MOJOK.CO – Mempertimbangkan keilmuan, pengalaman, dan attitude, Ljungberg punya semua modal merekatkan kembali “concordia crescit” Arsenal yang retak.
Segala di dunia ini sudah ditakdirkan. Semua tujuan seperti berayun di atas sebuah sehelai daun yang mengalir di sungai waktu. Mengalir jauh, menemukan tujuannya. Pada waktunya nanti.
Freddie Ljungberg seperti mendapat dorongan yang lembut ketika dia tidak tahu mau ngapain lagi setelah pensiun. Berdiam diri di rumah, main golf sepanjang hari, tentu sangat membosankan. Maka, pikiran untuk menjadi pelatih menjadi godaan yang dia sambut. Godaan dan dorongan lembut itu berpadu.
Dorongan lembut datang dari sebuah tangan yang Ljungberg akrab betul. Tangan itu, mungkin, sudah ribuan kali merangkul pundaknya ketika membisikkan kalimat motivasi dan instruksi jeli di pinggir lapangan. Sebuah tangan yang hangat. Membuat mereka yang berani menyambutnya akan merasakan sebuah sentuhan seorang bapak.
“Menjadi pelatih itu bukan ide konyol. Kami rasa kamu bisa jadi pelatih handal.” Sebuah kalimat yang pendek itu mendorong Ljungberg untuk mengambil kursus kepelatihan. “Oke. Bolehlah, bakal saya coba,” terdengar tidak begitu bersemangat. Namun, mari bersyukur Ljungberg mau mancoba ikut kursus pelatih. Dan kini, dia menjadi pelatih kepala Arsenal.
Unai Emery dan perceraian yang tidak terhindarkan
Saya pribadi, sejak Arsenal ditahan imbang Watford di awal musim, masa depan Unai Emery bakal mendung. Saya tidak lagi menemukan sedikit determinasi dari Arsenal yang dilatih Emery. Musim lalu, Gooners mengenali Arsenal sebagai sebuah tim yang semakin bagus di babak kedua. Baik ketika mencoba mencetak gol pertama atau sedang mengejar defisit gol.
Arsenal menjadi tim yang lebih solid, penuh determinasi, dan vitalitas. Namun, unsur-unsur itu lesap di tahun kedua kepelatihan Emery. Ketika The Gunners mencoba build from the back memanfaatkan aturan goal kick yang baru, tim ini justru menjadi sebuah tim dua dimensi. Tidak mampu melihat sekitar. Kehilangan identitas.
Skor 2-0 berubah menjadi 2-2. Mesut Ozil, yang membuat perbedaan di babak pertama, diganti di babak kedua. Sebuah pergantian, yang di mata saya, menjadi titik nadir seorang Emery. Sebuah pergantian yang menjadi gong. Penanda pendeknya masa bakti pelatih asal Spanyol itu bersama Arsenal.
Setelah ditahan imbang Southampton, lalu kalah dari Eintracht Frankfurt, tidak ada pilihan lain bagi Raul Sanllehi, Edu Gaspar, Josh Kronke, dan tim kecil petinggi Arsenal untuk memecat Emery. Selalu ada rasa sedih di dada ketika melihat pelatih dipecat. Namun, untuk Emery, rasanya kesedihan itu memang sudah seharusnya terjadi.
Manajemen Arsenal memang sudah menyimpan keprihatinan sejak lama. Sebelum laga melawan Frankfurt, manajemen sudah menggelar pertemuan dengan keluarga Kroenke. Sebuah keputusan diambil. David Ornstein, lewat tulisannya di The Athletic menegaskan kalau hanya tim kecil ini yang tahu keputusan pemecatan Emery dan penunjukkan Ljungberg sebagai caretaker.
Jumat (29/11) pagi, Emery dipanggil Sallehi untuk sebuah pertemuan dadakan. Ketika keduanya sudah duduk bersama, Edu dan Vinai Venkatesham bergabung. Kabar pemecatan itu disampaikan secara singkat dan lugas kepada Emery. Setelah itu diteruskan kepada staf pelatih yang Emery bawa. Disebutkan bahwa Emery menerima kabar pemecatannya secara profesional. Dia tahu perceraian ini tidak terhindarkan. Seperti takdir, semuanya soal aliran waktu saja.
Setelah para pemain dan staf lainnya datang, semuanya dikumpulkan di ruang ganti London Colney. Kabar pemecatan Emery disampaikan oleh Sanllehi. Edu menjelaskan alasan di balik pemecatan. Vinai menambahi. Dan pada akhirnya, untuk kali pertama, Ljungberg berbicara kepada para pemain sebagai pelatih kepala. Singkat saja dia berbicara.
Ornstein menggambarkan kalau pertemuan ini hanya memakan waktu 10 menit saja. Singkat dan lugas. Tepat pukul 11 siang, latihan dimulai dan dipimpin langsung oleh Ljungberg.
Manajemen sendiri punya kepercayaan yang tinggi kepada Ljungberg. Sudah mengantongi lisensi UEFA Pro, pelatih asal Swedia itu bisa memimpin anak asuhnya di Liga Inggris dan Liga Europa. Jika kelak dia bisa membuktikan kualitasnya, bukan tidak mungkin jabatan pelatih kepala akan menjadi permanen milik Ljungberg.
Membaca determinasi Ljungberg untuk Arsenal
Apa yang bisa kita nantikan dari Ljungberg?
Sebagai seorang remaja, Ljungberg sangat serius dengan sepak bola. Dia tidak pernah terlihat pergi ke bar bersama rekan-rekan seusianya setelah latihan. Ljungberg juga terkenal dengan kebiasaannya membawa bantal sendiri ketika pergi tandang naik bus. Dia sudah tertidur pulas bahkan ketika bus belum masuk jalan bebas hambatan.
Dia tidak banyak berbicara. Namun, Ljungberg disukai oleh teman-temannya. Kehadirannya langsung terasa. Terutama determinasi yang terpancar ketika masuk ke ruang ganti.
Kedua orang tua Ljungberg juga sangat serius dengan karier sepak bola. Ketika Arsene Wenger datang siap melamar, Ljungberg tidak langsung menerima tawaran itu. Dia tahu dirinya belum siap untuk Arsenal dan Liga Inggris. Dia masih harus melatih diri di Liga Swedia dan tim nasional.
Suatu ketika, di laga internasional antaa Swedia melawan Inggris, Ljungberg memukau jutaan pasang mata. Namanya menjadi buah bibir dan banyak klub menyatakan tertarik. Salah satunya Chelsea, yang sudah mengirim perwakilan ke Swedia. Wanger tahu kalau ini saatnya bekerja cepat. Di usianya yang belum genap 21, dia menyambut Arsenal.
Tahun pertama bersama Arsenal, semuanya terasa kabur dan aneh. Wenger punya sebuah gagasan yang membuat Ljungberg tidak nyaman. Wenger ingin dia menjadi pemain sayap. Sepanjang kariernya bersama Halmstads BK dan timnas Swedia, Ljungberg bermain sebagai gelandang sentral.
Hingga akhirnya pada suatu titik, Ljungberg meminta agennya untuk mencarikan klub baru. Posisi sebagai pemain sayap membuatnya tidak nyaman.
“Saya merasa tidak pernah bisa bermain sebagai pemain sayap. Dulu, saya memutuskan untuk datang ke sini karena suka Arsenal. Saya menghormati Arsene Wenger. Saya suka rekan-rekan saya. Saya lantas berpikir, kenapa tidak saya coba saja menjadi pemain sayap. Musim panas itu, saya mengubah sikap saya, dari hanya mengeluh menjadi niat untuk belajar. Sebagai seseorang yang masih berusia 21 tahun, saya harus bisa belajar menjadi pemain sayap,” kata Ljungberg kepada Amy Lawrence dan tertuang dalam buku Invincible.
Amy menerjemahkan jawaban Ljungberg ini sebagai sebuah perhatian penuh kepada sepak bola. Juga menjadi gambaran kekuatan mantan model celana dalam Calvin Klein itu, yaitu determinasi untuk sukses.
Maka, yang terjadi adalah terbentuknya sosok pemain sayap ideal. Sosok yang sudah dipetakan di dalam benak Wenger. Ljungberg berkembang menjadi pemain sayap modern. Dia tidak ahli menggiring bola. Namun, kemampuannya muncul dari titik tidak terduga, ghosting run menurut istilah Amy Lawrence, menjadi signature Ljungberg. Dan gol-gol penting itu. Membuatnya menjadi bagian penting dari skuat legendaris Arsenal.
Tidak banyak pemain di dunia ini yang punya otak cukup lebar untuk menguasai ghosting run. Atau, secara teknis, kemampuan itu disebut coming from behind, muncul dari lini kedua, dari titik yang tidak terduga untuk membuat peluang atau mencetak gol. Dulu, setelah zaman Ljungberg, Arsenal pernah punya yang sama, tetapi Emery “membiarkannya” lepas untuk hijrah ke Juventus.
Kecerdasan, dibalut determinasi untuk sukses menjadi kekuatan Ljungberg untuk terjun ke dunia kepelatihan. Lee Dixon, mantan rekan Ljungberg di Arsenal, memberikan penjelasan yang jernih.
“Saya percaya kalau salah satu ciri khas dari permainan Freddie adalah lingkar otak dan kemampuannya mengampil keputusan. Jika ingin bermain seperti dirinya, kamu harus pintar. Kamu harus memahami jalannya pertandingan, tahu jalan pikiran para pemain bertahan,” kata Dixon seperti dikutip The Athletic.
“Dia tidak bereaksi di lapangan hanya berdasarkan insting. Dia bisa membaca di mana celah berada dan menentukan momen untuk berlari memanfaatkan celah itu…imej Freddie di luar lapangan mungkin membuatmu berpikir kalau dia sekadar pemain flamboyan. Tapi, permainannya lebih dari itu. Permainannya itu soal kecerdasan. Kamu tidak bisa mencontoh caranya berlari hanya dengan “sekadar berlari”. Kecerdasannya dalam sepak bola bakal membantunya di dunia kepelatihan,” lanjut Dixon.
Jalan kepelatihan Ljungberg di Arsenal dibukakan oleh Andries Jonker, yang kala itu masih melatih tim akademi. Ljungberg berhasil meyakinkan Jonker untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pelatih tim U-15 dan sedikit bantu-bantu di tim U-19.
Metodenya diterima dengan baik oleh anak-anak akademi Arsenal. Salah satu metodenya yang disukai adalah Ljungberg berhasil mengajarkan anak-anak asuhnya untuk build from the back tanpa disadari oleh para pemain. Atas prestasi itu, ketika Jonker melatih Wolfsburg, Ljungberg ikut dibawa ke Jerman.
Karier Ljungberg bersama Jonker dan Wolfsburg tidak bertahan lama. Namun, dari singkatnya pengalaman melatih di Jerman menambah pengetahuan kepelatihan Ljungberg secara signifikan. Caranya melatih berubah. Lebih matang dan kemampuan manajemen pemainnya membaik.
Julio Pleguezuelo, mantan kapten Arsenal U-23 menjelaskan sepak bola ala Ljungberg. “Freddie sedikit mengubah gaya bermain kami. Dengan Freddie, kami bermain sepak bola yang rasanya lebih dewasa, sepak bola yang realistis. Terkadang kami sadar kalau tidak memungkinkan bermain dengan cara build from the back. Jadi, kenapa harus mengambil risiko? Terkadang kami bermain dengan bola-bola lambung, lebih seperti tim dengan kekuatan serangan balik. Sebuah kombinasi yang baik.”
“Pengalamannya melatih di Jerman mengubah mentalitas Freddie menjadi lebih tegas. Dia orang yang sangat terbuka, tetapi di saat yang sama sangat disiplin. Saya rasa itu kombinasi yang bagus. Di luar lapangan, dia ingin kami selalu menghormati semua staf, rekan-rekan, dan lingkungan. Sikap menghormati di luar lapangan itu terbawa hingga ke dalam lapangan,” tambah Julio.
Jeorge Bird, penulis untuk Arseblog yang rutin meliput pemain akademi Arsenal, pernah bercerita soal “sepak bola ala Freddie. “Dari yang terlihat di lapangan latihan, dia suka bermain dari bawah, build from the back, para gelandang banyak melakukan lari diagonal, banyak melakukan pressing. Punya kemampuan memotivasi pemain.”
Satu hal yang paling menonjol dari Ljungberg adalah atensinya kepada detail dan kemampuan membuka hati pemain. Sering terjadi, menjelang sebuah pertandingan, dia akan membuat grup kecil dengan tiga hingga empat pemain. Ljungberg akan menjelaskan instruksi dengan lebih detail berbekal layar iPad kecilnya.
Statusnya sebagai pemain legenda tidak mencegah Ljungberg untuk membangun ikatan dengan siapa saja. Termasuk dengan Bukayo Saka, wonderkid Arsenal. Ketika Saka mulai rutin bermain untuk tim utama, Ljungberg hampir selalu menemaninya. Menemani Saka untuk analisis video, menganalisis mana yang sudah benar dan mana yang perlu dikoreksi.
Cohen Bramall, mantan pemain akademi Arsenal menyebut gaya kepelatihan Ljungberg mirip Arsene Wenger. Namun, Ljungberg adalah versi lebih agresif dari Arsene Wenger. “Dia itu paket lengkap. Dia bakal sukses besar bersama Arsenal di masa depan,” ungkap Cohen yang kini bermain untuk Colchester United.
Freddie Ljungberg tidak hanya menjadi pujaan pemain-pemain akademi. Dia juga berhasil membangun hubungan erat dengan pemain di tim utama. Unai Emery punya masalah dengan komunikasi. Kendala bahasa menjadi hambatan. Oleh sebab itu, sering terjadi, suara Ljungberg adalah suara yang terakhir didengar pemain sebelum pertandingan.
Arsenal memegang penuh keharmonisan sebagai landasan kesuksesan. Rasa harmonis terbangun dari keterbukaan diri dan kerelaan untuk mendengar. Saling menghormati dan memandang semuanya secara setara.
Mempertimbangkan keilmuan, pengalaman, dan attitude, Ljungberg punya semua modal merekatkan kembali “concordia crescit” Arsenal yang retak. Kini, seperti takdir terombang-ambing di atas daun yang hanyut, akan mengarah ke mana Ljungberg bersama Arsenal?
BACA JUGA Arsenal Mendorong Gooners Ke Jurang Apatis atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.