MOJOK.CO – Kelindan konflik kepentingan, rangkap jabatan, rumor suap, kekerasan suporter, adalah borok sepak bola Indonesia. Tidak berhenti di Edy Rahmayadi dan PSSI saja.
Sebelum ditahan imbang Filipina, sebelum akhirnya resmi tersingkir dari Piala AFF 2018, tagar #EdyOut sudah ramai mewarnai lini massa. Dan setelah resmi tersingkir, persebaran tagar tersebut tidak terbendung lagi. Rakyat bola Indonesia menghendaki perubahan, dengan segera, dan yang menjadi sasaran tembak adalah Edy Rahmayadi.
Memang, ini merupakan respons yang wajar ketika sebuah organisasi gagal memenuhi ekspektasi. Ia, yang menjadi pemimpin, sangat lumrah dijadikan tersangka utama. Semua kegagalan, semua hal negatif, dengan mudah ditimpakan kepada dirinya. Status ketua memang begitu. Baik buruk kinerjanya, akan “selalu buruk” ketika organisasinya gagal.
Situasi semakin parah ketika Edy Rahmayadi gagal merespons dengan bijak. Ketika ditanya wartawan perihal evaluasi setelah gagal total di AFF 2018, Edy justru membuat retorika tidak masuk akal. “Kalau wartawannya baik, timnas juga akan baik.” Kalimat yang bukan hanya nyawur, namun juga bodoh itu semakin membuat sengit rakyat bola Indonesia.
Jadi kalau banyak orang marah-marah kepada beliau, kamu tidak bisa menyalahkannya. Mulai dari rangkap jabatan yang terbukti bikin beliau tidak fokus, komentar-komentar nyeleneh, liga yang kacau–dari sisi jadwal dan kekerasan suporter–hingga soal mafia bola yang sedang panas baru-baru ini. Kejengkelan itu seperti jerami kering yang menumpuk. Kena sedikit api, langsung berkobar terbakar.
Namun, di tengah kobaran api dari jerami kering itu, kita tetap perlu berpikir dingin, logis. Segala kebusukan di sepak bola Indonesia, tidak hanya berhenti kepada Edy Rahmayadi belaka. Boroknya sudah sangat rata, dari pimpinan, hingga akar rumput. Betul, kamu tak salah baca. Aku, kamu, kita semua, punya andil dalam bau anyir sepak bola Indonesia saat ini.
Kamu pasti tahu kalau PSSI tidak boleh menggelar liga selain level amatir. Untuk urusan liga, PSSI menggandeng PT.LIB. Rekanan ini yang kemudian mengatur jadwal kompetisi, hingga melakukan adaptasi aturan PSSI yang kemudian dikenal sebagai regulasi liga. Tahukah kamu juga, ada andil PT.LIB dari pengunduran jadwal sepak mula Liga 1 Indonesia musim 2018/2019?
Selaku operator, PT.LIB tidak kunjung membayar subsidi dan hak siar klub yang berpartisipasi di Liga 1 musim sebelumnya. Saat itu, setelah mengumumkan pengunduran jadwal sepak mula, manajer Madura United, Haruna Soemitro menagih janji PT.LIB. Hanya janji yang Haruna dapatkan.
Pengunduran jadwal sepak mula berakibat fatal. Salah satunya kesulitan mencocokkan jadwal dengan kalender FIFA. Alhasil, persiapan tim nasional, yang mana pastinya memanggil pemain dari klub, terbengkalai. Dari sisi jadwal, selalu tidak maksimal.
Akibatnya, yang namanya pemusatan latihan pasti menjadi polemik. Apalagi, di luar negeri, di negara yang sepak bolanya begitu maju, sudah jarang dilakukan pemusatan latihan hingga berminggu-minggu. Mengapa? Karena jadwal liga dikelola dengan baik, sehingga ketika dibutuhkan pengumpulan pemain, timnas bisa mengaturnya dengan baik.
Ini dari sisi jadwal. Bicara tim nasional, kegagalan mempertahankan Luis Milla juga kesalahan yang sungguh fatal. Ketika ide dan gaya bermain Luis Milla sudah mulai diadaptasi oleh timnas kelas usia, ilmu itu tiba-tiba terputus. Bima Sakti, pelatih yang belum berpengalaman, dijadikan tameng kegagalan timnas.
Siapa pengurus timnas? Tentu saja bukan Edy Rahmayadi sendirian. PSSI punya yang namanya Staf Ahli Timnas, yang diketuai oleh Gede Widiade dan didampingi Sihar Sitorus sebagai wakil. Kebetulan, Gede Widiade adalah Dirut Persija Jakarta sedangkan Sihar adalah cawagub Sumatera Utara yang kalah di Pileg 2018. Kalau mau merundung Edy Rahmayadi, jangan lupakan juga menyenggol Gede Widiade. Yakin tidak ada konflik kepentingan di sana?
Lain timnas, lain lagi soal mafia bola. Pengaturan skor menjadi hal yang lazim di sepak bola kita. Semakin panas dan terbuka ketika di acara Mata Najwa, beberapa nama tersangkut. Mulai dari Hidayat (anggota Exco PSSI), hingga Vigit Waluyo.
Hidayat disebut mencoba menyuap manajer Madura FC, Januar Herwanto, supaya mau mengalah dari PSS Sleman (yang akhirnya “berhasil” promosi ke Liga 1). Januar, dan manajemen Madura FC menolak suap dari Hidayat dengan nominal Rp100 juta yang kemudian dinaikkan menjadi Rp150 juta.
Hidayat berkilah bahwa ia hanya “menguji” Januar saja. Sudah seperti model dosen killer saja, yang tiba-tiba bikin kuis tanpa pemberitahuan. Praktik-praktik seperti ini, yang perlu dibasmi. Untung dibuka di acara Mata Najwa. Saya cuma takut saja, bagaimana bila aksi “menguji” ini tidak pernah dibongkar lewat televisi?
Jika benar Hidayat menyuap, saya yakin beliau tidak bekerja sendirian. Apa untungnya untuk Hidayat apabila Madura FC kalah dari PSS Sleman? Nah, mencari siapa yang paling diuntungkan dari aksi suap (kalau benar terbukti) adalah yang paling penting untuk dibongkar identitasnya.
Semakin konyol ketika Gusti Randa, anggota Exco PSSI yang lain, mengaku tak tahu siapa itu Vigit Waluyo. Vigit Waluyo adalah mantan manajer Persewangi Banyuwangi, PSIR Rembang, Deltras Sidoarjo, dan Persikubar Kutai Barat. Bahkan, Vigit Waluyo menjadi orang yang membawa Persikubar ke Surabaya dan berubah wujud menjadi “Persebaya” abal-abal. Nama Vigit Waluyo ada di tengah desas-desus match fixing di sepak bola Indonesia.
Saat itu dualisme terjadi di Surabaya. Beritanya sangat panas, bahkan hingga sekarang. Pertanyaannya adalah: Kalau situasi di Surabaya sampai sepanas itu, kok Gusti Randa tidak tahu latar belakangnya? Beliau kan Exco PSSI. Hmm…marilah berbaik sangka saja. Sebagai umat beragama, hendaknya kita husnuzon. Siapa tahu Gusti Randa memang tidak kenal. Ya karena beliau tidak bekerja. Gampang kan.
Bicara PSSI, selaku Ketua Umum, Edy Rahyamadi didampingi oleh Joko Driyono dan Iwan Budianto. Joko menjabat sebagai Wakil Ketua Umum, sedangkan Iwan sebagai Kepala Staf Ketua Umum.
Jika kamu googling nama Joko Driyono, yang keluar adalah berita-berita miring. Ya suap, ya “meminta” setoran dari klub-klub Liga 3. Lagipula, Joko Driyono bisa dikatakan sebagai paling senior di PSSI, dengan catatan buruk. Nir prestasi. Sementara itu, Iwan adalah CEO Arema FC yang kini berlaga di Liga 1. Seperti Gede Widiade, Dirut Persija yang ada di dalam tubuh PSSI, yakin tidak ada konflik kepentingan di sana?
Eits, jangan lupakan juga suporter. Kita juga bagian dari boroknya sepak bola Indonesia. Saling hujat di media sosial, saling serang di jalanan, dan lain sebagainya. Diakui atau tidak, aksi barbar itu sangat merugikan klub kalian masing-masing. Terus saja rusuh, klub kena hukuman, gagal berprestasi, ujungnya playing victim dan menyalahkan PSSI.
Kelindan konflik kepentingan, rangkap jabatan di mana-mana, rumor suap, kekerasan suporter, adalah borok sepak bola Indonesia. Faktor-faktor yang bakal menahan rezeki prestasi untuk tim nasional. Jadi, tidak berhenti di Edy Rahmayadi, mari sembuhkan borok itu bersama-sama. Revolusi, meski sangat berat, memang harus segera dimulai.