Larasati mengurungkan langkahnya. Satu kakinya melayang di udara. Jemari kanannya juga membeku di tepian tirai pintu kamar. Ia mematung dan berusaha untuk tidak terlihat oleh Gayatri, ibunya, yang berdiri di tepi meja, sedang mengaduk segelas kopi.
Setelah ibunya berlalu membawa kopi ke depan, ia baru melanjutkan langkah keluar kamar. Bergegas ia memakai sepatu, menyambar botol air dan kunci kontak motor di kapstok dekat kulkas.
“Laras berangkat dulu, Bu, Pak,” ucapnya sambil menggamit tangan ibu bapaknya satu per satu.
“Kalau sudah gajian, tagihan listrik tolong dibayar, Ras. Adikmu juga, tuh, harus bayar buku sekolah,” ucap Gayatri.
Gadis gempal itu tak menjawab. Ia buru-buru menuntun motor keluar teras, dan langsung tancap gas berlalu. Motornya segera bergabung dengan lautan kendaraan menuju kawasan industri.
***
Hari ini Larasati kerja tanpa jiwa. Kepalanya penuh terisi gumpalan tanya atas apa yang ia saksikan tadi pagi. Dadanya gemuruh oleh perasaan, entah apa.
Ketika hendak keluar dari kamar, ia menyaksikan Gayatri meludah di gelas kopi yang sedang dibuatnya untuk suaminya. Larasati tidak salah lihat. Ibunya memang benar-benar meludah, bukan menyeruput mencicipi kopi atau meniup semut yang ikut masuk bersama gula. Ia melihat busa ludah ibunya jatuh ke serbuk kopi dalam gelas, kemudian Gayatri menyeduhnya dan mengaduk dengan sangat normal, sebagaimana orang membuat kopi. Ludah itu larut dan hilang.
Sepanjang hidupnya, Larasati memang kesulitan menemukan cerita indah tentang hubungan orang tua dan anak. Bapak dan ibunya adalah tipikal orang tua seadanya: sepasang lelaki dan perempuan yang menikah dan beranak saja. Kebutuhan Larasati dan adiknya dipenuhi sekenanya. Mungkin, orang tuanya menganggap beranak sama saja seperti menanam benih pohon sengon: tancap, lalu biarkan saja beberapa tahun, nanti juga akan membesar sendiri dan bisa dipanen.
Tapi, sehancur apa pun Gayatri sebagai ibu, Larasati tak pernah menyaksikan kejadian sebrutal pagi itu. Gayatri tidak kasar, meski mulutnya jarang mengeluarkan pujian atau kata-kata penuh cinta. Ia tak pernah menyakiti fisik anaknya. Bahkan menyentuhnya pun sangat jarang. Larasati dan adiknya mau salim dan cium tangan karena guru mereka mengajarkan begitu. Dan boleh jadi, dalam sehari, salim itulah persinggungan fisik satu-satunya di antara mereka.
Perlakuan Gayatri pada anaknya berbeda dengan perlakuannya pada suaminya. Pada lelaki pengangguran itu, Gayatri masih mau melayani membuatkan kopi atau mencucikan baju. Mereka juga masih sering duduk berdua dan berbincang, meski ujung-unjungnya sering kali bertengkar mulut. Hanya sebatas itu. Mereka tidak pernah saling melukai fisik atau mencelakakan.
Lalu mengapa Gayatri meludahi kopi suaminya? Yang Larasati lihat, ia melakukan itu dengan sangat santai. Tak ada amarah atau ketakutan tergambar di wajahnya. Ia meludah dan mengaduknya seolah memang begitulah cara membuat kopi yang enak.
Larasati bergidik sendiri membayangkan bapaknya minum kopi berludah.
“Ras, kamu kenapa? Seharian kok murung saja. Ayo ke kantin,” ajak Nurin, kawan kerja Larasati.
Larasati mengangguk, membereskan kertas dan plastik di depannya, lalu berjalan mengikuti Nurin. Sambil berjalan, ia melepas apron dan topi yang meringkas rambutnya. Di ujung pintu, ia cantolkan apron dan topi itu berjajar dengan ratusan yang lainnya.
Kantin pabrik pengemasan makanan itu luas dan terbuka. Kursi-kursi panjang berjajar menghadap kayu yang ditempelkan ke dinding sebagai meja. Di tengah ruangan luas itu, kursi plastik berkerumun mengelilingi meja yang panjang-panjang juga. Ratusan orang biasa makan dalam waktu bersamaan di ruangan itu.
Larasati dan Nurin larut dalam keriuhan para buruh yang sedang istirahat makan siang. Mereka memesan makanan paling murah, lalu mencari bangku paling sudut untuk duduk dan mengusir lapar.
“Rin, aku butuh uang,” ucap Larasati membuka percakapan.
“Kapan, sih, kamu tak butuh uang? Gajian sebentar lagi. Sabar saja, lah,” sahut Nurin sambil menyuapkan makanannya.
“Aku butuh uang yang banyak. Bosan rasanya kerja memburuh begini. Capek, gaji kecil. Aku mau buka usaha saja.”
“Basi!”
“Aku pengin pergi ke mana, gitu. Pokoknya nggak usah di kota ini lagi. Ke luar Jawa pun oke.”
“Kamu kesambet?”
“Orang mau maju, kok, dibilang kesambet.”
“Ya, habisnya tiba-tiba begitu. Biasanya paling kamu kalau bete cuma ngajak jalan, nonton, jajan. Lha ini kok ngajak minggat.”
“Nggak ngajakin kamu, ih…. Aku mau pergi sendiri saja, merintis hidup yang lebih baik di tempat baru. Makanya aku butuh uang banyak buat memulai itu semua.”
Nurin berhenti makan, lalu meletakkan punggung tangannya ke dahi Larasati.
“Normal, kok. Tapi kok mikirnya aneh, ya?” Nurin masih berusaha bercanda.
“Kupikir, aku benar-benar perlu lingkungan baru supaya tidak jadi gila,” Larasati serius.
Nurin selesai makan. Ia beranjak ke wastafel terdekat untuk mencuci tangan, lalu kembali lagi duduk di samping Larasati yang masih mengaduk-aduk makanannya tanpa selera.
“Mau duit banyak dan cepat?” tanya Nurin.
“Hmm…” Larasati hanya bergumam.
“Cari sugar daddy!”
Larasati tersedak makanan yang sedang berusaha ditelannya. Ia terbatuk-batuk kecil. Wajahnya merah menahan kejut di kerongkongan dan dadanya. Nurin terkekeh sambil menyodorkan minuman ke arahnya.
“Hehehe. Ya, mau bagaimana lagi. Kamu, tuh, aneh-aneh saja, sih…,” ucapnya sambil mengusap-usap punggung Larasati yang masih berusaha meredakan batuknya.
Setelah napas Larasati kembali normal, mereka berdua beranjak dari kantin untuk kembali ke ruangan pabrik. Sambil jalan pelan-pelan, Larasati menengok ke sisi kiri, mencari bayangan tubuhnya di kaca jendela panjang ruangan kantor yang dilewatinya.
Ia terkekeh menyaksikan tubuh gempalnya sendiri. Saran Nurin yang terakhir adalah hal yang sangat menggelikan. Ia merasa buruk rupa. Tak pernah terbayangkan dirinya menjadi sugar baby dan menjalani kehidupan semacam itu.
“Kamu kalau kasih saran, tuh, yang masuk akal. Masa iya disuruh cari sugar daddy. Potongan macam aku mana mungkin diingini para daddy itu untuk menjadi baby. Satu-satunya kemungkinan orang macam aku didekati mereka adalah jika hendak dijadikan tumbal pesugihan. Hahaha…,” Larasati terkekeh.
***
Rumah Larasati makin dingin. Tak ada percakapan antar penghuninya. Gayatri sibuk sendiri melipat-lipat baju gamis dan kerudung yang masih baru. Perempuan itu biasa menjualkan apa saja dari dan untuk siapa saja. Sehari-hari, ia bepergian bersama ibu-ibu lainya, saling bertukar barang dagangan.
Kebanyakan barang dagangan Gayatri bukanlah miliknya. Ia hanya mengambil dagangan orang dan mencari selisih harga jual untuk keuntungan dirinya. Kepintarannya bicara dan bergaul memudahkannya mencari uang dengan cara seperti itu.
Suami Gayatri pun serupa. Lelaki itu tak punya pekerjaan. Ia hanya senang ikut orang yang mau dipuji-puji dan dipanggilnya dengan sebutan “Bos” ke sana ke mari, meminta uang rokok dan uang dengar dari bisnis orang lain.
Dengan cara seperti itulah, dua orang tersebut membangun rumah tangganya.
Ketika Larasati sekolah dulu, tak terhitung berapa kali ia menunggak iuran dan berbagai biaya. Biasanya Gayatri akan meminjam uang pada adik atau kakaknya untuk biaya sekolah Larasati. Sebuah pinjaman yang tak pernah ia kembalikan.
Kejadian berulang saat adik Larasati sekolah. Pinjam sana-sini untuk biaya dan mengembalikannya suka-suka. Beruntung, Larasati langsung bisa bekerja selepas SMK, walaupun hanya sebagai buruh di pabrik makanan, sehingga ia bisa menutup sebagian kebutuhan adiknya. Lagi pula, Gayatri sudah makin sulit mencari pinjaman karena reputasinya.
Pagi-pagi sebelumnya, Larasati selalu tak acuh pada kegiatan penghuni rumah yang lain. Ia akan menyiapkan semua kebutuhannya sendiri tanpa peduli apa yang ibu, bapak, atau adiknya lakukan. Tapi pagi ini ia terdorong untuk memperhatikan lagi saat ibunya membuat kopi untuk bapaknya.
Dan tepat seperti apa yang ia duga, kali ini ia menyaksikan kembali apa yang terjadi di pagi sebelumnya. Meski itu bukan kejutan, dada gadis itu tetap bergemuruh. Larasati melihat lagi Gayatri meludahi kopi dalam gelas sebelum ia menyeduh dan mengaduknya. Kopi itu ia bawa ke depan untuk suaminya.
Baca cerita berikutnya di sini.