Adhi Mbendol dan Pertemuan dengan Rich Brian

Baca cerita sebelumnya di sini.

Adhi Mbendol mendapati sosok Miftahul Azimat, wartawan lokal di media online lokal Piker Keri, berjalan tergesa melintasi lobi rumah sakit yang penuh sesak calon pasien jalur BPJS. Beberapa kali Miftahul Azimat tampak  mengusap dahinya yang lebar dengan sapu tangan. Adhi Mbendol yang tengah duduk di depan loket pembayaran jalur BPJS segera memanggilnya dan melambaikan tangan.

“Ngapain kamu di sini, Hul?”

“Apa lagi…. Ngejar setoran, lah!”

“Ngeliput berita apa?”

“Perkosaan. Korbannya salah satu penonton di Orkes OM Tralala tempo lalu.”

“Waduh! Cilaka betul hujan pentol itu, ya! Dari yang tewas terpeleset pentol hingga diperkosa, dari yang pingsan hingga kesurupan. Luar biasa!”

Seorang pemuda tanggung bermata sipit yang duduk di samping Adhi Mbendol sekilas menoleh ke sumber suara. Mungkin terganggu dengan cara Adhi Mbendol mengomentari hujan di Singagaluh yang kini menjadi berita viral di media sosial.

“Perkosaan ini sepertinya bukan gara-gara pentol, Ndol. Korbannya linglung. Dia ditemukan dua hari setelah hujan pentol. Aneh sekali. Terakhir saksi melihatnya ada di lapangan Singagaluh nonton konser dengan temannya, tapi dia justru ditemukan di pinggir jalan daerah Alas Caruban.”

“Alah! Kejadian begitu kan biasa. Masih ingat Marsinah, pegawai pabrik yang malang itu? Terakhir orang-orang melihatnya di depan Tugu Kuning Siring, tiga hari setelahnya ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di Nganjuk,” ujar Adhi Mbendol, mengenang masa di mana dia masih magang di koran besar di Surabaya. “Terus ngapain kamu buru-buru, Hul? Duduk sini dulu, lah. Ngobrol. Aku perlu update berita terkini dari wartawan.”

“Tiap hari aku wajib nyetor minimal enam berita, Ndol. Berat. Zaman serba online sekarang, wartawan dituntut serba kilat nulis berita.”

“Iya, aku paham. Tapi aku dikasih tahu dulu, lah, gosip-gosip off the record seputar Macomblang. Yang panas-panas gitu pasti kamu ngerti.”

“Kamu dapat nomor antre berapa, sih?”

“Kurang 23 nomor lagi.”

“Suwene, Reeek!”

“Padahal aku datang jam enam pagi. Oleh karena itu, temani aku dulu. Siapa tahu silaturahmi ini membawa berkah.”

Miftahul Azimat berpikir sebentar sambil mengecek grup WhatsApp redaksi Piker Keri. Aman, batinnya. Dia memutuskan duduk di sisi kiri Adhi Mbendol, teman seperjuangannya dulu di Kampus Yaien. Di sisi kanan, pemuda bermata sipit sibuk menonton televisi layar datar yang terpasang di dinding di belakang meja staf layanan informasi rumah sakit.

“Siapa yang sakit, Ndol?”

“Bapakku.”

“Sakit apa Pak Kadir?”

“Raja singa.”

“Oh.”

Mereka berdua terdiam sebentar. Salah satu kanal tivi nasional memutar video amatiran peristiwa hujan pentol, lalu beralih ke sesi diskusi dengan pakar BMKG, perwakilan dari Badan Intelijen Negara dan Kepala Dinas Penanganan Bencana Macomblang. Mereka memperdebatkan penyebab hujan pentol yang sekarang disebut-sebut sebagai salah satu fenomena keajaiban alam. Pakar dari BMKG bilang bahwa bumi selalu punya caranya sendiri untuk minta diperhatikan. Hujan pentol pastilah terjadi karena angin puting beliung sempat mengacaukan sebuah daerah yang dipenuhi usaha dagang pentol dan menerbangkan jajanan murah meriah itu hingga sampai di Singagaluh. Ia memberi contoh bahwa fenomena langka itu pernah terjadi, seperti hujan laba-laba di Timbuktu, hujan katak di Fak-Fak, dan hujan daging rusa di Kentucky.

Sementara itu, pakar dari BIN menganggap bahwa hujan pentol adalah eksperimen gagal dari teknologi canggih yang diluncurkan secara rahasia oleh Zionis. Harusnya yang terjadi bukan pentol yang tercurah dari langit, tapi bola mata—sesuai simbol kebanggaan Zionis, mata satu. Sementara itu, Kepala Dinas Penanganan Bencana menjelaskan dengan susah payah—karena tampak lebih ajaib lagi—penyebab hujan pentol adalah kejahilan ketua preman jin Singagaluh gegara nggondok berat. Idolanya, Fia Fallen, tidak hadir di atas panggung OM Tralala.

“Aku lebih percaya versi Pak Koesnandar. Pejabat kita itu orang baik. Lurus budi pekertinya,” celetuk Adhi Mbendol.

“Nggak lurus-lurus amat, kok, Ndol. Kabar yang beredar dia kemarin keciduk hape jadul di kawasan Tretesan,”  timpal Miftahul Azimat dengan gaya orang ketiga serba tahu. (Narator saja baru tahu kabar ini. Untuk cerita lebih lengkap kisah hidup Koes yang Suka Menolong, sila kontak narator sebelah. Tersedia dalam format pdf .red)

Kukira dia alim. Kabarnya dia rutin sembahyang di depan foto istrinya saking cintanya kepada almarhumah.”

“Mungkin karena foto itu diletakkan di arah kiblat kamarnya, Ndol.”

“Oh, bisa jadi. Lalu ada gosip apa lagi?”

“Aku mau pensiun jadi wartawan. Capek, Ndol. Gaji nggak seberapa. Tekanan tinggi untuk masuk ranking 100 besar Alexa. Berita harus yang bombastis. Kejar tayang pula. Cobaan banyak.”

“Contohnya?”

“Amplop. Biasalah watak pejabat.”

“Hari gini masih zaman pejabat ngasih amplop?”

“Masihlah. Tapi bentuknya Go-Pay.”

“Oh, lumayan juga, ya.”

“Iya.”

Mereka berdua terdiam sebentar. Selisih nomor antrean Adhi Mbendol masih 15 lagi.

“Terus kamu mau kerja apa kalau bukan wartawan?”

“Jualan akun media sosial saja.”

“Punya berapa memangnya?”

“Pokoknya ada, lah. Lumayan buat nambah jaringan buzzer. Aku mau belajar jadi buzzer yang andal saja, Ndol.”

“Bagus. Aku dukung. Selalu fleksibel dengan perubahan zaman. Eh, ngomong-ngomong kamu masih ingat berita pertama yang aku tulis dulu saat kita magang bareng di Rata-Rata Pos?”

“Yang mana?”

“Kebakaran kandang sapi di alas jati Randublatung.”

“Kenapa memangnya? Tulisanmu jelek sekali, kan, saat itu sampai-sampai dibentak redaktur, ‘Kamu nulis apa berak ini?!’”

“Cuk. Iling ae, Rek!”

“Tiga tahun lalu aku menemukan versi yang berbeda. Maksudku, saking lugunya aku saat masih muda, aku sampai tidak bisa membedakan kandang sapi dengan rumah manusia. Tapi memang gubuk yang terbakar itu nyaris tersisa abunya saja.”

“Jadi, versi aslinya bagaimana?”

“Bukan sapi yang terbakar, tapi manusia sakti.”

“Hah? Siapa?”

“Dawuk. Si Buruk Rupa dari Rumbuk Randu.”

“Kok terdengar seperti judul cerita silat begitu?”

“Iya. Memang begitu. Tunggu tanggal terbitnya, ya. Aku tulis jadi novel.”

“Mbel. Sejak kapan kamu punya cita-cita jadi sastrawan?”

“Ngapain jadi sastrawan? Itu sama saja kamu tahu jadi buzzer lebih menjanjikan, tapi kamu tetap jadi wartawan.”

“Kalau itu wahyu—jalan dakwah, mau gimana lagi? Derajat sastrawan bisa semulia nabi.”

“Pekerjaanku sekarang jadi ghost writer, Hul.”

“Mendinglah daripada jadi content writer. Lebih berat tekanannya.”

“Dan novel itu menang sayembara sastra prestisius.”

“Wah, selamat kalau begitu.”

Kucluk koen, Cuk! Yang terkenal, ya, nama klienku.”

“Siapa nama klienmu itu?”

“Tanya narator sebelah saja.”

“Baiklah.”

“Cita-citaku itu sebenarnya jadi penulis lagu dangdut plus produser musik juga, Hul.”

“Ya, sana. Gabung sama Pak Eko Tralala atau Shodik Moneta.”

“Aku mau bikin yang berbeda. Aliran dangdut yang baru, yang orisinil, yang canggih. Perpaduan antara rap dan koplo.”

“NDX itu bukannya sudah rap?”

“Itu hip hop.”

“Gondes, bedanya apa?”

“Pokoknya beda. Nanti aku akan bikin yang ada unsur jazz-nya juga. Dicampur keroncong sedikit.”

“Aku nggak paham, Rek. Kamu umur tiga lima kok, ya, masih saja berkhayal menciptakan sesuatu yang baru. Sudahlah. Kamu fokus ke keluargamu saja, Ndol. Itu dulu saja. Yang baru biarkan anak-anak muda pengusaha startup saja yang mikir.”

“Aku itu bahas apa, kamu komennya apa. Hul, Hul.”

“Ah, aku cabut dulu saja, Ndol. Aku mau nulis berita perkosaan tadi. Pusing aku lama-lama ngobrol sama kamu.” Miftahul Azimat segera bangkit dari duduknya. Bersiap-siap pergi.

“Hul, tunggu! Aku masih ada perlu.”

“Apa lagi?”

“Aku pinjam duit, ya.”

“Buat apa?”

“Jaga-jaga. Kalau BPJS tidak mau menanggung keseluruhan pengobatan bapakku.”

“Walah, Ndol… Ndol. Mon map saja, bojoku galak, Rek. Isi dompetku setiap hari dicek. Kartu ATM dia yang pegang. Aku belum bisa bantu kamu saat ini.”

“Yawes. Nggak apa-apa.” Wajah Adhi Mbendol tiba-tiba mendung.

“Nggak usah mumet. Soal keinginanmu menjadi produser dangdut kupikir-pikir potensial juga di zaman sekarang. Dicoba dulu saja. Kuat dilakoni, nggak kuat ditinggal ngopi. Proses itu yang utama. Perkara hasilnya bagaimana pikir belakangan saja.”

Miftahul Azimat menepuk pundak karibnya, lalu pamit pergi. Adhi Mbendol duduk kembali. Ia mengecek nomor antreannya. Kurang tiga nomor lagi gilirannya dipanggil mengurusi berkas administrasi. Pemuda bermata sipit berjaket merah muda polos yang sedari sibuk dengan gawainya menoleh ke Adhi Mbendol.

“Pak, ini kartu nama saya. Maaf tadi saya tidak sengaja dengar. Bapak bisa bantu saya bikin lagu rap koplo?” Pemuda bermata sipit itu mengeluarkan secarik kartu berwarna emas.

Adhi Mbendol melongo. Siapa anak muda ini? Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ada orang asing tertarik pada ucapannya yang ngasal tadi.

“Kalau boleh tahu, Masnya siapa?”

“Perkenalkan saya Rich Brian.”

“Rich…. Bri…. An?”

“Brayen.”

“Masnya pencari bakat atau apa?”

“Saya musisi. Rapper. Saya domisili Vegas sekarang. Saya punya proses kreatif yang sedikit tidak lumrah. Saya suka merenung di tempat umum yang banyak antrean. Banyak lirik bagus yang berhasil saya tulis di tengah mengantre tanpa tujuan yang semestinya. Bandara, bank, Disdukcapil, Kantor Samsat…. Itu beberapa tempat favorit saya untuk merenung. Kebetulan, saya ke sini juga karena menjenguk nenek saya yang sedang dirawat di lantai tiga.”

“Terus, Mas ingin saya bantu apa?”

You are fucking brilliant, man! Rap koplo! Masyarakat USA pasti akan sangat menyukainya! Apakah setelah Bapak selesai dengan urusan antrean ini, kita bisa mengobrol di kafetaria rumah sakit?”

Adhi Mbendol melongo semakin lebar.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version