PSS vs PSIM: Apakah Derbi di Indonesia Harus Selalu Tanpa Penonton?

PSS-dan-PSIM-damai-MOJOK.CO

MOJOK.CODerbi DIY antara PSS Sleman melawan PSIM Yogyakarta digelar tanpa penonton. Sebuah sore di mana kita akan menyaksikan sebuah derbi yang sepi.

Derbi DIY, PSS Sleman vs PSIM kali ini berlangsung dengan nuansa yang berbeda. Mempertimbangkan beragam risiko, pihak kepolisian mengeluarkan izin pertandingan dengan syarat tanpa penonton. Laga di Stadion Maguwoharjo, Rabu (9/10) dipastikan tidak akan dikawal nyanyian dari kedua pendukung.

Setelah rentetan peristiwa, dimulai dari meninggalnya Haringga Sirilla di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), hingga kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, pihak kepolisian terlihat lebih hati-hati ketika mengeluarkan izin laga. Terutama untuk laga-laga dengan risiko tinggi, salah satunya yang terdampak adalah derbi DIY, PSS vs PSIM.

Bisa jadi, untuk laga-laga lainnya, baik di Liga 1 maupun Liga 2 ke depan, terutama laga dengan risiko tinggi, akan mendapatkan perlakuan yang sama. Langkap antisipasi paling instan yang bisa dilakukan oleh pihak kepolisian adalah melarang kehadiran suporter. Mengapa keputusan pahit ini harus diambil?

Ketika sebuah laga berrisiko tinggi tetap digelar dengan kehadiran penonton dan larangan kepada suporter tamu untuk datang, yang terjadi adalah “usaha menerobos”. Namanya juga suporter, mau bagaimana pun caranya, mereka akan selalu berusaha hadir di mana dan kapan saja klub kebanggaanya bertanding.

Larangan datang ke stadion juga tidak efektif ketika Persib Bandung bertanding dengan Persija Jakarta di GBLA. Haringga, secara diam-diam, menerobos ke stadion, berusaha menonton Persija. Hal inilah yang (nampaknya akan selalu) polisi coba antisipasi. Jika ketahuan oleh suporter lawan, nyawa taruhannya ketika situasi masih sangat panas seperti sekarang ini.

Kepolisian DIY juga nampaknya belajar dari pertemuan pertama antara PSS vs PSIM di Juli 2018 yang lalu. Sleman fans memang mendapat jatah tiket. Namun karena jumlahnya yang hanya sedikit, pihak DPP memutuskan tidak memberangkatkan suporter ke Stadion Sultan Agung. Namun, anjuran DPP tersebut tidak sepenuhnya efektif.

Masih ada suporter yang mencoba menerobos ke daerah Stadion Sultan Agung. Kericuhan sempat terjadi di beberapa tempat, terutama perbatasan Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Sleman. Aksi lempar batu mewarnai daerah-daerah yang disebut sebagai “jalur gaza” itu.

Ketika Sleman fans tidak bisa menerobos ke stadion, ada seorang suporter PSS, atau lebih tepatnya penonton biasa, yang bisa masuk ke Kawasan stadion. Ia datang hanya sekadar untuk menonton, setelah sebelumnya janjian dengan teman yang tinggal di daerah Bantul.

Nahas, almarhum ketahuan oleh suporter PSIM dan terjadilah penganiayaan hingga meninggal. Meski tujuannya hanya sekadar menonton, tanpa intensi menjadi “seperti casual”, almarhum tetap dianggap Sleman fans. Peristiwa serupa yang coba dihindari oleh pihak kepolisian.

Kombes Pol Imam Prijanto, Karo OPS Polda DIY menyampaikan kepada wartawan bahwa keputusan ini adalah usaha untuk menjaga suasana kondusif. Beliau berkaca dari peristiwa di pertemuan pertama yang merenggut korban jiwa.

“Kalau semuanya bisa, bersepakat, maka saya akan berusaha mengguyubkan, meski risiko besar di kami. Tapi, kelihatannya belum bisa untuk saat ini. Kejadian di pertemuan pertama lalu, kami harap bisa direnungkan bersama,” ungkap Kombes Pol Imam Prijanto sembari mengingatkan untuk tidak membuat kericuhan di luar stadion dan keamanan laga akan diperketat.

Membaca narasi dari awal tulisan, hingga pernyataan dari Karo Ops Polda DIY, Kombes Pol Imam Prijanto, kamu bisa mendapatkan gambaran kondisi sepak bola Indonesia saat ini. Rivalitas juga terjadi di negara lain. Namun, berkat pengamanan ketat, aturan yang jernih tegas, dan suporter yang bisa dewasa, korban jiwa dan kerusuhan bisa dihindari.

Untuk Indonesia, ada tiga masalah dasar yang belum mungkin dipecahkan dalam waktu dekat. Pertama, insfrastruktur stadion di Indonesia belum mencukupi untuk membuat pengamanan ketat memaksimalkan CCTV dan scan tiket.

Masalah kedua, semua stadion di Indonesia ini status kepemilikannya bukan ada pada klub, melainkan pemerintah daerah. Oleh sebab itu, klub tidak bisa maksimal membangun sistem pendukung canggih untuk keamanan stadion seperti di Inggris.

Masalah ketiga, proses rekonsiliasi suporter belum berjalan efektif dan ideal. Nota damai antar-suporter baru terjadi di level atas. Akar rumput yang bergejolak masih belum tersentuh. Oleh sebab itu, ketika pengurus suporter pusat sudah bersalaman dalam forum damai, “jalur gaza” masih membara.

Melihat kondisi ini, sebuah pertanyaan muncul. “Apakah semua laga derbi di Indonesia harus selalu tanpa penonton?” Kita semua butuh titik awal sebuah proses rekonsiliasi yang menyeluruh. Prosesnya akan sangat panjang dan melelahkan. Akan ada keributan dan perselisihan di dalam prosesnya. Kedewasaan dan kesepakatan bersama untuk berdamai yang akan menentukan.

Menonton sepak bola adalah hak semua manusia. Apalagi untuk laga-laga yang sangat dinantikan seperti derbi. Kondisi “dipaksa” tidak menonton adalah situasi yang memilukan untuk semua suporter. Bukan hanya fans PSS atau PSIM saja. Jujur saja, kamu semua pasti sedih tidak bisa menyaksikan klub tercinta bertanding.

Kalau proses damai tidak berjalan, saya khawatir, laga-laga derbi di Indonesia adalah laga-laga di mana stadion justru terasa sunyi dan tidak punya nyawa. Mau sampai kapan kesedihan ini harus kita rasakan bersama? Mari berdamai, mari mulai proses panjang itu bersama-sama.

Exit mobile version