ini aku merasa konsumtif, sering membeli barang-barang yang tidak aku butuhkan. Aku minta saran kepada kau, Dib, bagaimana caranya agar aku tidak konsumtif?”
“Coba diinvestasiin aja di emas, emas kan harganya nggak pernah turun tuh,” kata Adib.
Mendengar saran brilian dari Adib, dengan senyum semringah Danil langsung menelepon mamanya di NTT.
“Begini, Mama, akhir-akhir ini aku sering belanja barang-barang yang tidak perlu, aku mau coba investasiin uang jajanku untuk beli emas. Menurut Mama gimana?
“Aduh, Anak, macam Firaun saja kau simpan-simpan harta. Di sana tidak ada orang-orang susah, kah? Bagi-bagi saja di sana dengan orang-orang susah.”
Ia pun diam sejenak. Melihat Adib dengan tajam, seakan-akan menemukan orang susah yang akan ia bagi uang.
Mau Cucu Berapa?
Salah satu fragmen yang terlupakan di video klip “Akad”-nya Payung Teduh adalah seorang ibu menyeka air mata dengan tisu ketika anak sulungnya sungkem di pangkuannya.
Dengan ibu ini, Saya tidak melihat secara langsung ia menangis, hanya melalui jepretan foto teman saya. Berbalut kebaya merah muda dan rambut disanggul, Perempuan berdarah Maluku itu tidak sedang mengikuti perlombaan kartini-kartinian. Ia hanya sedang memantaskan diri dengan suaminya yang mengenakan beskap hitam lengkap dengan blangkon karena si suami orang Wonosari, Gunungkidul.
Ibu itu lucu ketika berbicara. Ia penganut bahasa Jawa mazhab Malukuiyah. Satria, anak sulungnya yang hari itu menikah, pernah terjatuh dari motor Yamaha YZRF 125 yang menyebabkan kakinya patah. Ia meloncat-loncat memperagakan bahwa kakinya baik-baik saja kepada saya. Ibunya yang melihat kejadian itu langsung teriak,
“Hei Satria, itu kakimu cilik-cilik itu jangan loncat-loncat.”
Saya yang baru mendengarnya Bahasa Jawa logat Maluku itu hanya tersenyum kecil, tak berani saya tertawa.
Meskipun ketika akad air mata yang menetes tidak berbohong, ternyata tawa lepas setelahnya tak bisa dilarang. Ada satu kejadian yang bikin gerrr para hadirin undangan ketika pemandu acara yang menggunakan bahasa Jawa halus bertanya kepada kedua mertua dan pengantin pria.
“Bapak badhe ajeng putu pinten?” Mau punya cucu berapa?
“Wis, loro wae cukup, Mas.” Dua saja cukup.
“Mas Satria badhe ajeng putu pinten?”
“Sak iso-isone, Mas.” Sebisanya, Mas.
Para undangan yang mendengar jawaban Satria terbahak-bahak. Teman-temannya Satria yang ikut hadir pun sampai berteriak, “Guoblok kowe, Sat, iso-isone koyo ngene isih ndagel!” Bisa-bisanya di acara seperti ini masih ngelawak.
Sampailah pertanyaan itu kepada si ibu.
“Ibu, badhe ajeng cucu pinten?”
Ia menjawab dengan mantap, “IYOOO.”
Sudah tentu jawaban tidak nyambung itu mengundang geger tawa dari hadirin.