Menjadi Bucin yang Sungguh Keras Kepala

MOJOK.CONamanya juga udah mendaku diri jadi bucin, ya pokoknya kita pengin bisa bikin bahagia orang yang dicinta.

TANYA

Dear Mbak Au yang baik hati dan tidak sombong, curhat dong!

Pertama-tama, perkenalkan. Saya adalah seorang perempuan berusia 21 tahun dan berprofesi sebagai mahasiswa. Jadi mahasiswa hanya part time job saya, full time job saya adalah bucin. Budak cinta. 24 jam 7 hari 1 minggu pikiran saya hanya tertuju pada lelaki yang sama. Kebetulan lelaki itu sahabat saya. Awalnya semua berjalan normal dan lancar selayaknya sepasang sahabat. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Pelan-pelan perasaan saya berubah jadi suka.

Sahabat saya ini adalah tipikal laki-laki yang ramah, dewasa, super baik, loyal, lucu, kocak, dan pinter. Saya dan sahabat saya sering pergi hang out berdua. Blio juga sudah dipercaya sama orang tua saya. Sikapnya manis! Kadang setiap saya akan turun dari mobil, blio akan membukakan pintu mobil untuk saya, membukakan pintu apa pun di depan saya, mentraktir ini itu, memberi kado ini itu, tiap saya ngambek blio pasti panik,  blio resisten terhadap kelakuan aneh saya, mengikuti mau saya. Blio juga tau hal-hal kecil tentang saya. Saya ajak ngobrol dari hal serius hingga bagaimana gajah membuang upilnya pun blio tetap asique. Tiap kali jalan, blio juga sangat melindungi saya. Jiwa–jiwa fakir kasih sayang dan kejombloan saya yang sudah sewindu pun bergejolak! Saya berevolusi menjadi seorang bucin. Jika blio ingin meminta setengah ruang jantung saya atau sebiji bola mata saya juga bakal saya beri. Ya, saya sebucin itu. Lebih parah lagi, saya bucin pada sahabat saya sendiri padahal saya jelas tau bahwa blio punya pacar. Ya kan baru pacaran, bosque. Belum nikah. Sungguh kotor otak saya.

Perilaku kebucinan saya ini berlangsung selama dua tahun lebih. Karena perasaan saya yang menggebu-gebu dan ingin membuat kepala saya meledak, akhirnya saya menyatakan perasaan saya pada blio. Jawabannya sudah bisa ditebak: saya ditolak. Ya saya juga tau saya akan ditolak, pacar blio sungguh rupawan dan pintar. Berbeda jauh dari saya. Setelah ditolak, saya masih belum menyerah. Pantang menyerah sebelum dapat adalah prinsip hidup saya. Ya meskipun mungkin harusnya tidak diaplikasikan dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan ini. Saya masih terus menjadi bucin dan sahabat saya tetap bersikap manis. Perasaan saya tidak berubah, malah bertambah. Apalagi saya sudah dekat dengan keluarga blio. Keluarganya sangat baik. Tak jarang orangtua blio dan orangtua saya saling bertukar salam. Saya sebagai seorang bucin, jelas hal ini membuat saya merasa gayung saya bersambut.

Jarak beberapa waktu kemudian, saya menyatakan lagi perasaan saya. Kali ini saya tidak meminta jawaban, hanya menyatakan saja. Tapi ditolak. Lagi. Sedih? Pasti. Tapi apakah saya menyerah? Masih belum. Mungkin Ibu Kartini pun malu melihat saya karna mengaplikasikan “emansipasi wanita” dalam situasi yang salah. Maafkan saya, Bu. Tapi mencintai sahabat saya ini membuat saya mempunyai keinginan untuk terus berkembang. Muncul keinginan untuk hidup. Saya jadi punya tujuan.

Saya paham betul bahwa cinta tak perlu memiliki. Yaudah saya lanjut cinta aja sama blio meskipun bertepuk sebelah tangan. Tapi di sisi lain saya takut jika di suatu hari yang cerah, undangan pernikahan beratasnamakan nama blio dan pacarnya sampai ke tangan saya. Apalagi dalam kondisi saya sedang cinta-cintanya. Alamak. Amit-amit. Saya takut. Saya takut tambah gila.

Keras kepala saya sebagai bucin disebabkan karena memegang teguh prinsip jawa, “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino”. Prinsip itu juga yang membuat saya berharap blio akan terbiasa dengan saya dan mengubah status saya dari bucin bertepuk sebelah tangan menjadi bucin bertepuk tangan. Aduhai, pasti indah sekali.

Tapi sampai kapan saya jadi bucin? Saya kadang lelah tapi tetap tidak mau menyerah. Apakah prinsip pantang menyerah saya dalam mendapatkan hati sahabat saya ini salah? Apakah yang harus saya lakukan dengan perasaan cinta saya yang fitrah ini? Apakah yang harus saya lakukan agar blio punya rasa yang sama? Apakah harapan ini kosong, sifat manis blio pada saya hanya sebagai sahabat tidak lebih dan saya harus mundur?

Mohon penerangan dan pencerahan terhadap kisah saya yang penuh liku-liku dan sungguh terjal ini, Mbak Au. Bantu saya agar saya tidak terjungkal. Matursuwun, Mbak Au!

JAWAB

Hai Mbak, yang saya nggak tahu harus panggil apa—soalnya nggak ngenalin nama, bahkan inisial sekalipun. Jadi, supaya lebih enak komunikasi di antara kita, bolehkah saya memanggil sampeyan dengan Mbak Aya? Ya, anggap saja karena sekarang lagi mepet-mepet Hari Raya. Gitu, ya? (Oke, saya anggap sampeyan yang jauh di sana, sudah membolehkannya).

Sebagai seseorang yang juga pernah merasakan jatuh cinta meski sudah tahu jelas-jelas bakal bertepuk sebelah tangan, saya paham dikit-dikitlah dengan yang sampeyan rasakan. Nyatanya, mencintai memang punya fantasinya sendiri yang bikin jiwa meletup-letup dengan nggak tahu diri. Tapi masalahnya, meski saya pernah mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan, saya nggak pernah sampai segetol sampeyan untuk mendapatkan hatinya.

Lantas, kalau sampeyan menanyakan kepada saya, “…sampai kapan saya jadi bucin?” Ya, mana saya tahu. Wong saya nggak tahu. Begini ya, Mbak Aya, mohon dipahami. Jawaban dari permasalahan sampeyan itu cuma satu: sampeyan memilih untuk nggak mau menyerah. Udah, itu. Kalau sampeyan memang berprinsip pantang menyerah, mah, yaudah nggak usah tanya-tanya lagi. Lha wong udah berprinsip, kok. Siapa saya, yang malah mengacaukan prinsip sampeyan itu~

Memang betul Mbak Aya, yang namanya perasaan sayang itu sebuah fitrah. Akan tetapi, jangan lupa kalau kita juga punya otak yang bisa mengatur dan mengkondisikan supaya segala hal di kehidupan kita dapat lebih terkelola. Nah, selama sampeyan membiarkan perasaan itu tetap ada, ya bakal tetap ada. Wong nggak ada usaha untuk melepaskan. Malahan merasa terlalu nyaman berada dalam “dunia fantasi” yang sampeyan bikin sendiri.

Atau jangan-jangan, itu memang betul-betul fantasi? Jadi, perlakuan dia yang sungguh manis, sebetulnya ya biasa-biasa saja selayaknya hubungan persahabatan lainnya. Tapi, sampeyan aja yang terlalu ke-GR-an. Seolah-olah itu adalah pertanda, bahwa dia juga memiliki rasa yang sama. Ya, biasa terjadi, sih. Biasanya, karena kita terlalu sayang sama orang, ada reaksi kimia di otak kita yang membuat kita merasa bahwa dia juga punya perasaan yang sama.

Udah ya, Mbak Aya, mungkin akan lebih baik kalau sampeyan mundur saja. Atau, sekalian putusin dulu hubungan mereka, daripada sampeyan terus-terusan berada di situasi yang terombang-ambing (dalam gejolak di dalam diri sampeyan sendiri) dan akhirnya bingung mau ngapa-ngapain.

Kalau memang sampeyan merasa dengan mencintainya, bisa membuat sampeyan lebih semangat untuk mengembangkan diri sendiri, ya, nggak apa-apa, sih. Meski, sungguh nggak enak rasanya ketika banyak hal yang kita usahakan itu, justru untuk orang lain. Bukan diri kita sendiri. Jadi, mending, dipikirin dulu aja niatnya. Apa sih, yang sampeyan pengin dari sebuah pilihan bertahan? Hmmm? Hmmm?

Fyi aja, Imam Syafi’i pernah mengungkapkan, kalau, “Bagian dari bencana itu ketika engkau mencintai, sementara orang kau cintai tidak mencintaimu.”

Jadi, kalau sampeyan tanya ke saya, udah jelas ya, Mbak. Walau saya tahu, sih, ngasih tahu orang yang lagi jatuh cinta itu kayak mbolotin daki di leher. Susah dan percuma.

Exit mobile version