Senjakala Suporter Sepak Bola Indonesia: Mari Memutus Warisan Kekerasan

Stadion Benteng Tangerang, Penuh Kenangan Rusuh MOJOK.CO

Ilustrasi - Stadion Benteng Tangerang saksi kerusuhan yang terkenang. (Mojok.co)

MOJOK.CODua bulan, dua kali sepak bola Indonesia berduka. Tidak ada pilihan lain. Mari, berdaya bersama memutus rantai warisan kekerasan suporter Nusantara.

Hari Minggu (23/9) pagi, saya menulis sebuah surat untuk Ketum PSSI, Edy Rahmayadi. Inti surat saya adalah sebuah saran untuk Bapak Edy supaya tidak menggunakan kekerasan ketika menangani suporter. Ketum PSSI yang juga merangkap sebagai Gubernur Sumatera Utara tersebut tertangkap kamera menampar suporter PSMS Medan.

Saya khawatir, unjuk kekerasan itu hanya akan memperkokoh bangunan kekerasan di benak suporter. Tidak hanya suporter PSMS saja, melainkan banyak suporter sepak bola Indonesia. “Kalau pucuk pimpinan saja menunjukkan aksi kekerasan, mengapa kami di bawah tidak boleh?” Sebuah kalimat penuh mara bahaya.

Minggu sore, kekhawatiran saya terwujud. Seorang suporter The Jak meninggal dunia di pelataran parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Almarhum dikeroyok Bobotoh setelah ketahuan datang ke stadion. Melihat video kekerasan itu, perut saya sampai mulas. Di antara pengeroyok, ada anak-anak yang ikut menendang dan memukul kepala almarhum. Manusia menjadi beringas.

Dalam rentang waktu tidak sampai dua bulan, dua orang menjadi korban suporter sepak bola Indonesia. Bulan Juli yang lalu, seorang suporter PSS Sleman meregang nyawa setelah dikeroyok suporter PSIM Yogyakarta. Namanya Muhammad Iqbal. Bulan September, Haringga Sirila, menjadi korban kekerasan suporter. Apakah Iqbal dan Haringga akan menjadi korban terakhir? Maaf, saya sangsi.

Saya sangsi ketika pola pikir suporter sepak bola Indonesia tidak diubah, direvolusi. Sebetulnya, yang namanya “kekerasan” itu tidak punya wujud. Ia adalah sebuah pola pikir yang ditanamkan, diwariskan begitu cepat lewat pengalaman sosial (berkumpul dan menonton di stadion). Mengapa bisa begitu?

Alam bawah sadar sepak bola Indonesia

Dex Glenniza, managing editor Pandit Football menyampaikan sebuah pendapat yang begitu masuk akal.

“Bagi sebagian besar pendukung kesebelasan, nyanyian-nyanyian suporter juga bisa menanamkan pikiran di dalam bawah sadar orang yang mendengarnya…nyanyian yang terus diulang-ulang ini, apalagi jika sudah didengarkan sejak anak-anak, akan tertanam di pikiran alam bawah sadarnya,” jelas Dex.

Isi nyanyian ini tidak memberikan dampak secara langsung di kehidupan suporter generasi baru karena terbentur hukum negara, hukum adat, dan ajaran agama. Ia bersemayam dan akan meledak muncul ketika mendapatkan ekosistem yang dibutuhkan.

Ekosistem yang dibutuhkan adalah ketika suporter generasi baru ini berkumpul bersama pendukung kesebelasan yang sama, dengan pemikiran yang sama. Apalagi ketika mereka bertemu dengan suporter lawan. Alam bawah sadar itu menyeruak dan menjadi dorongan besar untuk merusak. Ia mendapatkan ruang untuk diekspresikan.

Menurut Sigmund Freud, dorongan dari alam bawah sadar yang sifatnya naluriah dari manusia pada dasarnya bersifat destruktif. Saya sangat setuju dengan pendapat ini, apalagi ketika menggunakan konteks suporter sepak bola Indonesia. Adanya kekerasan yang diwariskan, ditanamkan dengan sangat paripurna, seperti bibit badai yang siap disemai pada waktunya.

Memutus rantai warisan kekerasan

Dua korban meninggal dalam kurun waktu dua bulan jelas catatan hitam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bagaimana cara mencegahnya?

Beberapa narasi soal hukuman kepada klub, dalam hal ini Persib Bandung, sudah menggema. Mulai dari pertandingan tanpa penonton selama tiga bulan, hukuman degradasi, hingga pengurangan poin. Namun percaya sama saya, hukuman-hukuman itu jauh dari efektif untuk memutus rantai warisan kekerasan suporter sepak bola Indonesia.

Mengapa tidak efektif? Karena klub yang merasakan dampaknya, bukan suporter sepak bola Indonesia secara individu. Seiring waktu, seiring hukuman yang selesai, rantai warisan kekerasan itu akan tetap ada. Bahkan, lantaran emosi karena klubnya kena hukuman, kebencian itu justru tertanam semakin dalam. Bagi beberapa orang, klub adalah identitas pribadi. Sangat dekat dengan hati manusia. Sungguh sensitif, posisinya seperti agama dan makna keluarga.

Berarti sebaiknya suporter sepak bola Indonesia yang dihukum? Ini juga tidak menyelesaikan masalah. Memasukkan tersangka kekerasan ke dalam penjara tidak serta-merta meredam bibit kekerasan. Saya justru khawatir, di dalam penjara, ia mendapatkan lingkungan yang dibutuhkan untuk mengembangkan sikap kebencian itu. Ia dihukum, dijauhkan dari lingkaran sosialnya. Bagi beberapa orang, situasi ini membuat bara di dalam dadanya semakin berkobar.

Penjara bukan solusi untuk kekerasan suporter sepak bola Indonesia. Saya berbicara untuk lingkaran yang luas, bukan individu. Saya berbicara memutus rantai warisan kekerasan secara komunal. Dan ini harus dilakukan bersama-sama, dalam kerja yang panjang, dan harus kontinu.

Caranya bagaimana? Langkah awal, menurut saya, adalah pendekatan personal dari “para patron”. Para patron adalah organisasi suporter resmi, yang menaungi banyak laskar di bawahnya. Pendekatan personal bukan berarti mendatangi suporter satu per satu.

Para patron ini punya posisi yang spesial di mata suporter. Mereka sudah seperti perpanjangan tangan klub sendiri karena punya akses ke dalam manajemen klub.

Kamu masih ingat dengan deklarasi damai suporter beberapa waktu yang lalu? Para patron suporter sebuah klub berkumpul, ditemani kepolisian untuk berjanji menghindari kekerasan bersama-sama. Ini sejarah yang percuma, karena di akar rumput, pesan perdamaian itu tidak tersampaikan. Seperti kata Dex, alam bawah sadar mereka tidak pernah disentuh.

Bagaimana cara menyentuh alam bawah sadar suporter sepak bola Indonesia yang masih sangat muda itu? Aksi konkret adalah menggelar pertemuan-pertemuan tidak resmi dengan para laskar di bawah. Kalau perlu, datangi laskar satu per satu. Ajak mereka mendata semua komponen suporter yang ada. Mulai dari kepengurusan, anggota resmi dan tidak resmi, hingga visi dan misi.

Sebisa mungkin, bangun data besar yang di dalamnya memuat para suporter muda yang tidak terdaftar secara resmi. Ajak mereka berkumpul, mengobrol sambil ngopi. Membicarakan soal alam bawah sadar kekerasan yang mereka miliki. Dekati mereka, ajak untuk melupakan bibit kekerasan itu.

Bagaimana cara mengajaknya? Pertemuan intensif sangat penting. Lakukan sesering mungkin, terutama ketika ada jeda pertandingan karena kompetisi libur. Masa-masa antara laga yang panjang ini justru jangan didiamkan saja. Jangan hanya berkutat dengan diri sendiri, sibuk sendiri bikin koreo atau lagu.

Ketika tidak ada pertandingan, bikin forum besar. Undang pembicara yang kompeten untuk berbagi kisah dan sisi positif perdamaian suporter. Suporter Persela Lamongan dan Persebaya Surabaya sudah sukses berdamai. Undang para patron mereka untuk berbicara dan berbagi pengalaman kepada anak-anak muda suporter.

Aksi ini harus dilakukan kontinu, akan lebih baik lagi kalau terjadwal dua minggu satu kali. Ribet dan berat? Betul sekali. Kesediaan untuk berkorban waktu dan tenaga adalah modal awal memutus rantai kekerasan. Aksi ini butuh waktu yang sangat panjang. Bisa satu tahun, tiga tahun, 10 tahun. Sangat panjang dan berat. Butuh orang-orang berdedikasi untuk melakukannya.

Tetapi, inilah yang hal sederhana yang bisa dilakukan. Aksi menyentuh alam bawah sadar, menyentuh hati suporter muda adalah langkah sederhana memutus rantai kekerasan suporter sepak bola Indonesia.

Jika mau dan mampu melakukannya, para patron perlu memberi contoh secara nyata. Jangan sampai para patron ini justru yang menjaga api permusuhan tetap membara di dalam sekam. Jangan sampai para patron yang pertama kali melempar batu ketika bertemu suporter lawan.

Suporter anak-anak itu sama seperti anak-anak pada umumnya. Mereka justru lebih cepat belajar lewat contoh, bukan nasihat semata.

Dua cara di atas memang akan sulit dilakukan. Tidak ada cara mudah untuk mencapai kesuksesan. Tidak ada cara mudah untuk memutus warisan kekerasan suporter sepak bola Indonesia. Tapi ingat, sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya menggunakan kata “mari” di judul karena yang bergerak tidak bisa satu pihak saja. Mari lakukan bersama.

Sepak bola terlalu receh di hadapan nyawa manusia.

Exit mobile version