MOJOK.CO – Salam tempel di sepak bola Indonesia sudah seperti penyakit menahun. Salam tempel mengurangi pemasukan klub dan mencederai profesionalitas.
Jika Piala Dunia berlangsung, selalu ada narasi yang diceritakan turun-temurun layaknya mitos. Narasi tentang Indonesia yang tampil di Piala Dunia 1938 menjadi mitos yang diceritakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Media menjadi aktor penting dalam menarasikan kejayaan “Indonesia” di masa kolonial. Agaknya mitos kejayaan sepak bola Indonesia memang benar-benar hanya mitos. Mimpi ke Piala Dunia hanya menjadi harapan semu. Tanpa ada revolusi mental dalam sepak bola, Indonesia selamanya hanya akan menjadi penonton.
Beberapa kejadian di Liga Indonesia yang berlangsung di saat jutaan rakyat negara-bangsa Indonesia sedang menonton Piala Dunia 2018 yang berlangsung di Rusia menunjukan tertinggalnya mentalitas sepak bola Indonesia. Bahkan mungkin justru lebih tertinggal dibandingkan dengan masa kolonial, khususon adalah mentalitas salam tempel di pintu masuk stadion.
Hari Jumat (6/7), Sirajudin Hasbi, pemimpin redaksi fandom.id yang kini terkenal dengan penerbitan buku-buku tentang sepak bolanya, menghubungi saya. Saya diajak menonton pertandingan Liga Indonesia yang memperjumpakan Persija Jakarta vs PSM Makassar. Meskipun Persija yang menjadi tuan rumah, pertandingan dilangsungkan di Stadion Sultan Agung, Bantul yang sekira hanya 7 menit naik motor dari rumah saya.
Awalnya saya mikir-mikir mau mengiyakan karena ada tumpukan laporan penelitian yang harus saya selesaikan, bukan karena pada hari yang sama ada pertandingan antara Prancis vs Uruguay di layar televisi. Sejak Jerman tersingkir di penyisihan grup, Piala Dunia memang telah berakhir bagi saya. Karena laporan penelitian sudah hampir selesai, saya mengiyakan ajakannya.
Saya pernah punya pengalaman menarik di Stadion Sultan Agung, ketika menonton pertandingan PS TIRA vs Persebaya Surabaya (14/4). Saya mengajak kedua anak saya, Elnino Profetika (11) dan Dionisian Viva (5).
Dengan tiga lembar tiket VIP kami mendekat pintu masuk. Sesampai depan pintu, petugas berkata, “Mas, anaknya masih kecil. Sebenarnya tidak usah dibelikan tiket gapapa.” Saya menjawab, “Ga apa-apa mas, ini edukasi buat anak-anak agar no ticket no game.” Tiket disobek, lalu kemudian kami masuk.
Bersama Sirajudin Hasbi, saya datang beberapa menit sebelum sepak mula. Seorang kawan telah membelikan tiket VIP seharga seratus ribu rupiah. Di tiket yang berbentuk gelang, tulisannya Rp. 100,-. Ah, betapa murahnya jika memang seratus perak saja ala redenominasi.
Ternyata bukan redenominasi karena tetap harus membayar seratus ribu rupiah. Memang sih, sepertinya redenominasi perlu dilakukan secepatnya agar pas ke stadion, dompet tidak penuh sesak dengan pecahan uang warna merah, yang jika menyembul sedikit saja akan membuat mata pencopet menjadi ikut memerah.
Dari parkir motor sampai ke pintu utama VIP di sisi barat stadion, para calo bersemangat menjajakan tiket. Kami berjalan terus mengabaikan para calo yang tiada henti menawarkan tiketnya. Sampai gerbang VIP, kami antri dengan tertib. Hanya ada delapan orang di antrian.
Tiba-tiba dari samping kanan antrian, dua orang penonton masuk melalui pintu tanpa menunjukan tiket kepada petugas. Belum hilang rasa kaget saya, selang tidak lama kemudian, dua orang lagi masuk melalui pintu VIP hanya cukup bermodal bersalaman dengan petugas di pintu masuk.
“Ini teman saya yang dinas di *****,” ujar petugas di pintu masuk. Gede Widiade, Direktur Utama Persija mungkin sekali waktu perlu sidak ke pintu masuk stadion agar mengetahui kebocoran tiket akibat salam tempel.
Pemandangan seperti ini tentu tidak asing dalam sepak bola Indonesia. Beberapa klub mengeluhkan kebocoran tiket yang terjadi, beberapa klub yang lain berupaya keras mengatasi salam tempel dengan tiket online. Tidak aneh jika ada pertandingan yang stadionnya penuh dengan penonton, namun pendapatan tiketnya tidak maksimal.
Saat publik Indonesia terkesima dengan suporter tim nasional Jepang yang rajin membersihkan tribun setelah pertandingan, mentalitas panitia pelaksana pertandingan sepak bola dan penonton sepakbola Indonesia masih saja berpusar pada salam tempel. Miris memang melihat praktik salam tempel di pintu masuk stasion ketika klub-klub sepakbola Indonesia kesusahan menggaji pemainnya.
Di saat yang sama, penonton sepak bola Indonesia hanya menjadi penonton, menonton para penonton Piala Dunia yang dengan tertib datang di berbagai stadion di Rusia.
Beberapa hari sebelumnya, di saat pertandingan antara PS Sindo Dharaka melawan Persid Jember (4/7) bahkan ada kejadian yang lebih tragis. Oryza A. Wirawan, seorang jurnalis cum penulis buku Imagined Persebaya (2015) dan Merindukan Anfield (2017) dianiaya oleh pemain dan suporter klub PS Sindo Dharaka, sebuah klub sepak bola hasil merger Dharaka milik TNI dan Samudra Indonesia (Sindo). Sesuai asal usul klubnya, bisa ditebak latar belakang penganiaya Oryza A. Wirawan.
Saya kenal Oryza A. Wirawan dengan baik. Oryza A. Wirawan pernah mendapatkan penghargaan Jurnalisme Prapanca 2010 dan menjadi ketua panitia PWI Jember Award 2018. Sebelum media massa memberitakan penganiayaan yang dialaminya, di grup WhatsApp beredar kabar tentang penganiayaan yang terjadi.
Seperti padi, Oryza A. Wirawan adalah jurnalis yang berisi dan bernas. Kecintaannya pada sepak bola, terutama pada Persebaya dan Liverpool membuat berita yang ditulisnya tentang sepak bola memiliki nilai lebih.
Yakinlah, bahwa penganiaya Oryza A. Wirawan juga masuk ke pintu stadion dengan salam tempel. Cukup bersalaman, mereka melenggang masuk ke stadion. Akibat salam tempel, “rumangsa handarbeni, melu hangkrukebi” (merasa memiliki, ikut menjaga) terhadap sepakbola hanya mitos yang utopis.