Dilema Lelaki Pemalu di Acara Bedah Buku

curhat

Curhat

Dear Mas Gus Mul

Perkenalkan, nama saya… ah, sebut saja saja Despacito.

Jadi begini, Mas Gus. Saya lelaki 28 tahun. Dan, sama seperti Mas Gus Mul, saya punya hobi nulis. Yah, Alhamdulillah, bukannya saya sombong, tapi dari hobi nulis saya itu, saya sudah berhasil menerbitkan satu buah novel yang sekitar dua bulan lalu diterbitkan oleh salah satu penerbit Mayor di Jakarta. Buku saya itu sekarang sudah bisa dibeli di Gramedia dan toko buku lainnya. (Kalau Mas Gus Mul berminat, nanti saya kirimkan satu ke rumah mas, Gratis, tentu saja).

Nah, di sinilah permasalahannya. Setelah buku saya resmi terbit, ternyata pihak penerbit buku saya mewajibkan saya untuk ikut berpartisipasi di acara talkshow promosi buku saya. Yah, semacam bedah buku saya sendiri.

Kalau untuk ikut mempromosikan buku saya sih, tentu saja saya mau, lha wong namanya juga buku-buku saya sendiri, tapi kalau harus jadi narasumber alias pembicara untuk bedah buku, saya rasanya nggak sanggup. Maklum, dari dulu, duluuuu banget, saya ini paling ndredeg kalau disuruh tampil di hadapan umum atau banyak orang. Saya ini lelaki pemalu tingkat akut.

Saya sudah bilang ke pihak penerbit kalau saya nggak bisa, tapi mereka tetap memaksa saya. Katanya, itu penting untuk mempromosikan buku saya. “Kamu ini gimana, disuruh bedah buku sendiri kok nggak bisa, gimana bukumu mau laku, pokoknya kamu harus mau!” kata editor saya.

Saya tahu, bahwa apa yang dikatakan oleh editor saya itu tidak salah, malahan sangat benar. Namun ya bagaimana, saya tetap merasa tak bisa.

Bedah buku pertama saya akan dijadwalkan pertengahan Agustus mendatang di halaman kantor penerbit. Dan sampai sekarang, saya belum juga memberi kepastian jawaban, saya akan bersedia atau tidak menjadi narasumber di acara bedah buku saya.

Saya masih bimbang, dan atas dasar kebimbangan itulah saya menulis curhat ini dan berharap bisa mendapatkan saran yang bagus dari mas Gus Mul.

Salam.

Jawab

Dear Despacito… (bedebah, kenapa mesti Despacito, sih? saya jadi menulisnya sambil bernyanyi)

Saya merasa seperi berkaca pada masa lalu saya setelah membaca curhatan dari sampeyan ini, karena ndilalah, dulu saya juga mengalami dilema yang sampeyan curhatkan ini.

Saya masih ingat sewaktu buku pertama saya terbit di tahun 2014. Buku berjudul Jomblo Tapi Hafal Pancasila itu diterbitkan oleh salah satu penerbit Mayor di Jogja. (Kalau sampeyan berminat, nanti saya kirimkan satu ke rumah sampeyan. Bayar, tentu saja)

Nah, sama seperti sampeyan, pihak penerbit buku saya waktu itu juga menyuruh saya untuk mau tampil menjadi narasumber untuk bedah buku saya. Lagi-lagi, sama seperti sampeyan, saya ini juga seorang lelaki pemalu, selalu lemas kalau harus berbicara di depan khalayak.

Dengan kondisi seperti itu, maka saya tentu saja menolak tawaran dari penerbit. Pihak penerbit boleh jadi kecewa dengan keputusan saya. Melalui salah seorang karyawannya yang saya kenal baik, penerbit buku saya itu kembali meminta saya untuk mempertimbangkan tawaran sebagai narasumber di acara bedah buku saya. “Aneh kalau di acara bedah bukumu nanti kamu nggak jadi pembicara, ini bukan sekadar buat promosi bukumu thok lho, tapi juga promosi dirimu sebagai penulis,” katanya.

Tentu saja saya mengalami pergolakan batin yang cukup serius. Di satu sisi, memang sudah layaknya saya tampil menjadi narasumber untuk acara bedah buku saya, namun di sisi yang lain, saya masih ragu dengan kemampuan panggung saya. Butuh waktu tak sebentar bagi saya untuk memikirkan dan mempertimbang hal ini.

Setelah saya pikir-pikir dengan sangat matang, pada akhirnya saya memutuskan untuk menerima tawaran penerbit untuk menjadi narasumber.

Saya ingat betul, bedah buku pertama saya digelar di acara pameran buku di Perpustakaan daerah Temanggung. Yang datang ke acara bedah buku saya kala itu hanya empat orang. Sekali lagi, empat orang. Jumlah yang bahkan masih kalah banyak kalau dibandingkan dengan jumlah sila pada Pancasila atau jumlah rukun pada rukun Islam.

Saya senang-senang prihatin dengan jumlah empat orang itu. Senang karena itu artinya, saya jadi tidak terlalu takut karena harus menghadapi banyak mata. Namun juga prihatin karena ternyata nama saya nggak tenar-tenar amat.

Dengan jumlah hadirin yang punakawan itu, saya tampil dengan sangat kacau. Plegak-pleguk, tergagap, dan bahkan bingung saat harus menjawab pertanyaan. Yah, mau bagaimana lagi, namanya juga pengalaman pertama.

Nah, setelah pengalaman menjadi narasumber di bedah buku pertama saya itu, saya jadi tahu, apa yang salah pada saya dalam menjadi narasumber. Saya pun kemudian buka-buka youtube dan mencari video contoh bedah buku dan mengamati bagaimana cara penulis-penulis terkenal menjawab pertanyaan saat menjadi narasumber.

Di bedah buku kedua, saya lupa di mana persisnya, namun jumlah pesertanya kali ini lebih menenangkan. Tidak cuma empat orang seperti yang pertama. Walau masih tetap kikuk dan wagu, namun Alhamdulillah, saya cukup lancar dalam membawa diri sebagai pembedah buku saya sendiri.

Hingga kemudian, di bedah buku saya yang ketiga yang digelar di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Jogja, saya mulai percaya diri dan benar-benar berani menjadi seorang pembedah buku. Saya bahkan sampai sudah menyiapkan template jawaban untuk beberapa pertanyaan yang saya perkirakan akan ditanyakan oleh moderator atau peserta bedah buku.

Sejak saat itulah, saya kemudian mulai lancar menjadi pembicara dan pembedah, baik untuk buku pertama saya, maupun buku saya yang berikutnya. Saya bahkan kemudian berkali-kali menjadi pemateri di berbagai forum, tak sebatas pada urusan buku, namun juga soal blog, sosial media, sampai dunia penulisan. Dan semua itu dimulai dari menjadi pembedah di acara bedah buku yang hanya dihadiri oleh empat orang, sekali lagi, empat orang.

Mas Despacito, dari pengalaman saya di atas, saya mengambil sebuah kesimpulan, bahwa pada dasarnya, kepercayaan diri memang seperti ketajaman sebuah pisau, ia harus diasah dan dilatih terus menerus.

Rasa malu tentu saja akan selalu ada, namun bukan berarti ia tak bisa dikurangi. Tentu dengan membutuhkan proses yang panjang, sebab memotong rasa malu memang tak semudah memotong kemaluan.

Nah, terkait dengan tawaran dari penerbit sampeyan, saran saya tentu saja adalah, terima tawaran tersebut. Itu adalah langkah awal yang baik untuk belajar meningkatkan kepercayaan diri sebagai pembicara. Sebab, jika kelak sampeyan menjadi penulis yang sukses, maka menjadi seorang pembicara adalah suatu hal mau tak mau harus anda terima perannya.

Sungguh, saya sangat berterima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh penerbit buku saya kala itu untuk belajar menjadi seorang pembicara. Dan saya rasa, sampeyan pun seharusnya juga begitu.

Exit mobile version