Sakit dan Berobat dengan BPJS Artinya Menderita Dua Kali - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
Home Corak Infus

Sakit dan Berobat dengan BPJS Artinya Menderita Dua Kali

Rusdi Mathari oleh Rusdi Mathari
23 Oktober 2017
0
A A
kongkalikong
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Setelah dokter jaga di IGD memeriksa, menjelang tengah malam saya segera dikirim ke kamar perawatan di lantai empat, kamar 407, untuk menunggu keputusan dokter selanjutnya. Itu sebuah kamar yang bagus, kelihatannya baru selesai direnovasi. Sebuah kamar kelas 1 untuk dua pasien yang luas, dilengkapi wastafel di kamar, dua sofa, televisi, jam dinding, serta kamar mandi yang kerannya mengalirkan air dingin dan panas. Maka, sejak malam itu saya tidur di kamar perawatan rumah sakit besar itu sebagai pasien BPJS. Tapi, semudah itukah pasien BPJS mendapat kamar perawatan dan penyakitnya mendapat perhatian dokter?

Saya tak punya jawaban karena pasien BPJS punya pengalaman masing-masing dan setiap rumah sakit punya kebijakannya sendiri. Cerita pengalaman ini sebagian dikisahkan pasien dan keluarga mereka saat mereka dirawat sekamar dengan saya di bangsal kelas 2 kamar perawatan pascaoperasi, yang memuat empat pasien. Ada yang masuk karena harus segera dioperasi, ada yang masuk karena rujukan dari rumah sakit provinsi di Sumatra yang tidak punya punya fasilitas bedah, ada yang masuk karena langsung ke IGD (bukan lewat klinik) dan menjelaskan kegawatan penyakit pasien (konon cara ini yang kemudian banyak digunakan pasien).

Seorang pasien dari Jambi bercerita, di sana, sebuah rumah sakit hanya mau merawat pasien BPJS paling lama empat hari. Sembuh tidak sembuh harus pulang.

Yang bisa saya jelaskan, saya dirawat dan dioperasi di rumah sakit itu selama hampir tiga bulan karena kebaikan banyak orang. Ini klise, tapi seperti itulah faktanya.


Suatu hari seorang sahabat menelepon seorang dokter kenalannya, M. Dia dokter sekaligus aktivis kemanusiaan yang sering dan banyak membantu korban-korban kekerasan yang mendapat perawatan di rumah sakit. Kepada Dokter M sahabat saya menceritakan penyakit dan keadaan yang saya hadapi sembari meminta tolong agar saya bisa dirawat di rumah sakit. Dokter M setuju membantu dan malam itu membawa saya ke rumah sakit, meskipun proses lumrahnya tidak segampang itu.

Baca Juga:

Ngurus SIM dan STNK Wajib BPJS Adalah Akal-akalan Penguasa Untuk Melibas Gengsi Orang Miskin

Uang Itu untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Cari Uang

Spirit Doll di Rumah Hantu Kami Menyerap Arwah dari Rumah Sakit

Sebelum membawa saya ke rumah sakit, konon M sudah mendapat rekomendasi dari Dokter K, mantan direktur rumah sakit yang saya tuju. Sebagai tentara berpangkat mayor jenderal, dia pensiun setahun sebelum saya dirawat, tapi sebagai dokter dia tetap mendapat ruang di rumah sakit itu karena dia salah satu spesialis urologi terbaik.

Dokter K setuju. Dia lantas menghubungi sejawatnya, Dokter R, salah seorang spesialis ortopedi terbaik yang masih berdinas untuk “mengurus” saya. Mereka sepakat. Saya mendapat perawatan dan perhatian. Kongkalikong? Mungkin saja, tapi saya tak peduli. Saya hanya fokus pada penyakit saya karena ingin sembuh, ingin kembali sehat.

Pengalaman saya sebelumnya menggunakan BPJS di rumah sakit besar tingkat provinsi milik pemerintah DKI Jakarta membuktikan, kami pasien BPJS (yang sebagian besar hanya bisa berobat ke rumah sakit milik pemerintah) diperlakukan seperti pasien kelas kere yang hanya diperiksa atau ditangani oleh dokter-dokter praktik yang, celakanya, juga tak bisa mengambil keputusan apa-apa karena tak punya otoritas. Sampai-sampai ada yang mengeluh, jangan-jangan pasien BPJS hanya dijadikan “kelinci percobaan” para mahasiswa dokter spesialis.

Saya pernah menanyakan hal itu pada dokter spesialis yang memeriksa saya di rumah sakit swasta besar. Dia PNS, seorang dokter negara yang mendapat gaji dari pemerintah. Tapi, jam praktiknya di berbagai rumah sakit swasta jauh lebih banyak ketimbang praktiknya di rumah sakit pemerintah. Dia membantah soal pasien BPJS yang seolah jadi “kelinci percobaan” mahasiswa dokter spesialis. Katanya, para mahasiswa memang harus mendapat kesempatan menangani pasien, tetapi mereka juga “tidak dibiarkan” karena harus membuat laporan rutin dan ada evaluasi.

Saya setuju dengan pendapatnya. Problemnya, kenapa mahasiswa dokter spesialis itu yang selalu dijumpai di rumah sakit? Mengapa mereka tidak didampingi? Sebanyak apa jumlah mereka dan seefektif apa mereka membantu dokter spesialis yang sebenarnya?

Saya tak mau berdebat. Saya hanya tahu, memang tak mudah bagi pasien BPJS mendapat perawatan dan perhatian. Di tulisan sebelumnya saya sudah menceritakan, untuk biopsi saja saya harus mengajukan surat permohonan kepada direktur rumah sakit untuk pembelian jarum suntik seharga 2,5 juta. Saya sudah mengajukan dan entah kapan sang direktur akan membaca surat saya. Untuk bertemu (konsultasi pertama) dengan dokter onkologi (ahli kanker), saya diminta menunggu tiga bulan. Di rumah sakit pemerintah terbesar yang menjadi rujukan dari seluruh pelosok negeri, antrean pasien bisa mencapai tiga ribuan. Bayangkan nasib pasien yang penyakitnya sudah parah.

Saya pernah menyaksikan seorang pasien yang tidak kebagian kursi di ruang tunggu dan tak mendapat kursi roda seperti saya. Dia hanya berdiri menunggu giliran dipanggil untuk kontrol karena beberapa hari sebelumnya selesai dioperasi. Sejam dua jam, tidak ada yang terjadi. Tapi menjelang siang kakinya penuh darah. Dia mengalami pendarahan dari bekas operasinya. Barulah pada saat itu dokter meminta perawat membawanya ke IGD.

Tapi, pihak rumah sakit dan dokter juga tak bisa begitu saja disalahkan. Keterbatasan jumlah dokter dan perawat, ruang perawatan dan tindakan, obat yang terbatas, akan membuat keputusan sulit diambil, selain soal birokrasi dan, konon, sulitnya menagih uang jaminan ke BPJS. Perilaku pasien kadang juga berlebihan. Mereka tak mengerti prioritas karena hanya influenza pun mereka minta dirawat.

Maka, saya tak peduli disebut menggunakan privilege saat masuk dan dirawat di rumah sakit itu. Saya pemegang kartu BPJS pribadi yang setiap bulan membayar iuran dan dijamin oleh negara untuk mendapat perawatan. Dan di rumah sakit itu saya mendapatkannya.

Terakhir diperbarui pada 23 April 2021 oleh

Tags: BPJSkankerpasienrumah sakitrusdi matharisakit
Rusdi Mathari

Rusdi Mathari

Artikel Terkait

Ngurus SIM dan STNK Wajib BPJS Adalah Akal-akalan Penguasa Untuk Melibas Gengsi Orang Miskin MOJOK.CO

Ngurus SIM dan STNK Wajib BPJS Adalah Akal-akalan Penguasa Untuk Melibas Gengsi Orang Miskin

23 Februari 2022
Uang Itu untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Cari Uang

Uang Itu untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Cari Uang

28 Januari 2022
spirit doll, rumah hantu, rumah sakit MOJOK.CO

Spirit Doll di Rumah Hantu Kami Menyerap Arwah dari Rumah Sakit

20 Januari 2022
Harga Rokok Naik: Ketika Rakyat Dianggap Beban oleh Negara MOJOK.CO

Harga Rokok Naik: Ketika Rakyat Dianggap Beban oleh Negara

5 Januari 2022
Dokter yang Indigo: Diganggu Hantu Usil Hingga Melihat yang Mati karena Pesugihan

Dokter yang Indigo: Diganggu Hantu Usil hingga Melihat yang Mati karena Pesugihan

4 September 2021
Seorang Pasien yang 12 Jam Tidur di Samping Jenazah

Seorang Pasien yang 12 Jam Tidur di Samping Jenazah

15 Juli 2021
Pos Selanjutnya
Mojok_politik_kedua

Ada yang Tidak Beres dalam Pertemanan Ini

Komentar post

Terpopuler Sepekan

kongkalikong

Sakit dan Berobat dengan BPJS Artinya Menderita Dua Kali

23 Oktober 2017
mie ayam pak kliwon mojok.co

Mie Ayam Pak Kliwon, Kesayangan Anak Teladan

15 Mei 2022
Sinar Mandiri melaju di Pantura MOJOK.CO

Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri

21 Mei 2022
makam raja-raja imogiri mojok.co

Mengenang Kebesaran Raja-raja Jawa di Pajimatan

18 Mei 2022
Jarang Pulang ke Rumah karena Gampang Mabuk Perjalanan

Ringkasan Cerita ‘KKN di Desa Penari’ buat Para Pemalas dan Penakut

29 Agustus 2019
Gunung Semeru: Lagu Pilu di Balik Keagungan Mahameru MOJOK.CO

Gunung Semeru: Lagu Pilu di Balik Keagungan Mahameru

12 Mei 2022
Higgs Domino dan Parlay Bola Memang Seksi, Membuatku Berani Bilang Persetan kepada Trading, Kripto, dan NFT MOJOK.CO

Higgs Domino dan Parlay Bola Memang Seksi, Membuatku Berani Bilang Persetan kepada Trading, Kripto, dan NFT

16 Mei 2022

Terbaru

Jokowi minta relawan Projo untuk tidak kesusu

Jelang Pilpres 2024, Jokowi Minta Projo Jangan Kesusu Munculkan Nama

21 Mei 2022
horor rumah hantu malioboro

Rumah Hantu Malioboro dan Alasan Orang-orang Suka Sesuatu yang Horor 

21 Mei 2022
Sinar Mandiri melaju di Pantura MOJOK.CO

Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri

21 Mei 2022
Syaeful Cahyadi: Menceritkan Makam Untuk Menggali Konteks Kesejarahan

Syaeful Cahyadi: Menceritakan Makam Untuk Menggali Konteks Kesejarahan

20 Mei 2022
kemendes mojok.co

Konsep Transmigrasi Sudah Kuno, Kemendes Terapkan Transpolitan

20 Mei 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In