Saya Takut Ditinggal Pacar Karena Mudah Marah-Marah

MOJOK.COSeorang perempuan menceritakan tentang sikapnya yang mudah marah-marah nggak jelas ke pacar. Ia ingin dapat mengontrol marahnya supaya tidak ditinggal pacar.

TANYA

Dear Mojok…

Perkenalkan, saya Susi dan nama pacar saya Lim. Saya ingin bercerita tentang kami. Jadi, saya dan pacar saya ini berstatus PNS dan merencanakan menikah di tahun 2019 ini. Tahun ini kami ditugaskan di pulau yg alhamdulillah terpencil dan tertinggal. Tidak ada sanak keluarga di sini. Jadi, basically kami hanya punya satu sama lain. Mendengar penempatan di pulau yang jauh dan tertinggal ini saya sempat sedih dan menangis, tapi pacar saya meyakinkan bahwa dia akan menemani dan menyayangi saya selama berada di sana.

Namun kenyataannya, 3 bulan di sana kami cukup sering bertengkar hebat. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi sering kali hanya perkara sepele. Semisal, dia ngatain saya gendut yang katanya niatnya cuma bercanda. Sayangnya, dampak dari hal sepele ini cukup besar. Keluarlah sifat buruk saya yang juga tidak pernah saya tahu bisa saya miliki. Pada saat marah, saya bisa memaksa turun dari motor. Pernah suatu kali saya marah tengah malam dan nekat jalan kaki pergi ke kantor sendiri karena emosi. Herannya dia sempat biarkan saya nekat dulu. Setengah jam kemudian baru dia mencari-cari saya.

Yang paling parah, saya pernah marah besar dan nekat turun dari motor. Dia ngajak naik lagi tapi saya tolak dan akhirnya dia pulang bawa motor tanpa saya. Akhirnya karena betul-betul ditinggal, saya jalan kaki selama satu jam. Setelah lelah, saya menelponnya dan meminta untuk dijemput. Namun, ketika dijemput, saya semakin menjadi-jadi dan memukul-mukul kepala sendiri bahkan meraung-raung di pinggir jalan.

Saya rasa, saya ini sakit. Entah sakit jiwa atau apa. Tapi yang jelas, saya ini sakit.

Sampai saat ini calon saya masih bersabar dengan sikap saya. Tapi dengan mewanti-wanti, “Kalau sudah menikah, kamu harus menurut suami. Surgamu ada di suami, aku nggak mau dimarah-marahin nggak jelas sama istri.”

Saat ini, dia menuntut saya untuk berubah dan mengendalikan emosi saya. Namun saya takut kalau dia akan kehilangan kesabaran dan meninggalkan saya. Saya harus bagaimana, Jok? Dengan cara apa penyakit saya ini bisa sembuh? Bagaimana caranya agar saya tidak mudah marah? Saya sudah sempat bertekad, namun ujungnya saya tetap masih marah hebat.

Terima kasih, Mojok. Semoga dibalas….

JAWAB

Hai Susi, terima kasih sudah mempercayakan kami untuk mengatasi permasalahan yang sedang kamu hadapi. Sebetulnya, dengan kamu telah berani untuk menceritakannya, ini menunjukkan bahwa kamu juga memahami ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu sendiri yang butuh diatasi. Kamu telah memahami, bahwa kemarahan-kemarahan yang sering kamu lakukan pada pasangan adalah perilaku yang tidak baik. Btw, tidak banyak, loh, orang yang sadar dan mau mengakui perbuatannya yang membuat tidak nyaman orang lain, seperti yang kamu lakukan.

Dengan cerita singkat yang kamu tuliskan, sebetulnya saya masih meraba-raba, apa yang membuat kamu mudah tersulut amarah. Lantas kamu melampiaskan kepada seseorang yang menjadi sandaranmu selama berada di tanah rantau itu.

Mungkinkah emosi negatif yang mudah meletup ini sebenarnya karena kamu tidak terlalu nyaman tinggal di daerah pedalaman? Atau kamu merasa ada hal yang membuatmu tidak kerasan saat berada di kantor? Atau dikarenakan sesuatu lainnya, yang betul-betul tidak ada sangkut pautnya dengan pasanganmu?

Jadi, jika kamu tidak ingin lagi mudah tersulut amarah, maka cari tahu dulu, apa yang menjadi penyebabnya. Pasalnya, jika kita tidak tahu apa penyebabnya, kita akan sulit untuk mencari tahu cara mengatasinya. Nah, jika kamu sudah mengetahui apa yang sebetulnya menjadi penyebab amarahmu itu, saatnya melatih diri supaya tidak mudah mengeluarkan emosi negatif yang dapat menganggu orang lain. Khususnya, saat ‘si penyebab’ emosi negatif ini muncul.

Begini, Susi. Memang tidak ada salahnya mengeluarkan emosi negatif, sebab jika tidak dikeluarkan hal ini justru dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak di saat yang tidak terduga. Namun, tentu tak elok rasanya, jika emosi negatif yang dikeluarkan tersebut justru—keseringan—menganggu kenyamanan orang lain, meski dia adalah seseorang yang kamu anggap akan dapat menerimamu apa adanya. Tapi, tidak ada garansi dalam cinta, kan? Apalagi jika emosi ini justru…

…merugikan kamu sendiri, seperti harus capek-capek jalan kaki selama satu jam hanya karena marah-marah nggak jelas~

Melatih diri supaya tidak mudah emosi, memang masukan yang sangat klise. Tapi ya mau gimana lagi: kalau kita nggak mau marah-marah, ya harus latihan biar nggak mudah marah-marah.

Sulit? Iya, saya tahu ini jelas sulit. Kalau memang gampang, tentu kamu nggak bakalan sampai ngirim curhat ke Mojok.

Susi, anggap kesulitan itu adalah tantangan. Kamu bisa meminta tolong sang pacar untuk membantu mengontrol kemarahanmu ini. Misalnya, memintanya untuk mencatat setiap kali kamu marah dengan alasan yang memicunya. Catatan ini akan berguna, ketika kamu sedang dalam keadaan tenang, kamu dapat lebih menyadari dan dapat mengevaluasi diri sendiri dengan menggunakan data statistik.

Selain itu, untuk melatih diri sendiri supaya tidak mudah marah-marah, coba untuk mengingat, bahwa kamu juga punya banyak alasan untuk tidak marah-marah. Kamu masih punya alasan untuk bersenang-senang dan tidak menganggu kenyamanan orang lain.

Jangan lupa untuk memikirkan, bahwa pacarmu juga punya tanggung jawab yang lain. Bukan hanya tentang ngurusi kamu yang keseringan rewel. Layaknya pasangan, tentu akan lebih baik jika kalian saling bertanggung jawab satu sama lain. Dengan ini, semoga kamu juga dapat lebih belajar untuk menahan kemarahanmu. Dalam artian, dapat mengeluarkan emosi negatif yang muncul pada hal yang tidak merugikan orang lain dan dirimu sendiri.

Bukankah keuntungan menjadi pribadi yang lebih tenang, tak hanya sekadar supaya nggak ditinggalkan oleh sang kekasih, kan?

Namun, jika kamu memang masih betul-betul kesulitan untuk mengontrol dirimu sendiri. Tidak perlu ragu untuk meminta bantuan pada tenaga yang lebih ahli, misalnya psikolog atau psikiater. Yang terpenting, jika kamu memang merasa ada yang tidak ‘beres’ dengan dirimu, jangan mudah menyerah dan menganggap ‘kamu memang seperti itu.’

Semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik, Susi! Salam sayang dari kami, semoga kalian sama-sama saling menguatkan mengabdi di tanah rantau~

Exit mobile version