MOJOK.CO – Zinedine Zidane dan Real Madrid adalah bentuk nyata kata cinta. Tanpa Zidane, Madrid berlumur nestapa. Ketika Zidane kembali, Madrid menemukan jati diri.
Kalau menyebut pemain yang beralih menjadi pelatih dan sukses, Zinedine Zidane jelas harus disebut. Rekor 3 kali juara Liga Champions berturut-turut bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Rekor tersebut saja sudah menenggelamkan nama Pep Guardiola yang meraih 6 gelar dalam 1 musim bersama Barcelona.
Orang mungkin berpikir, mudah menjadi pelatih tim seperti Real Madrid yang skuatnya berisi pemain terbaik dunia. Tapi, Zinedine Zidane didatangkan untuk menangani tim yang tidak percaya lagi pada dirinya sendiri.
Rafael Benitez baru saja dipecat di tengah musim. Pelatih sekelas Carlo Ancelotti yang berhasil membawa La Decima ke pelukan Madrid pun didepak tanpa pandang bulu hanya karena gagal dalam 1 musim. Jose Mourinho dengan catatan bagus di Chelsea, Porto, dan Inter Milan juga didepak karena tidak memberi apa yang Madrid inginkan.
Madrid, dengan skuat Los Galacticos-nya, punya standar tinggi. Ia tak menerima kata menang. Ia hanya mau menjadi juara.
Zidane, pelatih yang cuma punya pengalaman melatih Real Madrid Castilla, diberi beban melatih klub utama Real Madrid. Uniknya, ia membuktikan diri tidak bersahabat dengan kata “gagal”. Bukti-bukti yang ada mendukung hal itu.
Kunci kesuksesan Zinedine Zidane adalah keberhasilannya mengangkat kepercayaan diri pemain dan mendapat respek dari pemain dengan ego superbesar. Ketika Zidane meninggalkan Real Madrid setelah memberi gelar Liga Champions ketiga, Real Madrid seakan menemui ajalnya sendiri.
Ditinggal Ronaldo pergi menjadi pertanda bencana. Julen Lopetegui yang gagal secara spektakuler sebagai pelatih, lalu Solari yang malah bertikai dengan Isco: Madrid di musim 2018-2019 alih-alih bersaing dengan tim lain demi gelar juara, malah bersusah payah melerai pertikaian di dirinya sendiri.
Semua orang di Madrid dan juga dunia hanya terpikir satu solusi yang harus diambil. Itulah yang nyatanya diambil petinggi Real Madrid, yaitu meminta Zinedine Zidane kembali.
Kembalinya Zidane bukan sekadar cerita gagal move on. Real Madrid dan Zidane adalah kata yang diucapkan dalam satu napas. Keduanya adalah potongan yang saling melengkapi. Di tangan Zinedine Zidane, pemain yang hancur mentalnya diberikan lagi arti diri mereka sendiri. Kroos, Marcelo, Casemiro, dan pemain lain yang dianggap sebagai kegagalan seperti mendapati diri mereka terlahir kembali.
Zidane tahu apa yang harus dilakukan, dan permintaan dia kepada direksi Real Madrid sederhana, jangan beri intervensi apa pun. Dia minta diberi kewenangan penuh atas skuatnya dan tidak ada yang boleh mengganggu gugat. Zinedine Zidane langsung memberi daftar nama yang harus dibeli.
Setelah musim berakhir, Madrid mendapatkan tanda tangan dari Militao, Hazard, Rodrygo, Jovic, dan Ferland Mendy. Hanya Paul Pogba yang gagal mendarat, itu pun bukanlah sesuatu yang harus disesali berlarut-larut.
Di masa awal rujuknya Madrid dan Zidane, rekor Madrid alih-alih membaik, yang ada Madrid justru memburuk. Kalah 7-3 dari Atletico Madrid di pra-musim, kalah 3-0 dari Paris Saint-Germain, dan kalah 1-0 dari Real Mallorca. Semua seakan mengamini satu anggapan, menganggap Real Madrid telah hilang dari peta sepak bola dunia. Suara sumbang terdengar bahwa dulu Zinedine Zidane hanya beruntung dan magisnya telah hilang kini.
Tapi situasi berubah.
Setelah kalah dari Mallorca, Madrid seakan terlahir kembali. Real Madrid tidak pernah kalah selama 13 pertandingan. Ia hanya kebobolan 6 gol dan mencetak 38 gol. Pemain muda macam Fede Valverde, Rodrygo, Mendy, dan Militao menunjukkan taring mereka. Real Madrid tidak pernah kalah selama Valverde bermain sebagai starter dan Rodrygo mencetak hattrick di Liga Champions di usia 18 tahun. Marcelo dan Carvajal menunjukkan mereka tetaplah duet bek sayap mengerikan di dunia. Bahkan Courtois pun menunjukkan potensi lain dirinya, yaitu menjadi striker.
Zinedine Zidane menunjukkan kekuatannya. Dia bukanlah pelatih yang ambruk melawan ego pemain. Dia punya segalanya untuk disegani. Real Madrid berubah menjadi tim amatir ketika melawan Barcelona, tapi tidak ketika dipegang Zidane. Real Madrid menghancurkan Pep di Liga Champions. Real Madrid menjadi tim tanpa kenal kata menyerah di bawah Zidane. “92:48” adalah bukti sahih akan perjuangan.
Madrid tanpa Ronaldo memang bukanlah tim yang sama. Keajaiban demi keajaiban yang tercipta tidak lagi bisa kita temukan. Zinedine Zidane memilih mengabaikan hal tersebut. Tidak ada “penerus Ronaldo” dan Madrid tidak butuh menciptakan Ronaldo baru. Valverde, Rodrygo, Mendy, dan Militao adalah masa depan. Benzema, Marcelo, Modric, dan Ramos menunjukkan kualitas mereka sebenarnya yang sempat lenyap ketika ditinggal Zidane.
Zidane tidak akan selamanya di Real Madrid. Tapi di tangannya, Madrid sudah membuat jalan untuk menciptakan masa depan yang begitu cerah lewat pemain mudanya. Pemain senior menunjukkan kemampuan mereka bertarung di titik tertinggi. Kita nikmati saja “Zidane’s black magic” selagi kita bisa.
BACA JUGA Zidane Mundur Dari Real Madrid, Potensi Bibit Badai? dan artikel menarik lainnya di rubrik BALBALAN.