(Tidak) Sedang Jatuh Cinta di Bukit Bintang

Baca cerita sebelumnya di sini.

Nyaris setiap malam, sebelum tidur, aku selalu berusaha meyakinkan diri: kita bakal lebih kekal dari yang kita duga. Orang-orang mungkin menyebutnya abadi atau semacam itu. Abadi versi manusia kadang membingungkan, ya, sebab abadi mereka cuma berlaku sampai mereka mati.

Setelahnya, seperti yang sudah-sudah, aku menangis sendirian dan kurasakan lubang ini malah makin menganga. Kenyataannya, kita tak lebih kekal dari yang kita duga. Meski kamu bakalan menyangkalnya habis-habisan, kukira kamu pun merasakan hal yang sama.

Barangkali, kita terjebak pada situasi yang keliru, sebagaimana yang mungkin dirasakan semua orang. Bagaimana jika kita tidak bahagia—atau setidaknya memiliki perasaan puas dengan keadaan kita, jika bahagia terdengar berlebihan?

Tidak, tidak! Kita akan bahagia: saban sore, kita duduk di beranda sembari minum teh, berbalut selimut tebal coklat tua, dan memandang hujan turun. Matahari diam-diam terbenam. Kita masuk ke rumah bersama perasaan hangat seperti kasih Bapa yang mengulurkan tangan.

Namun, bagaimana jika kita tidak bahagia—atau setidaknya memiliki perasaan puas dengan keadaan kita, jika bahagia terdengar berlebihan? Barangkali, kita terjebak pada situasi yang keliru.

Kamu masih ingat, tidak, sebaris puisi yang sangat kita sukai? Szymborska bilang, “Ketika kuucapkan masa depan, suku katanya yang pertama telah jadi milik masa silam.”

Kamu tahu, aku mencintaimu.

Dan ketika kukatakan aku mencintaimu, kukira saat itulah aku tak mencintaimu lagi.

P.S. Jangan berpikiran yang bukan-bukan, ya. Aku mohon. Kukira kamu dan aku sama-sama menyadari bahwa lambat laun kita akan berakhir seperti ini. Kunci kutaruh di tempat biasa. Kamu boleh menggantinya kapan pun kamu ingin. Oh ya, buku “Lonceng Kapel” punya siapa, sih? Aku sudah lupa siapa yang beli. Kubawa, yaa….

Bahagia selalu,

Istrimu.

***

Kalis, tokoh perempuan kita, buru-buru menyelipkan selembar surat itu ke balik lembaran buku ketika laki-laki itu melintas di hadapannya. Anjing betul!, umpatnya dalam hati. Tak jelas maksud umpatannya buat siapa. Ia memperbaiki posisi duduk dan pura-pura lanjut membaca.

Tokoh lelaki kita baru selesai mandi. Ia kini berdiri di depan lemari, mematut-matut pakaian agak lama seolah ia akan mengambil keputusan yang sulit. Aroma sabun menguar di ruangan. Mirip harum getah kayu atau malah aroma gula kapas (?), pikir tokoh perempuan kita ragu.

Tak lama kemudian, ia meletakkan buku di atas meja kopi. “Boleh pinjam handuk?” tanyanya.

Tokoh lelaki kita membalikkan badan, menarik handuk yang ia kalungkan di leher, dan melemparkannya pelan ke arah Kalis. Tokoh perempuan kita berhasil menangkapnya, terasa lembab di tangannya. Ia  mengibaskan handuk, kemudian bersin dua kali.

Sembari menunggu tokoh perempuan kita selesai mandi, tokoh lelaki kita melangkah menuju turn table, memutar piringan hitam, lalu mulai membereskan kamar: merapikan seprai, mengosongkan asbak, menyusun kardus sepatu agar enak dipandang—meski dari sudut mana pun kau memandangnya, tak ada satu pun bagian yang enak dipandang dari kardus sepatu—dan melakukan hal lain yang biasa yang dilakukan orang yang sedang membereskan kamar. Katakanlah seperti itu.

Debu halus meruap di ruangan. Charlie Parker mengeong di bibir jendela, kemudian melompat. Tokoh figuran kita ini lantas mengusap-usapkan badannya di sekitaran kaki tuannya. Tokoh lelaki kita membungkuk, membelai kepala Charlie Parker lembut, lalu mengambil makanan kucing dekat pintu. Sementara itu, Charles Aznavour menyanyikan lirik terakhir lagunya: La bohème, la bohème… Ça voulait dire Tu es jolie. La bohème, la bohème. Et nous…

***

Jika sore itu kau tengah berdiri di atap gedung bioskop lama yang letaknya persis di belakang pasar ikan, luangkanlah sedikit waktumu buat mengedarkan pandangan dan lihatlah kota kecil itu dari sana.

Bila kau seorang yang sentimental, katakanlah tipe orang yang mudah tersentuh hanya karena melihat nenek-nenek menyeberang jalan, kau bakal menangis melihat bagaimana kota kecil itu tampak seperti bangkai kapal raksasa, tak terurus. Andai kau penyair, kau akan mendapati keindahan di tengah kekacauan, lalu lahirlah puisi yang layak buat dibaca. Jika kau seorang yang apatis, kau hanya ingin menuntaskan kencingmu, lalu cepat-cepat pergi dari sana, dan tentu saja, tak ada seorang pun yang akan mencintaimu.

Tapi kau tak usah banyak tingkah. Cukup pandangi saja dan kau akan melihat barisan bukit yang mengepung kota kecil itu, orang-orang yang berjalan malas dan tampak tak tertarik pada apa pun di sekeliling mereka, deretan motor dan mobil yang terparkir di depan gedung-gedung tak terpakai, untaian kabel-kabel yang membuat kota kecil itu seolah terhubung satu sama lain, sampah dan gerumbul rumput liar yang tumbuh di sembarang tempat, hingga rupa pemandangan yang membuatmu berpikir tak ada tempat yang lebih buruk dan lebih indah dari semua itu.

Sekarang, fokuskan pandanganmu ke arah trotoar di sepanjang Jalan Setali Tiga Uang, lebih bagus lagi jika kau punya teropong. Kau akan menemukan tokoh utama dalam cerita kita: seorang laki-laki plontos, mengenakan kaus hitam bergambar kaver album The Dark Side of the Moon-nya Pink Floyd, sedang mendorong seorang perempuan di atas kursi roda. Perempuan itu mengenakan piyama biru gelap bercorak bintang-bintang, dan kalau kau sedang beruntung, kau bisa melihat lesung pipi perempuan itu ketika ia tersenyum.

Lantas kau berpikir hidup memang tak pernah adil bagi siapa pun. Kenapa perempuan secantik itu ditakdirkan untuk lumpuh?

Kau keliru, Amigo. Dia tidak lumpuh sama sekali.

***

Motor butut tokoh lelaki kita terlalu banyak berperangai. Tangki minyaknya kering. Tokoh utama dalam cerita kita kemudian memutuskan untuk berjalan kaki. Lima menit berjalan, tokoh lelaki kita berhenti di samping sebuah ruko, atau dulunya begitu. Tempat itu sekarang sudah dialihfungsikan sebagai tempat berkumpul para bergajul kota itu. Pada malam hari, mereka mabuk lem sambil bikin api unggun, sedangkan siangnya dihabiskan buat mencatat nomor togel pada kertas yang ditempel di dinding ruangan.

“Ada apa?” tanya tokoh perempuan kita.

“Lihat kursi roda itu, nggak?” ucap tokoh lelaki kita menunjuk ke salah satu sudut ruko. “Kurasa sudah ada di sana semenjak zaman Raja Hammurabi. Kursi roda itu akan jadi taksi pribadimu hari ini.”

“Gila kau, ya?” teriak tokoh perempuan kita meski dalam hati ia tertarik dengan ide gila tersebut.

Tokoh lelaki kita terkekeh, lantas masuk ke ruko sambil membungkuk. Rolling door-nya setengah terbuka dan akan tetap seperti itu sampai kapan pun. Ia keluar bersama kursi roda, membersihkan debunya dengan telapak tangan. Ia lalu menyilakan tokoh perempuan kita duduk sambil membungkuk, merentangkan tangan kanan ke samping, sementara tangan satunya lagi berada di belakang pinggang. Kalis, tokoh perempuan kita, menangkupkan kedua belah tangannya ke dada lalu duduk di atas kursi roda.

“Nggak malu, kan?” tanya tokoh lelaki kita tak lama kemudian.

“Masa bodoh tai kucinglah pokoknya,” jawab tokoh perempuan kita tertawa, terombang-ambing di atas kursi roda. “Eh, aku sama sekali belum mengucapkan terima kasih kepadamu—maksudku benar-benar berterima kasih,” Ia menoleh ke belakang. Tokoh lelaki kita tak menjawab sambil tetap mendorong. “Makasih, ya. Tahu nggak? Aku baru saja ulang tahun tanggal empat belas kemarin. Jadi kuanggap ini kado ulang tahunku,” ujar tokoh perempuan kita tulus.

“Ini yang mana?”

“Kursi roda ini dan semua hal yang sudah kau lakukan untukku.”

***

Tokoh utama kita sampai di puncak Bukit Bintang sebelum jam lima. Sebelumnya mereka membeli camilan dan dua botol air mineral ukuran 330 ml di sebuah warung di kaki bukit agar bisa menitipkan kursi roda tanpa terlihat menjengkelkan. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki, mendaki tanjakan yang landai dan berputar untuk sampai di puncak, dan mereka tampak tidak tergesa-gesa.

Dari puncak Bukit Bintang, kota kecil itu tampak menyala disiram sinar senja keemasan. Langit cerah tanpa awan dan kerlip cahaya yang dipantulkan kaca bangunan serta angin senja yang menyapu wajahmu membuat kau berpikir jika dunia akan baik-baik saja dan, pada momen-momen tertentu, membuat kau serasa kepengin menangis. Tokoh utama dalam cerita kita duduk bersebelahan di atas rumput sambil menjulurkan kaki.

“Kau tahu, bagaimanapun keadaannya, aku selalu mencintai kota ini,” ucap tokoh lelaki kita.

Tokoh perempuan kita memperbaiki rambut yang jatuh di dahinya.“Kau lihat lahan kosong itu?” ucapnya mengarahkan telunjuknya jauh ke satu titik. “Kalau aku mati, aku bakalan ditanam di sana. Tanah itu milik keluargaku. Tidak buruk-buruk amat, kan? Setidaknya dari atas sini, kuburanku bakalan terlihat indah saat terkena cahaya matahari.”

Tokoh lelaki kita mengeluarkan selinting mariyuana dari lipatan dompet dan menyalakannya. “Kalau aku, aku kepengin dikubur di halaman belakang rumah. Maksudnya, bukan tempatku yang sekarang,” ucapnya mengembuskan asap tipis. “Nanti, kalau aku sudah punya rumah sendiri dan ada kebun kecilnya. Yang pasti, aku tak bakal bikin rumah di sini meski aku mencintai kota bangsat ini sampai mati.” Ia lalu menyerahkan lintingan itu ke tokoh perempuan kita.

“Ceritakan padaku tentang istrimu,” ujar tokoh perempuan kita datar, kemudian menghirup mariyuana. Ia batuk-terbatuk, memaki, lalu kembali menyerahkan lintingan itu pada tokoh lelaki kita.

“Kurasa itu bukan hal yang penting. Diceritakan atau tidak, tidak akan membuatnya kembali padaku.”

“Eh benar, ya, dari sini bintang terlihat lebih dekat?” tanya tokoh perempuan kita, mengalihkan pembicaraan.

“Aku juga baru pertama kali ke sini,” aku tokoh lelaki kita tertawa. Tokoh perempuan kita mendorong bahu lelaki itu lemah. “Sebaiknya kita tunggu saja.”

Mereka, tokoh utama dalam cerita kita, kemudian tak berkata-kata. Lalu, semuanya berangsur gelap dan lampu-lampu di bawah sana tampak seolah serentak dinyalakan.

Andai kau berada di sana saat itu, cobalah untuk memutar lagu “Till There Was You” dari The Beatles dalam kepalamu. Setelah itu, lihatlah mereka yang sedang duduk memunggungimu, tak jauh dari tempat kau berada, dalam gerak lambat dan pandangan hitam putih seperti film Manhattan-nya Woody Allen.

Barangkali kau bakalan berpikir mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.

Namun, kau keliru, Amigo.

Tokoh utama dalam cerita kita ini harusnya sadar dari semula bahwa jalan hidup adalah sebuah kepastian: simpang antara ilusi tentang kebahagiaan dan rentetan cerita sedih yang kelewat tak tertanggungkan.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version