MOJOK.CO – Mengingat Arsene Wenger sebagai sosok manusia dengan hati yang besar adalah sebuah usaha untuk berlutut di depan keharmonisan. Sebuah pengingat akan sosok George Weah dan George Floyd. Terima kasih Arsenal.
Hari Minggu (31/5) tulisan saya yang berjudul “8 Menit 46 Detik George Floyd Meregang Nyawa Adalah Sebuah Pengkhianatan” tayang di Terminal Mojok. Pada paragraf pertama, saya menulis:
“Terkadang saya menyikapi status sebagai fans Arsenal dengan sangat serius. Salah satunya mengkhidmati betul makna victoria concordia crescit, terutama di bagian “keharmonisan”. Sebagai fans kedamaian, terkadang saya juga menyikapinya secara sangat serius. Saya yakin manusia, meskipun sangat jahat, bisa jadi baik.”
Paragraf itu membuat saya memikirkan lagi arti menjadi fans sebuah klub, dalam hal ini Arsenal. Bukan dalam konteks positif atau negatif, tetapi bersyukur saya sudah mengenal Arsenal pada medio 1998 dan 1999. Berkenalan dengan Arsenal adalah proses saya mencoba memahami makna victoria concordia crescit. Proses yang terus berlangsung hingga detik ini, ketika tulisan ini sedang kamu baca.
Namun, saya mengenal victoria concordia crescit belakangan. Pertama-tama, saya terlebih dahulu mengenal nama Arsene Wenger. Bahkan sebelum saya tahu kalau beliau melatih Arsenal. Terima kasih untuk pelatih SSB saya di masa kanak yang hobi merekam pertandingan Liga Inggris untuk ditunjukkan ke anak asuhnya.
Beliau mengenalkan Arsene Wenger dan cara bermain yang “terlihat mudah” untuk ditiru. Umpan-umpan pendek, satu atau dua sentuhan, bergerak ke ruang kosong. Pelatih saya, sebetulnya, hanya ingin mengajarkan teknik dasar sepak bola; mengontrol dan mengumpan bola. Terima kasih untuk metode ajarnya yang unik, saya menemukan cinta dalam wujud Arsenal dan Arsene Wenger.
Hubungan saya dengan Arsene Wenger, pada titik tertentu, seperti “hubungan kekasih”. Panas dan dingin silih berganti. Muncul kekecewaan, tetapi juga jatuh cinta beberapa kali lagi. Ada sesak di dada, ada juga kelegaan ketika Arsenal berhasil melewati musim yang “aneh” lalu menjadi juara tanpa pernah terkalahkan.
Arsene Wenger, mungkin bisa menjadi gambaran orang Prancis, dengan ego dan kebanggaan yang tinggi. Mirip orang Inggris. Dia sangat terpelajar, menguasai banyak bahasa, dan menghadirkan kebaruan ke Liga Inggris. Namun, satu hal yang akan saya kagumi sepanjang hayat adalah kemanusiaan yang besar di dalam hatinya.
George Weah dan George Floyd
Kemanusiaan yang besar di dalam diri Arsene Wenger bisa kita lacak dari sosok George Weah. Mungkin sebagian dari kamu sudah mengenal kisah ini. Sebuah kisah yang menjadi sangat relevan sebagai sebuah monument meninggalnya George Floyd karena tindak kekerasan yang dilakukan polisi Amerika Serikat.
“Ketika tindak rasisme seperti mencapai puncaknya, Arsene Wenger merawat saya seperti anaknya sendiri. Dia mengajari saya bahwa hitam dan putih bisa hidup bersama. Arsene adalah sosok ayah bagi saya. Setiap kali bermain, saya siap untuk berkorban segalanya demi sebuah kemenangan yang saya persembahkan untuknya,” kata George Weah suatu kali.
Arsene Wenger memboyong Weah ke AS Monaco pada 1988 dari Tonnerre Yaoundé, sebuah klub lokal di Kamerun. Sejak masih melatih Monaco, hingga pensiun bersama Arsenal, Arsene Wenger selalu membangun jaringan pencari bakat kelas dunia. Matanya seperti radar, mampu mendeteksi bakat dan potensi pemain muda.
Weah hijrah ke Eropa berkat Wenger. Masa kerja mereka berdua tidak lama, hanya 4 tahun. Namun, bagi karier Weah, masa 4 tahun bisa dikatakan sebagai batu penjuru, sebuah fondasi. Dari Monaco, Weah pindah ke Paris Saint-German lalu AC Milan. Perkembangan karier yang pesat berakhir dengan ganjaran pemain terbaik dunia pada 1995. Weah adalah pemain Afrika yang pertama dan masih satu-satunya memenangi penghargaan tersebut.
Pada 2018, Weah mengundang Arsene Wenger ke Liberia untuk menerima penghargaan tertinggi. Penghargaan itu bernama: “Humane Order of African Redemption with the rank of Knight Grand Commander”.
Weah, yang menjabat sebagai Presiden Liberia mengingat Arsene Wenger sebagai sosok krusial dalam karier dan perkembangannya sebagai manusia. Ketika karier Weah mencapai masa keemasan, di Liberia, perang saudara pecah. Setelah pensiun, Weah aktif di dunia politik dan dianggap bisa menyatukan kembali Liberia.
Saya tidak tahu tentang sosok Weah sebagai politikus. Namun, yang bisa saya pelajari adalah seperti ini: sebuah aksi kecil bisa berdampak besar kepada hidup seseorang.
Ketika kali pertama menginjakkan kaki di Eropa, masalah rasial begitu kuat terasa. Wenger memahami masalah itu dan melindungi Weah dari gejolak yang terjadi. Arsene Wenger merangkul George Weah seperti “anaknya” dan mengajarinya tentang hidup harmonis. Sebelum melatih Arsenal, Wenger bahkan sudah mengenal victoria concordia crescit dengan baik.
Nelson Mandela pernah bilang begini: “No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
Cinta itu bisa diajarkan karena lebih alami ada di dalam hati manusia ketimbang kebencian. Arsene Wenger memahaminya dengan baik dan melindungi Weah dari gejolak rasial. Membentuk Weah menjadi sosok berbeda, yang–semoga saya tidak salah–bisa mempersatukan Liberia.
Jika saja di dunia ini ada satu juta Nelson Mandela dan Arsene Wenger, mungkin George Floyd dan semua minoritas tidak perlu meregang nyawa karena perbedaan. Satu Nelson Mandela bisa mengubah satu negara, satu Arsene Wenger bisa mengubah satu manusia. Bagaimana kalau masing-masing ada satu juta.
Mengingat Arsene Wenger sebagai sosok manusia dengan hati yang besar adalah sebuah usaha untuk berlutut di depan keharmonisan. Sebuah monumen peringatan atas gugurnya George Floyd dan minoritas lainnya di penjuru dunia.
Imagine all the people living life in peace
Imagine all the people sharing all the world
BACA JUGA 8 Menit 46 Detik George Floyd Meregang Nyawa Adalah Sebuah Pengkhianatan atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.