MOJOK.CO – Semifinal Europa League mungkin “sudah selesai” untuk Manchester United. Namun bagi Arsenal, mereka membutuhkan “sekadar bismillah” untuk leg kedua nanti.
Timeline Twitter saya menjadi sedikit mengharu-biru ketika AS Roma unggul dengan skor 2-1 atas Manchester United di babak pertama semifinal Europa League. Roma diprediksi akan kalah, tetapi justru unggul di babak pertama atas tim yang tengah konsisten betul beberapa bulan ini.
Sementara itu, aura suram dan kelam terasa dari ocehan fans Arsenal. Tertinggal dua gol dari Villareal di babak pertama, The Gunners memang bermain sangat buruk. Adalah “keberuntungan” yang membuat skuat asuhan Mikel Arteta ini tidak kebobolan gol ketiga.
Babak pertama berakhir dengan kegamangan dari dua klub Inggris ini….
Saya akui, nonton dua pertandingan secara bersamaan memang melelahkan. Terutama ketika kamu fans Arsenal, yang tertinggal 2 gol dan bermain buruk, harus menonton laga Manchester United, yang ternyata bisa comeback. Babak kedua menjadi semacam mimpi buruk bagi AS Roma di atas panggung Teater Impian.
Pertama-tama, Manchester United menyamakan kedudukan lewat Edinson Cavani. Kalau untuk soal menyelesaikan peluang, Cavani adalah salah satu yang terbaik. Entah kenapa, Uruguay diberkahi dengan melimpahnya striker klinis sejak zaman Diego Forlan hingga Luis Suarez.
Setelah skor menjadi 2-2, arus laga mutlak menjadi milik Manchester United. Sor akhir 6-2 untuk tuan rumah menggambarkan dengan sempurna betapa buruknya koordinasi bertahan Roma. Meski menumpuk pemain di depan kotak penalti, Roma gagal mengidentifikasi pergerakan tanpa bola pemain United.
Hasilnya, menumpuk pemain malah menjadi bumerang. Ketika banyak pemain berkumpul tetapi tidak ada koordinasi, yang tercipta hanya “crowd”. Sekadar ramai saja, tanpa adanya kesadaran akan ruang. Manchester United yang bermain lebih kalem di babak kedua sangat pandai memanfaatkan kelemahan lawan.
Paul Pogba, yang kembali bermain dari sisi kiri, memberi dimensi berbeda bagi lini depan Manchester United. Kalau saya tidak salah, ketika masih bermain untuk Juventus, Pogba juga memegang tanggung jawab sebagai gelandang kiri. Pemain asal Prancis ini butuh kelegaan ruang untuk bisa memanfaatkan segala kelebihannya. Mulai dari close control bola yang baik, pergerakan tanpa bola, dan umpan-umpan diagonal.
Jika gelontoran gol di Old Trafford tak terbendung lagi, aura suram dan kelam masih terasa dari rumah Villareal. Tak lama setelah babak kedua berjalan, Arsenal bermain dengan 10 pemain setelah Dani Ceballos mendapat kartu merah.
Jika dibandingkan dengan AS Roma, pada titik tertentu, Arsenal menunjukkan tendensi yang sama, yaitu sangat lemah dalam koordinasi bertahan. Kembali saya tegaskan di sini, “keberuntungan” yang setidaknya menyelamatkan Arsenal di babak kedua.
Keberuntungan pertama terjadi ketika Unai Emery, pelatih Villareal, mengurangi pemain dengan. Paco Alcacer, striker, digantikan Francis Coquelin, gelandang bertahan. Berkurangnya pemain di depan membuat backline Arsenal tidak serepot babak pertama.
Keberuntungan kedua, dengan cerdik, Bukayo Saka menautkan kakinya ke kaki pemain Villareal. Penalti untuk Arsenal dikonversi oleh Pepe dengan baik. Sebuah gol tandang yang begitu penting, sekaligus tamparan dari Pepe untuk Emery yang pernah secara terbuka tidak menginginkan Pepe ketika masih melatih Arsenal.
Gol tandang yang, bisa jadi, menghantui Emery jika kalah dari leg kedua. Gol tandang dari kaki pemain yang dulu tidak dia butuhkan.
Keberuntungan ketiga, Villareal kompak bermain dengan 10 pemain setelah Etienne Capoue kena kartu merah. Setelah pertandingan menjadi 10 vs 10 Arsenal mengambil kendali.
Emery memang pelatih yang paling sukses di Europa League. Namun, perlu diingat, orang ini juga yang sering membuat blunder dengan pemilihan pemain ketika masih melatih Arsenal. Fans The Gunners pasti masih ingat ketika Emery memainkan Lucas Torreira sebagai false 10 dan kekalahan seperti pengecut dari Watford beberapa tahun yang lalu.
Pada akhirnya, Manchester United bermain dengan identitas mereka yang terlihat selama beberapa bulan terakhir. United bermain stabil dan sulit dikalahkan. Bahkan mereka bisa mengubah mood ketika tertinggal dan menemukan cara terbaik untuk membongkar pertahanan Roma.
Manchester United bermain dengan kejelasan skema. Satu hal yang patut dipuji adalah eksekusi skema tersebut. Tidak mudah bagi pemain dan pelatih untuk selalu sinkron memandang sebuah laga. Terutama ketika ekspektasi begitu tinggi dan dalam keadaan tertinggal. Kemampuan sulit dikalahkan dan bisa membalikkan keadaan membuat Manchester United menjadi favorit juara Europa League.
Sementara itu, Arsenal bermain tanpa kejelasan skema sejak awal. Respons Arteta sangat terlambat, salah satunya tidak mengganti Ceballos di pertengahan laga. Dia menunggu beberapa menit di babak kedua sembari menunggu Martinelli selesai pemanasan. Terlambat mengambil keputusan bisa membunuhmu di tengah laga berat.
Oleh sebab itu, ketika Manchester United bermain dengan kejelasan skema, Arsenal seperti bermain dengan “bismillah” saja. Bermain dengan sebatas usaha dan doa tanpa kejelasan maunya gimana. Dan untungnya, “sekadar bismillah” itu berbuah gol tandang. Gol yang membawa sedikit asa untuk leg kedua.
Respect sepenuhnya saya alamatkan untuk AS Roma dan Villareal. Roma terjerat badai cedera. Mereka dipaksa membuat 3 pergantian pemain di babak pertama. Tidak mudah menghadapi situasi semacam ini. Villareal bermain rapi di babak pertama, tetapi alur itu dirusak sendiri oleh Emery.
Semifinal Europa League mungkin “sudah selesai” untuk Manchester United. Namun bagi Arsenal, mereka membutuhkan “sekadar bismillah” untuk leg kedua nanti. Doa tanpa kejelasan usaha tentu tidak akan bermanfaat.
BACA JUGA Arsenal Perlu Belajar Determinasi dari Manchester United Angkatan 1995: You Can’t Win Anything with Kids dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.