Tanya: Perkenalkan, nama saya Beer. Saya salah satu pembaca setia Mojok sekaligus fans garis kerasnya Mas Ega yang unyu dan pelukable. Saya mau curhat soal asmara saya yang cukup membebani pikiran dan sedikit mengganggu proses mengerjakan skripsi.
Tahun lalu saya pernah dijodohkan oleh orangtua dengan lelaki yang yaaah… sudah suamiable pokoknya. Saya mengiyakan karena memang tujuan saya awalnya adalah birrul walidain, mengabdi kepada orangtua. Namun, karena suatu hal kami tidak jadi menikah. Padahal semua keperluan sudah dipersiapkan.
Saya sangat terpukul. Saya sedih dan sakit. Apalagi hal itu terjadi saat saya sedang mengerjakan skripsi. Skripsi saya jadi molor sampai sekarang.
Tiga bulan setelah kejadian itu, sementara saya masih berusaha move on, ada sahabat yang memperkenalkan saya dengan aplikasi Tinder. Dari Tinder saya berkenalan dengan lelaki yang ternyata mampu membuat saya sakit dan cinta secara bersamaan sampai sekarang.
Dia ini tipe saya banget. Humoris, bisa bikin saya nyaman, cerdas, sama-sama senang baca, dan saya bisa menjadi diri saya sendiri ketika di depannya. Apalagi profesi dan kota yang ia tempati saat ini adalah nilai plus bagi saya.
Kurang lebih, setelah empat bulan, akhirnya kami memutuskan untuk kopi darat. Saya mendatangi dia ke kotanya karena kebetulan ada keperluan lain di sana. Setelah kami bertemu, nggak ada sedikit pun perlakuan dia yang berbeda. Semuanya sama seperti ketika kami chatting-an.
Setelah pertemuan pertama kami jadi semakin dekat. Hampir setiap pekan saya mengunjunginya untuk menghabiskan waktu bersama. Banyak hal kami lakukan bersama dan itu bikin saya bahagia.
Empat bulan saya dekat sama dia, saya merasa nyaman dan suka sama dia. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya saya memberanikan diri menyatakan perasaan ini.
Saya kira gayung akan bersambut, ternyata tidak. Dia bilang dia juga ada perasaan sama ke saya, tapi dia nggak bisa pacaran sama saya. Katanya, banyak hal yang belum saya tahu tentang dia dan dia nggak mau saya kecewa. Dan lagi, kami ini dipertemukan karena luka. Saya dengan rencana pernikahan yang gagal dan dia dengan masa lalunya yang memang cukup pelik (saya tahu detail kisahnya, semuanya). Dia nggak mau kaau kami cuma cari pelarian.
Saya benar-benar merasa sakit. Niatnya mau menyembuhkan luka, kok malah bikin luka baru. Semenjak itu, hubungan kami jadi renggang sampai akhirnya kami nggak pernah chat lagi. Sampai akhirnya, dua bulan kemudian dia menghubungi saya lagi.
Dia cerita bahwa dia sedang ada masalah dengan masa lalunya dan itu menyangkut ketenangan hidupnya. Sampai sekarang saya belum tahu detail masalahnya gimana karena dia janji mau cerita hanya ketika masalahnya udah kelar. Kontak ini membuat kami berkomunikasi lagi.
Saya sering menyemangati dia sampai suatu ketika, keluar kalimatnya yang bikin saya baper lagi. Dia bilang, “Kayaknya emang aku nggak bisa hidup sendiri. Aku butuh orang buat nemenin aku. Kalau masalah ini udah kelar, aku janji mau nemuin kamu, aku pengin peluk kamu. Aku pengin berubah juga. Bantu aku jadi orang yang lebih baik ya.”
Seketika langsung runtuh benteng pertahanan saya.
Setelah dia menyelesaikan masalahnya kami janjian buat ketemuan lagi. Dia janji mau berkunjung ke kota saya, tapi karena ada masalah kerjaan, akhirnya saya yang mengunjunginya. Saya menunggu dia di stasiun dari pukul sembilan pagi sampai pukul sembilan malam. Saya hubungi dia, nggak ada respons. Saya pikir mungkin dia masih sibuk.
Saya memutuskan buat menginap di tempat teman saya. Tengah malam baru dia menghubungi saya. Dia minta maaf karena tidak membalas chat saya. Ternyata, masalahnya belum sepenuhnya selesai sehingga dia nggak bisa nemuin saya karena nggak mau membahayakan saya.
Saya memaafkan dan kami janjian untuk besoknya jalan-jalan sebentar karena malamnya dia ada urusan kerjaan. Lagi-lagi, besoknya, sampai sore dia nggak ada kabar. Katanya dia seharian tidur. Saya marah dan memutuskan pulang ke kota saya.
Setelah kejadian itu, saya bener-bener janji kalau saya harus move on. Tapi, ternyata susah. Saya masih stalking dia, chat dia, bahkan saya sampai daftar program magang di kantornya dia (untung nggak diterima). Padahal saya tahu, saat ini dia dekat sama orang lain. Dia udah nggak ada rasa sama saya lagi. Tapi, saya tetep keukeuh. Saya menutup mata soal itu. Yang bikin saya kayak gini itu karena saya selalu teringat sama janji dia ke saya, yang katanya dia butuh saya, dia pengin jadi lebih baik lagi sama saya, banyaklah pokoknya janji dia ke saya yang menurut saya, itu kayak ngasih harapan ke saya.
Dari curhatan saya yang panjang dan nggak seberapa penting buat kemajuan bangsa Indonesia ini, gimana ya, Jo? Apakah saya harus mengikhlaskan dia? Gimana caranya biar saya bisa move on dan nggak kepo soal hidupnya lagi? Saya tersiksa sama sikap saya sendiri. Huhuhu.
Jawab: Langsung saja, Mbak Beer. Hhe hhe. Yang menarik dari mendengarkan curhatan tentang asmara bagi Karjo adalah, biasanya dan seringnya, jawaban atas keresahan yang dialami oleh orang yang curhat sebetulnya sudah ia ketahui sendiri. Dia hanya perlu diyakinkan.
Karjo akui, cerita asmara Mbak cukup menarik. Konflik yang dihadirkan lumayan pelik dan layak diangkat menjadi sebuah tayangan FTV. Dari cerita Mbak, Karjo bisa mengambil kesimpulan bahwasanya Mbak sulit move on karena selalu teringat janji si dia yang bilang kalau dia butuh Mbak.
Dari sini saja sebenarnya sudah kelihatan titik terang bagi masalah Mbak. Solusinya ya (((gampang))) saja sih sebenarnya, Mbak mau move on? Ya lupakan saja janji-janjinya itu. Memang, pernyataan dia yang bilang kalau dia butuh Mbak itu saya akui cukup dahsyat. Siapa sih yang nggak mau dibutuhin?
Tapi, di sisi lain ini juga jadi semacam bumerang bagi Mbak. Mentang-mentang ngerasa dibutuhin, Mbak jadi menutup mata pada kesalahan-kesalahannya. Perasaan “dia butuh aku” ini memang seringnya memabukkan dan membuat seseorang jadi kehilangan kemampuan untuk melihat kenyataan.
Orang-orang yang gagal move on biasanya selalu menggunakan sesuatu sebagai alasan (baca: kambing hitam) agar tidak move on. Dalam kasus Mbak, Mbak menggunakan janji-janjinya sebagai alasan untuk tidak move on. Jadi, kalau mau move on, tinggal hapuskan saja alasan-alasan itu. Sesederhana itu. Mbak sendiri bilang, saya kutip,
“Padahal saya tahu, saat ini dia dekat sama orang lain. Dia udah nggak ada rasa sama saya lagi. Tapi, saya tetep keukeuh. Saya menutup mata soal itu.”
Di satu sisi Mbak menutup mata. Mbak bodo amat. Tapi, di sisi lain, saya kutip kembali,
“Saya tersiksa sama sikap saya sendiri.”
Ini sama aja kayak ada orang yang bilang bodo amat saat digodain temen-temennya ketika gebetannya melintas di depan kelas, tapi dalam hati tersiksa dengan kebodo-amatannya. Kalau Mbak beneran bodo amat, Mbak tidak perlu merasa tersiksa. Kalau Mbak merasa tersiksa, ya jangan bodo amat. Hadapi kenyataan bahwa dia udah dekat sama orang lain dan udah nggak punya perasaan sama Mbak. Gimana ngadepinnya? Yha dengan cara move on. Membuka diri pada orang baru dan melupakan dia dan janji-janjinya. Mau move on? Hapuskan alasan-alasan untuk tidak move on.
Segitu aja dari Karjo. Maaf bila saran tidak membantu. Karjo doakan semoga Mbak bisa segera move on dan memulai kisah baru dengan orang baru.
Anda dilanda masalah cinta? Punya problem dengan fenomena panjat sosial? Pusing menghadapi tekanan society? Atau butuh teman diskusi tentang rencana bisnis lele? Karjo, psikolog Mojok yang bukan insan tapi seekor sapi, siap menampung, menjawab, dan memberi pencerahan untuk masalah-masalah Anda. Caranya, silakan kirimkan curhat dan cerita Anda ke redaksi@mojok.co dengan subjek Curhat Mojok. Curhat terpilih akan dijawab dan ditayangkan di Mojok.co.