MOJOK.CO – Piala Dunia 2018 akan menjadi kompetisi yang berat bagi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Sebuah kompetisi yang akan menguji kualitas mereka hingga batas yang tidak terbayangkan.
Harapannya memang seperti itu. Piala Dunia 2018 menjadi ujung perdebatan, mana yang lebih bagus, Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Sebenarnya, perdebatan ini sudah masuk ke tahap menjemukan. Oleh sebab itu, Mojok Institute berusaha menyajikan sesuatu yang berbeda. Tulisan ini tidak akan membandingkan keduanya.
“Perdebatan” yang akan ditekankan di dalam tulisan ini adalah perdebatan apakah Messi dan Ronaldo memang punya peluang mengangkat piala Jules Rimet ini. Siapa yang paling berpeluang? Mengapa peluang ini menjadi penting? Status juara dunia, sedikit banyak akan menjadi penegasan status yang terbaik itu sendiri.
Piala Dunia 2018: yang terakhir untuk Ronaldo?
Setelah berhasil “membawa” Portugal memenangi Piala Eropa 2016, ekspektasi untuk melaju sejauh mungkin di Piala Dunia 2018 menjadi nyata. Meski tidak memenangi Piala Eropa dengan meyakinkan, Portugal tetap menyandang status juara. Yang perlu kita apresiasi adalah proses itu sendiri. Proses Portugal merusak segala prediksi dan menang secara dramatis atas Prancis di laga final.
Menjadi juara Piala Dunia membutuhkan syarat-syarat khusus. Dua di antaranya adalah kedalaman skuat dan konsistensi. Dua hal yang membuat Jerman bisa memainkan dua skuat berbeda dan masih dianggap terlalu kuat untuk lawan-lawan mereka. Selain dua hal di atas, determinasi juga menjadi bekal penting.
Tentunya masih segar di ingatan ketika Zinedine Zidane bermain begitu luar biasa di Piala Dunia 2006. Maestro si kulit bulat itu bermain di Piala Dunia terakhirnya. Zidane menyadari inilah saatnya untuk bermain di atas level terbaik. Ia sudah uzur kala itu. Namun Zidane menjadi “Zidane”, ia mendominasi Piala Dunia.
Antiklimaks terjadi di laga final ketika Zidane terprovokasi oleh Marco Materazzi, bek tangguh Italia yang memang jago memanipulasi lawan. Secuil riak cukup untuk mengancurkan dominasi Zidane. Dan di ujung laga, Prancis kalah lewat drama adu penalti. Di sisi lain, Italia memang menunjukkan determinasi tinggi untuk menapaki tiap babak di Piala Dunia kala itu.
Kesadaran bermain untuk kali terakhir di kompetisi terbesar di dunia ini bisa menjadi motivasi besar untuk siapa saja. Tak terkecuali untuk Ronaldo, yang akan melewati lorong-lorong di stadion di Rusia dengan ban kapten melingkar di lengannya. Ia pasti sadar bahwa ia mengemban amanat negara untuk kali terakhir. Siapa yang tidak tergerak hatinya dengan status ini?
Boleh dikata, kerja Ronaldo akan sama berat seperti Zidane 2006. Terutama apabila melihat skuat Portugal untuk Piala Dunia 2018. Skuat A Seleção das Quinas masih diwarnai oleh muka-muka lama yang sukses di Piala Eropa 2016. Muka-muka uzur di tim utama yang tidak lagi berada dalam performa terbaik. Nama-nama muda seperti Goncalo Guedes, Ruben Neves, dan Raphael Guerreiro menjadi yang diharapkan untuk bisa berbagi beban dengan para senior.
Zidane di tahun 2006 juga memikul beban menyeret kaki-kaki tua dalam diri Willy Sagnol, Claude Makalele, dan Lilian Thuram. Kerja keras pemain-pemain muda kala itu seperti Franck Ribery dan Florent Malouda yang diharakan bisa diemulasi oleh Guedes, Neves, dan Guerreiro. Kaki-kaki muda ini yang akan menggenapi determinasi Ronaldo, membantunya bekerja lebih optimal.
Usia Ronaldo sudah 33 tahun. Empat tahun lagi, di Piala Dunia 2022, ia akan berusia 37 tahun. Mungkin ia masih bisa bermain lagi, hingga usia 40 tahun apabila melihat caranya menjaga kondisi tubuh. Namun, Piala Dunia 2018 inilah panggung paripurna untuk usahanya memeluk Piala Dunia dan menegaskan status sebagai terbaik.
Piala Dunia 2018: Seberapa kokoh pundak Lionel Messi?
Messi dan timnas Argentina seperti kisah cinta yang tidak punya akhir manis. Keduanya saling membutuhkan, namun tak benar-benar bisa kawin-mawin. Timnas Argentina sudah berganti pelatih beberapa kali di masa Messi masih bermain. Namun, hingga saat ini, Messi dan Argentina hanya sekadar “sampai di babak final”, sebelum ditundukkan Jerman secara luar biasa.
Piala Dunia punya tekanan yang berbeda, jauh lebih berat. Final 2014 misalnya, yang sukses mematikan asa Messi meski ia sudah bermain begitu apik. Terkadang, tak hanya kualitas di atas lapangan yang dibutuhkan. Dibutuhkan keberuntungan sekali seumur hidup untuk bisa merengkuh Piala Dunia. Dan hingga saat ini, hal-hal di luar lapangan itulah yang menjadi ganjalan bagi Messi dan timnasnya. Tengok bagaimana sialnya Gonzalo Higuain di laga-laga paling penting.
Messi harus menanggung semua itu. Terima kasih untuk statusnya sebagai “dewa” ketika bermain untuk Barcelona. Amanat negara nampak sudah menghuni pundaknya yang mungil itu. Beban yang berat ada di pundak la pulga, alias si kutu, julukan pemain yang 24 Juni nanti berusia 31 tahun itu. Messi akan berulang tahun di tengah kerja negara, memenangi Piala Dunia 2018.
Hadiah ulang tahun apa yang lebih bermakna bagi pesepak bola kelas elite selain memenangi Piala Dunia?
Messi akan menjadi pusat permainan Argentina. Cara bermainnya yang berevolusi menegaskan perkiraan itu. Ia bukan lagi pemain yang bisa berakselerasi melewati lima pemain dalam satu kali tarikan napas. Messi menekankan permainnya kepada visi, teknik umpan, dan penempatan diri. Ia harus didukung pemain-pemain cerdas yang paham memanfaatkan ruang yang Messi ciptakan.
Messi butuh runner untuk menerima umpannya. Messi butuh pemain yang siap berdarah-darah mengamankan bola ketika Argentina kehilangan bola. Messi butuh semua pemain Argentina untuk berhenti “selalu membutuhkannya”. Jika tidak terjadi, memangnya, seberapa kokoh pundak Messi? Toh, ia manusia biasa, yang punya rasa lelah.
Piala Dunia 2018 adalah suatu masa ketika kedewaan Ronaldo dan Messi menjadi tiada artinya. Sebuah kompetisi yang akan menyeret keduanya kembali ke bumi dan memaksa mereka berjuang sebagai manusia biasa. Pada saat itu, ketika salah satu berhasil memenanginya, dialah “yang terbaik, dari yang terbaik.”