Baca cerita sebelumnya di sini.
Para anggota grup WhatsApp Terompah Kulit Buaya, yaitu AS Laksana, Zen Hae, dan saya, selalu menemukan cara baru buat bersama-sama menunda menyelesaikan novel. Zen pernah meyakinkan kami tentang pentingnya memahami teknik-teknik dasar menggambar realis dan silat harimau. Sebelumnya, mereka termakan bujukan saya untuk ikut masterclass akting bersama Geoffrey Rush yang diiklankan di Instagram. Dan yang terbaru, kebetulan paling dekat dengan kesusastraan, ialah usul AS Laksana untuk mengadakan diskusi berkala tentang elemen-elemen fiksi. Kami sepakat: kegiatan itu tak boleh mengganggu kesibukan kami mengikuti kursus coaching sepak bola jarak jauh bimbingan seorang mantan pelatih sebuah tim gurem di Spanyol.
Dua pekan lalu Zen memulai rangkaian diskusi kami dengan esai panjang “Dari Cikini ke Gondangdia, Jadi Frustrasi Karena Gaya”. Dia bicara tentang Jaroslav Hašek dan Bohumil Hrabal, dua pengarang besar Cek, dan kualitas-kualitas sastrawi yang dihasilkan gaya penceritaan masing-masing. Besok malam, saya akan bicara tentang karakter. Tentu saya juga sudah menyiapkan esai. Jika kegiatan ini berjalan sesuai rencana, beberapa bulan lagi kami akan membagikan enam esai semi-akademis tentang elemen-elemen fiksi.
Saya memilih karakter sebab karakter adalah elemen fiksi yang paling menyerupai api (sekadar informasi, saya seorang arsonist). Sebagaimana api memangsa potongan-potongan kayu yang memungkinkan ia menyala, karakter memangsa orang-orang yang dijadikan modelnya, atau bahkan pengarangnya sendiri.
Tulisan ini hanya teks ringan yang saya kembangkan dari salah satu catatan kaki esai tersebut. Ringan, karena saya mengerti waktu Anda, para pembaca, begitu berharga. Ringan, karena perusahaan tempat saya bekerja, yang sangat menyenangkan tetapi tak menaikkan gaji saya selama dua tahun, punya kebijakan ganjil soal upah para karyawannya yang diperbantukan ke perusahaan-perusahaan lain yang satu grup dengannya.
Salah satu contoh karakter pemangsa manusia yang paling mencolok adalah Arthur Harahap alias AH (sejumlah pengikutnya percaya bahwa ia terlalu agung, sehingga namanya tak boleh disebutkan bulat-bulat di luar kalangan sendiri).
Pada awal 1970-an hingga 1983, AH menulis banyak novel genre, mulai dari fiksi ilmiah hingga cerita detektif, dan sebagian besarnya diterbitkan CV. Haji Mas’ud yang beralamat di Surabaya. Saya meragukan penjelasan cucu pendiri penerbit itu, seorang Tionghoa totok dan bukan haji, bahwa novel-novel AH tak laku. Saya pernah bekerja di beberapa penerbitan. Biasanya, jika sebuah penerbit rutin menerbitkan buku-buku seorang pengarang, tetapi tak satu pun di antaranya pernah dicetak ulang, pasti ada kesalahan (atau manipulasi) manajerial.
Dua tahun lalu, Sabda Armandio menemukan beberapa buku AH, termasuk kumpulan esainya tentang proses kreatif (Eka Kurniawan harus memeriksa ulang klaimnya tentang harta karun sastra Indonesia!) di sebuah toko buku hampir bangkrut di Bogor. Keluwesan dan keberanian AH mengolah cerita membuat Dio dan dua temannya, yaitu Kina dan saya, terpukau.
“Seperti menggebuk sarang tawon,” kata Kina tentang pengalamannya membaca Ana Maria, novel pertama AH. “Potong kupingku kalau kau tak pulang dalam keadaan bengkak-bengkak.”
Sayangnya, di luar persetujuan saya, Dio dan Kina menciptakan daging dan darah bagi AH. Tiba-tiba, setiap kali mengutip AH, mereka mengaku “mendengar” alih-alih “membaca” pernyataan tersebut. Penyuka Mahabharata mungkin akan menyamakan mereka dengan Ekalaya yang berguru kepada Resi Drona versinya sendiri, yang ia ciptakan sendiri. Bagi saya, sih, mereka cuma senewen. Kalaupun sesekali saya ikut-ikut permainan mereka, itu hanya karena saya tak ingin jadi perusak suasana.
Sabda Armandio sendiri, atau lengkapnya Sabda Armandio III, bukanlah Sabda Armandio Alif yang mula-mula saya kenal empat tahun silam.
Saat menggarap novel pertamanya yang berjudul Sendok—di kemudian hari terbit dengan judul Kamu: Cerita yang Tak Perlu Dipercaya—Dio mulai menerapkan method writing. Dia mengopi kepribadian tokoh utamanya: pahit tetapi pasrah. Kemudian, selagi mengerjakan 24 Jam Bersama Gaspar, Dio jadi gampang marah, terutama jika ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Saya pernah mengingatkannya soal itu, sekali, dan dia bilang, “Memangnya ada cara lain buat menulis novel?” Saya tersindir dan tak sudi mengungkit perkara itu lagi. Lagi pula, akhir-akhir ini, ketika Dio mengerjakan Dekat dan Nyaring, saya mendapat hiburan yang lebih seru: ia menjadi seorang karakter yang membenci method writing.
Jika Sabda Armandio III adalah perpaduan sempurna pengarang dan karakter, seperti kobaran api unggun yang sesekali meletikkan bara, Zulkifli Songyanan adalah kayu basah. Sekeras apa pun upayamu menyulutnya, alias menjadikannya seorang karakter, kehidupannya dalam kenyataan akan selalu lebih menarik.
Terakhir, bagaimana dengan Bambang? Dia jelas bukan api, tapi juga bukan kayu. Saya kira, metafora yang cocok untuk makhluk berkepribadian rusak dan tak tahu balas budi ini adalah asap. Tugasnya cuma mengabarkan keberadaan sesuatu yang bukan dirinya sendiri, dan ia amat mudah lenyap. Orang bisa merindukan kehangatan api atau mengagumi ketahanan kayu, tetapi saya kira tak bakal ada yang peduli pada asap. Dengan kata lain, ia tak sepatutnya banyak lagak.
Biar saya katakan dengan jelas, kalau Bambang marah, saya selalu siap meladeninya secara jantan. Tangan kosong atau belati, biar dia yang memilih. Namun, asal tahu saja, saya tak senang ia bicara macam-macam kepada Jonathan Halim, narator yang saya pinjamkan kepada perusahaan buat urusan yang secara terang-terangan melanggar etika jurnalistik. Jonathan begitu polos dan begitu pintar menghasilkan uang.
Baca cerita selanjutnya di sini.