Mengejar Mafia Bola, (Jangan Sampai) Melupakan Perkembangan Sepak Bola

MOJOK.COMafia bola memang kudu diberangus, dikejar sampai ke ujung dunia, ke dalam gua. Namun, jangan lupakan perkembangan sepak bola itu sendiri.

Satgas Antimafia Bola siap menetapkan tersangka terkait skandal pengaturan skor di sepak bola Indonesia. Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri, menyatakan bahwa pekan depan, kasus skandal pengaturan skor akan masuk ke tahap penyidikan.

“Kemungkinan besar yang ditangani oleh Dittipikor (Bareskrim Polri) statusnya akan ditingkatkan dari penyelidikan menjadi ke penyidikan, artinya penyidik sudah cukup dari Analisa alat bukti yang dimiliki dari hasil gelar perkara,” ungkap Brigjen Dedi di Gedung Rupatama Mabes Polri pada Jumat, 4 Januari 2019.

Pernyataan ini perlu kita rayakan. Setelah sekian lama, akhirnya masalah pengaturan skor, atau lebih tepatnya pengaturan hasil pertandingan, akhirnya naik ke permukaan.

Mengapa menggunakan diksi “pengaturan pertandingan”? Seperti keterangan yang diberikan oleh Andi Darussalam Tabusalla ketika diwawancara oleh Beritagar.id pada 31 Desember 2018, tidak ada yang namanya pengaturan skor. Yang ada adalah pengaturan pertandingan.

“Jangan bilang atur skor. Tidak ada skor diatur. Vigit (Waluyo) juga tidak bisa atur skor, tapi pertandingan. Kalah menang itu yang bisa diatur. Kalau skor susah diatur, meski bisa juga,” ungkap Bapak Andi Darussalam kepada Beritagar.id.

Pertandingan, di sepak bola, adalah puncak dari semua proses yang ditempuh oleh pemain. Proses yang dimaksud dimulai dari latihan dasar sejak belia, masuk SSB supaya bakatnya lebih terasah dan kariernya terarah, bergabung ke tim profesional, dan merasakan latihan tingkat lanjut. Semua proses yang diulang-ulang, berat, dan kadang menjemukan itu menemukan manifestasinya di sebuah pertandingan.

Pertandingan menjadi panggung paling utama bagi pesepakbola untuk menunjukkan seberapa besar dan mulai latihan yang ia lakukan. Betul, proses latihan yang panjang dan pertandingan adalah proses yang mulia. Tanpa ketulusan dan pengorbanan, pemain kelas dunia pun tak akan bisa mencapai level tertinggi.

Tanpa latihan keras, Cristiano Ronaldo tak akan menjadi penyerang paling efisien semasa membela Real Madrid. Lionel Messi, tanpa perbaikan hormon dan latihan yang panjang, tak akan seajaib sekarang.

Tanpa mengorbankan masa mudanya untuk tekun berlatih, Gary Neville tak akan menjadi bek kanan terbaik Inggris pada masanya. Bakat Neville kalah jauh dari Ryan Giggs atau David Beckham. Ia mengorbankan masa mudanya, tidak pergi nongkrong hingga larut malam, tidak pergi ke bioskop untuk fokus menaikkan level dirinya.

Maka sungguh sakit ketika kerja keras yang panjang itu dirusak oleh pengaturan pertandingan, oleh mafia bola. Air mata, keringat, dan darah itu tidak punya makna ketika kemenangan sebuah tim tidak ditentukan oleh kualitas, tapi oleh kesepakatan di bawah meja. Sepak bola, pertandingan, tidak terjadi di atas lapangan hijau, melain di dalam lorong-lorong gelap rekening mafia bola.

Mengejar mafia bola adalah sebuah keharusan. Membersihkan sepak bola Indonesia dari mafia bola bisa menjadi tonggak awal yang namanya revolusi. Mengapa? Karena kerja mafia bola tentu tidak satu arah. Kerja mereka berjenjang, melibatkan banyak orang. Mulai dari perangkat pertandingan, pelatih, pemain, hingga federasi. Tertangkapnya Ecxo PSSI menjadi bukti sahih keberadaan mafia bola.

Namun, selain mendukung penuh “jihad” memberantas mafia bola, kita tidak boleh mengacuhkan dengan perkembangan sepak bola itu sendiri. Buat apa semua mafia bola dibabat, tapi kualitas sepak bola Indonesia tidak kunjung berkembang. Pola pikir lawas perlu dilupakan, di-upgrade ke level yang lebih “profesional”.

Misalnya apa? Misalnya adalah ketika sebuah musim selesai, tapi belum ada kepastian jadwal musim selanjutnya. Misalnya ketika sebuah klub sudah begitu boros beli pemain ketika belum punya pelatih. Misalnya ketika pemeriksaan kelayakan stadion tidak kunjung terang.

Kamis (03/12), akun @SepakbolaSleman ngetwit sesuatu yang sangat menarik dan perlu menjadi perhatian banyak pihak. Saya kutipkan saja tanpa perubahan:

(1) Tidak hanya urusan transfer pemain. Klub Liga 1 juga diharapkan membentuk beberapa kelompok umur atau biasa disebut dengan program Pro Elite Academy. Menuju tahun 2020, kub pro Liga 1 diharapkan telah memiliki U14, U16, U18, dan U20.

(2) Jika membaca buku panduanya. Konsepnya jelas, semua dibina dengan filosofi sepakbola dan metodologi latihan sepakbola yang sama (U14 s/d U20). Metodik, sistematis, berjenjang, dan berkesinambungan.

(3) Ini pekerjaan yang lumrah, tapi menjadi terkesan berat bila tidak ada keseriusan dalam mengelola sebuah development klub. Belum lagi dinamikanya. Kelompok umur, kadang dekat dengan intrik.

Tiga twit tersebut sangat lumrah ada di bagan administrasi klub sepak bola profesional. Namun, di Indonesia, soal pembinaan usia muda jelek saja belum. Kalau mau berkata kasar. Pembinaan usia muda selalu menjadi kampanye menarik setiap tahun. Program sudah ada, tuntunannya ada, tetapi fakta di lapangan tidak sejernih itu.

Akun @SepakbolaSleman membuat sebuah penegasan: “Kelompok umur, kadang dekat dengan intrik.” Ada kata “intrik” di situ.

Kamu, yang dulu aktif di SSB seharusnya akrab dengan yang namanya pencurian umur. Lalu ada penentuan siapa yang masuk tim utama berdasarkan suka atau tidak tidak suka atau hanya karena si pelatih dekat dengan salah satu orang tua si si pemain. Bahkan ada juga orang tua yang nyogok si pelatih supaya anaknya bisa bermain.

Selain “kejahatan awal” itu, belum semua klub punya akademi yang ideal. Kebanyakan hanya klub-klub di Liga 1 saja yang punya akademi cukup lumayan. Beberapa ada di Liga 2, tapi agak kabur ketika berbicara liga-liga di bawahnya.

Akademi menjadi “alat perangkum” dari awal karier pesepakbola. Di akademi, ia belajar hal-hal dasar secara lebih komprehensif, belajar hal-hal baru untuk jenjang karier yang lebih tinggi. Dan, pada akhirnya, semua bermuara kepada tim nasional.

Jalannya sangat panjang. Keberadaan mafia bola, menjadi batu sandungan. Namun, tidak hanya itu saja. Ketika kita sibuk bertempik sorak mafia bola dicokok Satgas Antimafia Bola, kita cenderung melupakan sepak bola itu sendiri. Apalagi ketika musim tengah libur dan jadwal musim baru belum ada kejelasan.

Oya, soal kekerasan suporter juga perlu dipikirkan. Jangan lantaran liga berhenti, kita lupa dengan kesedihan dan penderitaan setelah nyawa melayang karena balbalan.

Pada akhirnya, usaha memperbaiki sepak bola Indonesia tak bisa berhenti dengan mencabut keberadaan mafia bola saja. Bangunan sepak bola itu sendiri perlu diperbaiki, dirawat, dan ditingkatkan levelnya.

Exit mobile version