Curahan Hati Juwita Selepas Hujan Pentol

Baca cerita sebelumnya di sini.

Hujan turun di awal tahun di Singagaluh. Hujan air, saya tegaskan. Hujan yang biasa saja. Tidak mengandung saus kacang yang kental, tidak pula mengandung butiran pentol yang kenyal dan lengket. Tapi seperti biasa, satu perbedaan selalu lebih mudah diingat daripada ratusan persamaan yang telah berlalu. Sekarang Singagaluh menjadi tersohor. Meski sisa-sisa pentol sudah dibersihkan dari atas atap rumah penduduk dan dari selokan yang sempat mampat, akhirnya Singagaluh dikenang sebagai desa wisata pentol. Di balik kekacauan bencana, selalu ada hikmah yang tersimpan, begitu kata Pak Bupati Macomblang di dalam sambutannya ketika meresmikan monumen pentol di depan gapura “Selamat Datang, Anda Tiba di Desa Wisata Kuliner Pentol Singagaluh”.

Mungkin hidup memang terasa begitu cepat berubah tanpa disangka-sangka. Dalam satu malam, Singagaluh yang adem-ayem dengan para penduduknya yang begitu-begitu saja langsung belajar menghadapi lusinan wartawan yang menyerbu rumah-rumah mereka, menanyakan dengan pertanyaan yang terus diulang: Bagaimana hujan pentol itu bisa terjadi? Apa yang tengah Anda lakukan saat hujan pentol itu turun? Apa Anda sudah mendapat firasat sebelumnya mengenai bencana ini?

Pemkab Macomblang tidak tinggal diam. Setelah terpaksa mengundang Fia Fallen untuk mengadakan konser malam tahun baru di Lapangan Singagaluh, Pak Bupati yang diam-diam berhitung untung-rugi atas segala pengeluaran tak terduga dari pos APBD berpikir bahwa hujan pentol ini dapat dimanfaatkan sebagai sebuah ikon wisata yang mutakhir. Belakangan ia memang sedang membentuk tim khusus untuk merancang strategi pariwisata demi Macomblang yang lebih kompetitif di era persaingan bebas Asia Bersinar. Itulah mengapa dengan cekatan, Pak Bupati menyulap Singagaluh menjadi desa wisata kuliner. Beliau memberdayakan para ibu-ibu fatayat dan muslimat dan hidayat untuk membuat inovasi menu pentol yang baru, seperti Pentol Ra Tahan, Pentol Galak, Pentol Ximplah-Ximplah, dsb. Kalau penasaran bagaimana rasanya, tanya narator sebelah.

Dua puluh satu korban hujan pentol yang saat peristiwa terjadi terserang wabah melamun massal sekarang menjadi begitu bergairah dalam menjalani hidup. Mereka seperti para penghuni gua yang baru bangun tidur setelah sekian tahun lamanya. Mereka bersukacita menyambut program Pak Bupati menuju Macomblang yang lebih bersinar dengan menjadi relawan sadar wisata kuliner. Caranya cukup atraktif: mereka membangun sebuah paduan suara dan menyanyikan lagu dangdut koplo, mengiringi para penikmat jajanan pentol yang mampir ke Singagaluh.

Namun, yang tak diketahui banyak orang adalah perasaan mereka yang tak pernah sama lagi terhadap orang-orang yang pernah dicintai. Ulid, salah satu korban hujan pentol yang sebelumnya begitu merana karena melihat Juwita bermesraan dengan Fajar di tempat jemuran sekarang bahkan lupa ia pernah mencintai teman sekolahnya dengan teramat dalam.

“Hujan pentol membuatku patah hati, Nah,” sambat Juwita sambil mengupas mangga muda di teras depan rumah rekan petan-nya sejak masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Qanaah hanya mengangguk sambil membatin, sampai kapan ia menutupi rahasia hatinya pada sahabat perempuannya itu bahwa selama ini ia mencintai lelaki yang mencintai sahabatnya dan ia terpaksa menikah dengan teman lelaki yang lain hanya karena tidak sanggup melihat lelaki yang dicintainya menolak cintanya. Aduh, rumit, ya. Bisa tidak disederhanakan dengan lirik dangdut?

“Aku seharusnya belajar banyak darimu. Tetap tabah ditinggalkan suami yang meninggal mendadak saat main biliar. Tapi setelah Ulid siuman dari wabah melamun massal dan mengira aku adalah salah satu penagih hutang yang datang ke rumahnya—padahal, sungguh aku mencemaskan kesehatannya—saat itulah aku tahu bahwa kami sudah tak punya lagi perasaan yang sama. Duniaku rasanya runtuh.”

“Lantas Fajar bagaimana?”

“Dia sibuk mengurusi wartawan dan kepolisian yang akan membongkar kubur mertuaku.”

“Fajar sama sekali tidak berarti buatmu? Toh, meski Ulid masih punya perasaan yang sama padamu sampai sekarang, apa bedanya? Kamu sudah menjadi istri Fajar.”

“Fajar hendak menikahi Istiqomah. Aku hendak dimadu.”

Qanaah terhenyak. “Istiqomah… Istiqomah Sativa maksudmu?”

“Ya. Biduanita ingusan itu membuat Fajar kepincut. Mereka gendaan di belakangku selama ini.”

“Brengsek betul!”

“Ketika anak ingusan itu manggung di sini, berjarak sangat dekat dari penglihatanku, rasanya pengin kujambak kencang rambutnya hingga ia terjatuh dari atas panggung. Aku puas sekali melihatnya menjadi korban hujan pentol. Aku ngakak melihatnya menyanyikan lagu Oma Irama tanpa henti dan megol-megol nggak keruan di atas kursi plastik.”

“Tapi kamu sedih kan melihat Ulid cuma bisa mangap dengan mata kosong memandang langit?”

“Ya.  Aku mbribis mili saat itu.”

Aku juga, Ju…  Aku diam-diam juga menangis mendengar Ulid menjadi korban hujan pentol, batin Qanaah. Tapi ia tetap memasang air muka datar, seolah tidak tersentuh mendengar curhatan sahabatnya.

“Lalu kamu menerima rencana Fajar menikahi Istiqomah?”

“Tentu saja tidak! Mendengar rencana itu aku langsung menyiapkan rencana yang lebih besar. Aku hendak membunuh Kaji Badrun dan menguras harta yang menjadi hak waris anaknya. Setelah itu aku akan minta pegat.”

“Gendeng koen!”

“Pssst! Jangan keras-keras. Ini rahasia kita berdua. Kamu belum tahu kebusukan apa yang ada di dalam diri mertuaku itu. Aku merasa punya alasan kuat untuk membunuhnya setelah bajingan itu memaksaku mandi bersama di saat Fajar tidak ada di rumah.”

“Astaghfirullah!”

“Selain Agus Mulyono, tukang gulung kabel Tralala, sebenarnya aku juga sempat menyaksikan detik-detik menjelang mertuaku dibunuh.” Tiba-tiba Juwita terbahak keras. “Konyol sekali! Mati dibunuh hanya gara-gara tidak bisa menyanyikan lagu Meggy Z.!”

“Aku tidak paham, Ju.”

“Nggak usah paham. Pokoknya yang penting dia sudah mati. Aku lega!”

“Lalu rencanamu selanjutnya apa setelah ini?”

“Tetap minta pegat. Tanpa menunggu Fajar menunggu Istiqomah lulus SMP lalu menikahinya.”

“Terus?”

“Aku mau ikut seleksi Dangdutin Idol.”

“Mau jadi biduanita?”

“Aku mau menunjukkan pada Fajar kalau aku bisa lebih hebat dari Istiqomah. Kamu perlu ingat kalau aku punya prestasi yang bagus soal olah vokal. Aku juara satu Qiraah se-Macomblang.”

“Ya, aku masih ingat.” Tentu saja, Qanaah masih ingat. Saat Juwita melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di pendopo kadipaten tempat berlangsungnya lomba MTQ sekabupaten Macomblang, Ulid menyimak dengan mata berkaca-kaca. Qanaah yang saat itu juga duduk di sebelah Ulid berbisik pada teman sekelasnya: apa ada yang tidak beres?

Ulid bilang hatinya tergetar mendengar Juwita mengaji. Mungkin suara vibra bidadari di Surga Firdaus seperti dia, Nah.

Bunga mawar di dalam hati Qanaah seketika layu sebelum dipetik.

Ada lagu dangdut yang bisa meringkas cerita pendek ini? Narator sedang enggan melucu, memperpanjang tulisan, atau membalas narator sebelah yang kerjaannya cuma membunuh tokoh satu per satu tanpa kenal drama.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version