Sudah lima bulan terakhir ini Rambat tinggal di kos-kosan Bu Aya. Kos-kosan sepuluh kamar yang menjadi satu dengan rumah Bu Aya.
Kos-kosan yang diberi nama Aya’s Kost ini sejatinya diperuntukkan untuk karyawan, tapi pada kenyataannya, isinya campur. Ada mahasiswa, ada karyawan, ada juga pengangguran tidak nyata. Rambat salah satunya.
Di perantauan Rambat memang kerja serabutan. Sebentar ngojek, sebentar tidak. Dulu Rambat satpam di salah satu tempat karaoke yang cukup tenar, tapi tempat karaoke itu kemudian tutup tanpa sebab yang jelas, konon karena pecah kongsi.
Selepas tempat kerjanya tutup, Rambat beralih menjadi tukang ojek pangkalan. Awalnya pekerjaan itu cukup menjanjikan, tetapi seiring dengan makin maraknya ojek online berbasis aplikasi, orderan ojek mangkal tempat Rambat biasanya narik mulai sepi. Alhasil, Rambat kini lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kos dan hanya menerima orderan jasa jika ada permintaan melalui telepon atau SMS.
***
Bu Aya selaku ibu kos yang teliti selalu memperhatikan gerak-gerik penghuni kosnya. Tak terkecuali Rambat.
Bu Aya selalu penasaran dengan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Rambat, serta dari mana ia memperoleh uang. Maklum, di antara sekian orang yang ngekos di tempat Bu Aya, Rambat termasuk yang hampir tidak pernah menunggak. Ia selalu membayar tepat waktu, bahkan beberapa kali membayar sebelum tanggal yang ditentukan.
Kerja hanya kadang-kadang, muka pas-pasan, motor butut memprihatinkan, makan pun sering ngutang. Tapi, uang kos Rambat tidak pernah nunggak. Padahal, penghuni kos lain macam Wanto yang pekerjaannya lebih mapan karena ngantor pun masih sempat-sempatnya nunggak dua bulan.
Merasa penasaran dan khawatir penghuni kosnya mengerjakan hal yang bukan-bukan atau yang melanggar hukum, Bu Aya mulai memata-matai tindak tanduk Rambat. Tidak sulit memata-matai makhluk dekil ini karena bukan cuma wajahnya yang datar, hidupnya juga.
Selama memantau dari minggu ke minggu, Bu Aya tidak menemukan sesuatu yang janggal. Rambat tidak pernah kedatangan tamu, tidak pernah dikunjungi orang asing, dan tak sekali pun ada yang menanyakan tentang dirinya kepada Bu Aya. Rambat tidak terlihat seperti pedagang online yang selalu sibuk membungkus paket-paket, tidak ada aktivitas berisik dari kamarnya, tidak ada sampah-sampah berlebihan sebagai barang bukti jika dia mengerjakan sesuatu tanpa diketahui siapa pun. Kalau ada yang berisik baik siang atau malam, itu hanyalah bunyi dengkur Rambat yang memang terdengar seperti pawai parpol di jalanan.
Bu Aya hampir menyerah menemukan jawaban bagaimana Rambat membayar uang kos tepat waktu hingga suatu ketika, waktu-waktu setelah Isya, Rambat menghampiri Bu Aya yang berlagak leyeh-leyeh di teras tapi sebenarnya sedang mengamati penghuni kos.
“Wah, Nak Rambat. Sehat-sehat, kan?” tanya Bu Aya dengan ramah.
“Sehat, Bu Aya. Ini saya mau membayar uang kos tiga bulan sekaligus, Bu,” kata Rambat.
Bu Aya melotot matanya antara surprise dan senang. Bu Aya masih melongo saat Rambat membuka dompet dan mengeluarkan lembaran-lembaran seratus ribuan yang berjejal.
“Wah, nampaknya lagi banyak rezeki, Nak Rambat ini,” pancing Bu Aya.
“Alhamdulillah, Bu. Ada aja mah kalau kita bersabar dan berusaha,” sahut Rambat dengan rendah hati.
Merasa mendapat kesempatan bertanya, Bu Aya tidak menyia-nyiakan momen ini.
“Usaha apa sih Nak Rambat sekarang ini? Ibu lihat ngojek udah jarang-jarang juga, kan? Sudah banyak saingan sekarang ya kalau ngojek?”
“Betul, Bu. Saya ngojek kalau ada langganan nelponin aja mah. Sudah tidak lagi seharian di pangkalan, lama nongkrong tapi ga ada tarikan, Bu. Tekor,” sahut Rambat.
“Jadi, usaha apa sekarang Nak Rambat ini?” kejar Bu Aya.
“Sementara saya nunggu kiriman saja dulu, Bu Aya. Mudah-mudahan nanti cukup modal, saya mau buka servis HP dan barang-barang elektronik. Ini ada rezeki saya bayarkan kos saja dulu biar saya tenang dan Bu Aya juga senang,” kata Rambat.
“Ah, Nak Rambat mah tidak pernah nunggak. Penghuni kos Ibu paling teladan. Apa lagi ini bayarnya tiga bulan,” Bu Aya merasa tersindir juga telah memata-matai Rambat selama ini. Ternyata Rambat dapat kiriman, tidak melakukan hal yang bukan-bukan. Tapi, kiriman dari mana ya? Dari kampung? Bu Aya ingin bertanya lagi tapi Rambat telah buru-buru pamit.
Malam itu Bu Aya menceritakan kepada suaminya perihal Rambat.
“Rambat banyak banget duitnya, Pah. Tadi sore tuh bayar kosnya tiga bulan sekaligus,” kata Bu Aya sambil dikerok Pak Burhan, suaminya.
“Wah, tembus lotere apa ya, Mah?” tanya Pak Burhan penasaran.
“Iiih, Papah nggak boleh suudzon gitu. Selama ini Rambat itu tampangnya aja yang susah, anak orang kaya kayaknya di kampung. Tadi siang bilang dia dikirimin duit, malah sekalian buat modal buka konter servis HP,” jelas Bu Aya.
“Masa iya, Mah? Nggak nyangka yah, Mah …. “
“Makanya, Pah, nggak boleh suudzon sama orang, terutama sama mukanya,” timpal Bu Aya. Pak Burhan manggut-manggut setuju dengan pendapat istrinya.
“Jangan lupa, Mah, itu uang disimpan baik-baik. Jangan sampai hilang diambil tuyul lagi, lho,” kata Pak Burhan. Bu Aya segera tersadar. Belakangan ini memang uangnya kerap hilang tanpa jejak yang jelas. Itu terjadi sudah sejak empat bulan terakhir.
***
Malam itu Bu Aya tidurnya agak cepat, mungkin hatinya senang dapat duit lumayan dari Rambat dan kerokan suaminya memang mantap. Melihat istrinya telah pulas, Pak Burhan membuka lemari pakaian dan membongkar-bongkar lipatan pakaian. Sesekali Bu Aya mengigau sehingga Pak Burhan harus berhati-hati supaya tidak berisik. Dia khawatir, Bu Aya terganggu tidurnya. Kasihan istrinya, telah letih seharian bekerja sebagai induk semang kos-kosan dan memantau penghuninya yang macam-macam kelakuannya.
Tak lama kemudian Pak Burhan keluar kamar. Gerakannya mengendap-endap menuju dapur. Sambil celingukan kiri kanan, setelah merasa aman Pak Burhan masuk kamar mandi lalu naik ke bak yang di atasnya ada celah. Lewat celah itu Pak Burhan menaruh pelan-pelan sebuah amplop di sela-sela genteng kamar mandi. Setelah yakin amplop itu aman, Pak Burhan segera turun dari bak dan pura-pura menyiram air di kamar mandi seolah-olah baru buang hajat.
Setelah merasa agak aman, barulah Pak Burhan keluar kamar mandi. Sambil pura-pura mengelus-elus perut selepas buang hajat, Pak Burhan kembali masuk kamar dan berbaring di sebelah Bu Aya.
“Ngapain sih, Pah? Malam-malam beol lagi ya?” tanya Bu Aya setengah mengantuk.
“Sakit perut, Mah. Kebanyakan sambel kayaknya tadi,” jawab Pak Burhan menyembunyikan hal yang sebenarnya.
“Kan sudah Mamah bilang, kalau makan sambel pikirin juga harga cabenya, Pah.”
“Iyah, Mah … iya …,” jawab Pak Burhan yang kemudian terlelap dalam tidurnya.
Sementara Bu Aya dan Pak Burhan tidur, di tempat lain Rambat berjalan perlahan menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Rambat memanjat dengan bantuan kursi, menarik ujung amplop yang tersembul di celah langit-langit kamar mandi. Hati-hati Rambat membuka amplop tersebut. Di dalamnya terdapat tujuh lembar seratus ribuan. Rambat mengambil tiga lembar. Sisanya yang empat lembar lagi dia masukkan seperti semula dan kembali ditaruh di tempat yang sama tanpa perubahan posisi.
Rambat turun dengan hati-hati dan menaruh kursi di tempat semula, merapikan meja dan memasukkan uang tiga ratus ribu ke dompetnya, bersiul-siul pelan, lalu berjalan kembali ke kamarnya.
Di kamar, Rambat berbaring dengan santai sambil memikirkan, manusia mana yang begitu goblok menaruh duit di dalam amplop dan menaruhnya di sela genteng kamar mandi dua minggu sekali?
***
Pagi harinya, Mbak Ningsih, salah satu penghuni kos-kosan Bu Aya yang bekerja sebagai SPG produk daleman tampak semringah di kamarnya. Ia berdandan dengan sangat telaten dan cermat. Hasilnya tak mengecewakan, wajahnya tampak lebih cantik, selaras dengan lekuk tubuhnya yang montok dan mengembirakan mata setiap lelaki.
Begitu selesai berdandan, ia segera berkemas dan bersiap berangkat kerja.
Dengan langkah yang dibikin sekemayu mungkin, Mbak Ningsih melewati Pak Burhan yang sedang mencuci motor. Sambil lalu, Mbak Ningsih membisiki Pak Burhan, “Mas, semalam aku sudah ambil amplopnya. Makasih ya. Nanti malam kalau mau minta jatah, langsung ke kamar saja.”
Pak Burhan pura-pura tidak mengubris. Ia hanya berdehem keras seolah keselek gorengan.
***
Sementara itu, di tempat lain, lebih tepatnya di kamar Bu Aya, terdengar suara yang begitu nyaring dan memilukan.
“Pakneeee, uang semalam dimaling tuyul lagiii ….”