Setelah peristiwa perselingkuhan Sisca terbongkar dan Rambat urung melampiaskan kemarahnya sebab peluru yang tak cukup jumlahnya, Rambat dan Sisca akhirnya memutuskan untuk pegatan, cerai.
Perpisahan mereka anggap sebagai jalan terbaik demi kebahagiaan masing-masing dan anak-anak mereka. Terlebih setelah Rambat tahu ternyata selama ini Sisca sudah tidak memiliki cinta untuknya. Selama ini satu-satunya yang membuat Sisca bertahan dan berperan seperti tidak ada apa-apa adalah ketiga anak mereka.
Permasalahan berikutnya yang muncul adalah mengenai hak asuh anak. Rambat bersikeras menginginkan ketiga anak mereka hidup bersama Rambat. Rambat juga mengatakan bahwa kapan pun juga Sisca tetap boleh menjenguk atau mengajak mereka jalan-jalan. Lagi pula, Rambat menganggap Sisca tidak becus mengurus anak. Anak-anak sering ditinggal pergi sehingga jarang diawasi.
Sementara itu, jiwa keibuan Sisca tidak bisa dipungkiri. Sisca juga bersikeras ingin merawat ketiga anak mereka. Lha wong selama ini yang membuat bertahan sama Rambat ya anak, kok. Tak pelak, pertengkaran pun pecah kembali.
“Mbat, aku lho yang ngeden melahirkan ketiga anak ini. Bertaruh nyawa.”
“Lho, kamu kira aku selama ini menafkahi kalian juga tidak bertaruh nyawa? Aku bertaruh nyawanya malah hampir setiap hari, lho.”
Pertengkaran mereka tak berujung solusi. Pada akhirnya mereka sama-sama bersepakat akan pasrah dengan hasil keputusan pengadilan nanti perihal hak asuh anak-anak mereka.
Rambat yang khawatir akan kalah di persidangan kembali curhat kepada Kusmiran, teman lama Rambat yang ikut berperan dalam pemecahan kasus perselingkuhan Sisca. Rambat mengajak Kusmiran pergi ke sebuah bar. Biar pun Rambat seorang polisi, tapi kalau hatinya sedang remuk redam begini, bir tetap jadi solusi.
“Aku takut nanti kalah di persidangan dalam memperebutkan hak asuh anak, Kus,” kata Rambat.
“Yah, itu biasa. Wajar.” Jawab Kusmiran mengayem-ayemi kawan lamanya itu.
“Kira-kira nanti aku bisa menang nggak ya?”
“Prediksiku nanti kamu yang menang,” kata Kusmiran pelan sembari menepuk punggung Rambat.
“Yah, semoga begitu,” kata Rambat sambil memainkan gelas di depannya. “Dari mana kamu yakin aku bisa menang?”
“Dari alasan perceraian kalian. Kamu dan Sisca cerai karena Sisca ketahuan selingkuh, itu bukti bahwa dia bukan wanita yang bertanggung jawab, hal tersebut pasti akan menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan hak asuh anak-anakmu.”
Demi mendengar jawaban yang brilian dari Kusmiran, muka Rambat pun cerah. Segala ketakutannya tentang kekalahan di persidangan musnah sudah.
Rambat pulang ke rumah dengan tenang. Tak sabar ia menyambut hari persidangan cerai sekaligus sidang penentuan hak asuh anak minggu depan.
Waktu persidangan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba jua. Di persidangan, Rambat tampil percaya diri, Sisca pun begitu. Mereka berdua sama-sama yakin bakal memperoleh hak asuh anak mereka.
Rambat mendapat kesempatan pertama untuk mengutarakan argumennya dalam mendapatkan hak asuh anak.
“Pak Hakim, saya jelas lebih berhak dan bisa menjamin masa depan anak-anak saya. Pekerjaan saya jelas. Penghasilan saya lebih dari cukup. Lagi pula, istri saya jelas-jelas berselingkuh sehingga rumah tangga kami rusak. Jelas sudah.”
Rambat menutup pembelaannya dengan yakin setelah sebelumnya membaca sekian lembar alasan-alasan lain yang memperkuat agar hak asuh anak ada padanya.
Kini giliran Sisca yang berbicara.
“Pak Hakim, saya nggak mau panjang-panjang. Yang jelas ketiga anak ini adalah anak saya. Mbrojol dari rahim saya. Sekarang coba tanya Si Rambat, apa dia tahu mana yang jelas-jelas anaknya? Saya sendiri saja nggak tahu pasti. Saya heran, Rambat itu kok bisa-bisanya kepedean punya anak dari saya. Lha wong baru disentuh saja sudah ‘bersin’, kok.”
Rambat tercekat. Pak Hakim menahan geli.