MOJOK.CO – Takutnya, Zidane dan Conte bukan sosok pembangun budaya yang dibutuhkan Manchester United ketika kelak memecat Ole Gunnar.
Senin (25/10) malam, kabar rencana pemecatan Ole Gunnar Solskjaer muncul juga. Kabarnya, manajemen Manchester United bakal mencari cara memecat Ole sebelum laga selanjutnya. Akhir pekan nanti, United ditunggu Tottenham Hotspur. Salah satu klub yang pernah membantai mereka dengan skor 1-6.
Mulai dari pukul 22.00 di hari Senin sampai pukul 02.30 dini hari di Selasa, salah satu narasi yang kencang terdengar adalah kebutuhan Manchester United akan serial winner. Ha?
Untung saja saya pastikan membaca dua kali istilah tersebut. Maklum, sudah dini hari, ngantuk, dan serial winner terbaca serial killer. Ya kalau soal serial killer, Manchester United sudah punya, yaitu diri mereka sendiri, membunuh harapan palsu kepada Ole yang terus dipelihara.
Dua nama yang muncul adalah Zinedine Zidane dan Antonio Conte. Sampai Selasa (26/10) siang, nama Conte bahkan masih awet nangkring di kolom trending topic Twitter. Yah, kalau menengok sejarah kedua pelatih tersebut, istilah serial winner memang tidak salah untuk disematkan.
Namun, kalau bicara Manchester United, meski saya bukan fans mereka, saya mereka pelatih dengan CV terbaik di dunia belum tentu bisa menggantikan Ole. Ini bukan karena saya bakal sangat bahagia kalau United langgeng sama Ole, ya. Mengasuh Setan bukan pekerjaan mudah. Zidane dan Conte mungkin nggak punya sesajen yang komplet.
Manchester United itu budaya, bukan tim bongkar pasang
Pada titik tertentu, Manchester United itu seperti budaya. Artinya, bangunan ini tidak mungkin dibangun dalam waktu satu periode kerja saja. Ada nilai-nilai lama yang kudu dihancurkan, mengenalkan nilai-nilai baru, lalu mempertahnakn nilai-nilai tersebut sebagai sebuah jalan yang harus diyakini bersama-sama. Namanya saja budaya.
Sir Alex Ferguson melewati “jalan pedang” itu. Dia dikoyak oleh tuntutan, bahkan sempat hampir dipecat karena hasil buruk. Namun, dia tidak goyah dengan cetak biru yang sudah dirancang. Manajemen juga berani untuk mendukung penuh.
Sir Alex tidak hanya melahirkan satu generasi emas. Dia membentuk satu kompi prajurit yang menjadi fondasi selama lebih dari satu dekade. Selain itu, Sir Alex juga membangun sebuah budaya, yaitu determinasi untuk tidak gampang berlutut di depan lawan. Fear factor dan kehalusan seorang bapak menjadi pundak besar tempat Manchester United bernaung.
Membangun budaya, artinya menyiapkan bangunan yang kokoh. Selain Sir Alex, ada juga Arsene Wenger bersama Arsenal. Dua “bapak banter” Liga Inggris ini meletakkan fondasi kokoh sebelum menuai ranumnya buah kesuksesan.
Oleh sebab itu, saya merasa Zidane dan Conte bukan sosok yang tepat. Jangan salah, Zidane dan Conte pelatih bagus. Namun, yah, mereka sebatas serial winner, bukan pioner. Mereka akan membongkar semuanya dengan mudah, disesuaikan dengan target jangka pendek. Sayangnya, tidak ada rasa awet di sana.
Manchester United, mungkin, akan memenangi sesuatu secara instan bersama Zidane atau Conte. Namun, otoritas mereka akan menguap dengan cepat ketika tidak mendapatkan pemain yang tepat. Bisa lebih terjadi ketika ide yang mereka bawa berbenturan dengan budaya buruk yang gagal dibongkar oleh Ole Gunnar.
Zidane dan Conte adalah pelatih bagus. Namun, sampai pensiun kelak, keduanya tidak akan bisa mendekati legasi Sir Alex. Sama seperti sosok Jose Mourinho. Kamu akan memenangi sesuatu ketika mereka dimandikan dengan uang. Kamu akan menang, tapi tidak langgeng.
Jujur saja, terkadang, Manchester United dan Arsenal punya banyak persamaan. Kedua klub ini dibangun di atas sebuah budaya oleh masing-masing gaffer terbaik yang pernah mereka miliki. Terkadang, persetan dengan taktik. Terkadang, keduanya menang dengan pashion dan rasa benci berlutut di depan lawan.
Determinasi dan kesadaran untuk tidak mau kalah itu penting untuk pemain. Dua aspek ini sangat memengaruhi bagaimana kedisiplinan pemain, berdampak ke kesadaran mereka untuk menutup ruang krusial di pertahanan, punya efek untuk bergerak sebagai sebuah tim dengan kohesi terbaik.
Jadi, budaya itu yang lebih dulu harus dibangun di Manchester United. Hancurkan budaya lama seperti yang dilakukan Sir Alex dan Wenger, evaluasi, kalau ketemu kunciannya, pertahankan dengan segenap keyakinan.
Saya tidak tahu apakah Ole bisa melakukannya. Saya pun ragu dengan pelatih bermuka sendu itu. Tidak banyak pelatih di dunia ini dengan kemampuan membangun sebuah budaya. Padahal, klub seperti Manchester United tidak hanya butuh ide taktik paling canggih, tapi determinasi dan kekuatan mental.
Well, Barcelona bersama Pep Guardiola, di periode terbaik mereka, juga dibangun di atas budaya, yaitu La Masia dan filsafat Johan Cruyff. Oleh sebab itu, Manchester United harus hati-hati.
Memecat Ole belum tentu jadi solusi, tapi tidak memecatnya juga sebuah problem. Setan kok merasakan dilema. Pusing, kan.
BACA JUGA Manchester United dan Arogansi Memang Saudara Sepersusuan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.